PENGAKUAN HAK ULAYAT OLEH PEMERINTAH HANYALAH WACANA
MIMPI BURUK PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA DAYAK
( SUATU TINJAUAN DARI POLITIK HUKUM )
Oleh: Jacobus E. F. Layang,
BA.,SH*)
I. PENDAHULUAN
A.
Keberadaan
Masyarakat dan Hak Ulayat dam Persekutuan Hukum Adat
Apabila ditelusuri sejarah
keberadaan suku – suku bangsa di Kalimanatan Barat ini, baik yang ada
dipedalaman maupun yang ada di pesisir pulau dari bagian barat Kalimantan, yang
secara administrative dibagi menjadi 10 Kabupaten dan 2 Kota, dengan garis
perbatasan ( Kalimatan Barat -Indonesia dengan Sarawak – Malaysia), membentang
dari barat ke timur mulai dari Tanjung
Datuk Kabupaten Sambas ke gugusan Taman Nasional Betung – Kerihun ( Keriho )
Kabupaten Kapuas Hulu, sudah pasti lebih dulu dari pada penetapan Undang –
undang No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, khususnya suku bangsa Dayak, yang oleh
para antropologi diyakini datang ke Kalimantan ( Borneo ) dari Hindia Belakang,
baik Mongolia maupun Cina Selatan, yaitu: “Hindia Belakang (Mongolia
) dan secara besar-besaran dari Provinsi
Yunan ( China Selatan ) dan juga dari kepulauan Formosa, Taiwan, yang datang kira –kira pada 3000 – 1500 tahun
SM ( H.J. Mallincrodt, W. Stohr. Tjilik Riwut, Raymond Kennedy, Bernard
Sellato), ( Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada masyarakat Adat Dayak di
Kalimantan, Tim Lapera: Reformasi Agraria:
2001: hal 394) dan juga Mgr.Mikael Commans dalam bukunya “ Manusia Daya, Dahulu, Sekarang dan Masa
Depan, Gramedia Jakarta 1987,”
mengemukan hal yang sama.
Sebagai contoh gambaran keberadaan suku bangsa Dayak
KABUPATEN KAPUAS HULU
1. Rumpun suku bangsa Dayak Banuaka’:
1.1.Suku bangsa Dayak Taman
di : Sungai Kapuas, Sungai Mandalam (
Mendalam) dan
Banua Sio ( Sungai
Sibau ) di Kecamatan Kedamin dan Kecamatan Putussibau.
1.2.Suku bangsa Dayak Tamambaloh di: Sungai ( Batang)
Tamambaloh ( Embaloh), Sunagi Tamao,
Kecamatan Embaloh Hulu, Sungai Labiyan ( Leboyan) Kecamatan Batang Lupar /
Lanjak, Sungai Nyabo (Nyabau), Sungai
Apalin ( Palin), Sungulo ( Sungai Ulok), Sungai Alau ( Lauk) Kecamatan Embaloh
Hilir dan Alau di Panyungan ( Sungai Paniung ) serta Sebintang, Kecamatan
Kalis.
1.3.Suku bangsa Dayak Kalis (
internal ada yang menyebut dengan “Ruu”
) di : Sungai Kalis, Kecamatan Manday.
1.4. Suku
bangsa Dayak Urung Da’an/Uud Danum/Mande
(Manday ) di Sungai Manday, Kecamatan Kalis.
![]() |
* 1.. Mantan Bupati Kapuas Hulu
1995-2000
2. Temenggung Banuaka’ (Tamambaloh /Embaloh) di Labiyan, Kecamatan
Batang Lupar, Kapuas Hulu, Dosen
pada Fakultas Hukum Untan, Mahasiswa Program Magister Ilmu
Hukum Untan, Ketua Bidang LITBANG pada Pusat Kajian Hukum Pemerintahan Daerah (
Study Centre For Local Government Law) Program Magister Ilmu Hukum Untan ),
Mantan Deklarator MAD 1994 dan Ketua
Majelis Adat Dayak Kalimantan Barat 1994-2003.
3. Bahan MUNAS Dayak 29-30
Nov 2004 Balikpapan Kalimantan Timur.
4. Disebar luaskan pada saat deklarasi Forum Peduli Masyarakat Perbatasan Kalimantan Barat 11 Desember 2004 di Pontianak
5. Setelah perubahan dan penambahan beberapa peraturan
perundangan-undangan disampaikan pada Lokakarya Budaya Dayak dan Melayu se
Kapuas Hulu 8 Februari 2005 di
Putussibau.
6. Bahan Semi loka HAM tanggal
26 Mei 2005 di Pontianak.
2. Rumpun suku bangsa Dayak Iban:
2.1.Suku bangsa Dayak Iban di :
Kecamatan Puring Kencana, Kecmatan Empanang,
Kecamatan Badau, Kecamatan
Batang Lupar/Lanjak, Kecamatan Embaloh Hulu,
Kecamatan Putusibau,
Kecamatan Embau Hilir (Jongkong), Kecamtan Bunut Hilir
dan Kecamatan Bunut Hulu.
2.2.Suku bangsa Dayak Kantuk dan atau
Melaban*) di : Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Empanang, Kecamatan Silat Hilir, Kecamatan Semitau, Kecamatan
Seberuang, Kecamatan Bunut Hilir, Kecamatan Embaloh Hilir, Kecamatan Embaloh
Hulu, Kecamatan Mandai, Kecamatan Kalis, Kecamatan Kedamin, dan Kecamatan
Putussibau. *) Surat KENNIS De
Controleur der Boven Kapoeas, 1 Mei 1881 dan Kepala orang Kantuk Ampanang Temenggung Saloen.
2.3.Suku bangsa Dayak Suhaid di:
Kecamatan Silat Hilir, Kecamatan Semitau, Kecamatan Seberuang, Kecamatan
Suhaid.
2.4.Suku bangsa Dayak Seberuang di:
Kecamatan Seberuang, Kecamatan Semitau,
dan Kecamatan Silat Hilir.
2.5.Suku bangsa Dayak Manyan (
Mensusai) di : Kecamatan Suhaid dan Selimbau.
3. Rumpun suku bangsa Dayak Kayan ( orang Hulu
di Sarawak Malaysia):
3.1. Suku bangsa Dayak Kayan di :
Sungai Mandalam ( Mendalam ) Kecamatan
Putussibau. .
3.2. Suku bangsa Dayak
Bukat/Bokot di : Banua Sio (Sungai Sibau), Sungai Mandalam
Kecamatan Putussibau dan Matalunai
Sungai Kapuas Kecamatan Kedamin.
3.3. Suku bangsa Dayak
Pu’un/ Pu’unan (Punan) di: Sungai
Kapuas, Sungai Bungan,
Kecamatan Kedamin
3.4. Suku bangsa Dayak
Oheng/Peneheng ( ada juga yang
menyebutnya Punan) : di
Sungai Kereho/
Keriau, Kecamatan Kedamin.
4. Rumpun suku bangsa Dayak Gilang dan Sansilat
di: Sungai Silat Kecamatan Silat Hulu.
5.
Rumpun suku bangsa
Dayak Suruk di Kecamatan Mentebah dan Kecamatan Bunut Hulu.
6.
Rumpun Suku bangsa Dayak Sebelit /Mentebah yang sebagian menjadi “Singanan/ Senganan”
di: Mentebah dan Kecamatan Boyan Tanjung.
7.
Rumpun Suku bangsa Dayak Embau yang menjadi “Singanan/
Senganan” di: sepanjang Sungai Embau di
Kecamatan Embau Hilir, Kecamatan Embau Hulu dan, Kecamatan Batu Datu.
KABUAPTEN SINTANG DAN MELAWI ( sebelum pemekaran) ada suku bangsa
Dayak:
1.Suku bangsa Dayak Iban di Merakai, 2.Bugao di Senaning, 3.Tabun di
Ketungau,4.Desa di Lebang, Kayan Hilir dan di Sepauk, 5.Melaban di Ketungau,
6.Tanjung di Ketungau, 7. Bantuk di Ketungau, Ramba/ Raba, di Ketungau
Seberuang di Sepauk, 8. Kubin di Melawi, 9.Randu di Melawai, 10.Limbai di
Melawi, 11.Malahui di Melawi, 12.Sehiai
di Melawi, 13. Serawai di Melawi, 14.Dohoi di Melawi, 15. Kenijal di Melawi,
16.Linoh di Melawi, 17.Baya di Melawi, 18. Engkelino di Melawi, 19. Kudao di
Melawi, 20. Dakan di Melawi, 21. Gandis di Melawi, 22.Sekubang, di Melawi, 23. Sandai di Melawi, 24.Pangin di
Melawi, 25.Batu di Melawi, 26.Keluas di Melawi, 27.Meligai di Melawi, 28. Uud
Danum di Melawi, 29..Barai di Melawi/ Belimbing dan Kayan, 30.Sekujam di
Sepauk, 31. Mualang di Sepauk, 32.Undau di Kayan Hilir, 33. Kebahan di Kayan
Hilir, 34. Tebidah di Kayan Hulu 35. Paya di Kayan Hulu, 36. Papa di Kayan
Hulu, 37. Lebang Nado di Kayan Hilir, 38. Inggar Silat di Kayan Hilir.
KABUPATEN SANGGAU DAN SEKADAU ( sebelum
pemekaran) ada suku bangsa
Dayak:
1.
Mualang di Belitang, 2. Mahab di Nanga Mahab, 3.Tembaga
di Hulu Sekadau/ Nanga
Mahab, 4. Koman di Nanga Mahab/ Nanga Taman,5.Menterap di Nanga Mahab,
6.Mentuka di Nanga Mahab/Nanga Taman,7.Taman di Nanga Taman/Rawak, 8. Mongko di
Nanga Taman, 9. Ungkulun di Nanga Taman,10 Kerabat di Nanga Taman/Rawk, 11.
Semerawai di Nanga Taman, 12. Jawan di Rawak,
13. Sawai di Rawak, 14. Pengkodan di Pusat Damai/Sangau Kapuas, 15.
Pandu di Bodok/Pusat Damai/Sosok, 16.`Pompakng di Sanggau Kapuas/ Meliau, 17.
Mangkit/ Berua di Balai Batang Tarang/Tayan Hilir, 18. Tebang di Tayan Hilir,
19.Desa di Meliau/Terjau. 20..Ketungau Tabae di Sekadau, 22. Ketungau di Rawak/
Sekadau, 23. Ketungau Desa di Sekadau, 24..Benawas di Sekadau, 25.Sungkong di
Sekayam, 26. Sontas di Sekayam, 27.Bedayu di Sekayam, 28. Jangkang di
Jangkang/Balai Sebut, 29.Ribun di Kembayan/Bonti/Sanggau Kapuas, 30. Dosan di
Bonti, 31. Tingin di Bonti.
KABUPATEN PONTIANAK DAN LANDAK (sebelum pemekaran) ada suku bangsa
Dayak:
1.
Sungkong di Air Besar, 2. Manyuke di Air
Besar/Darit,3.Sangku di Sambe/Ngabang,
4.Kanayan’tn di Sengah Temila/Mandor/Karangan/Manjalin/Toho/Anjungan dan
Sungai Ambawang.
KABUPATEN SAMBAS DAN
BENGKAYANG ( sebelum pemerkaran) ada suku bangsa Dayak:
1.
Lara ( Dameo) di Singkawang/Bengkayang/Bantanan, 2.
Bakati di
Bengkayang/Sanggau Ledo dan Ledo, 3.Jogoi di Jogoi/Seluas, 4.Iban di
Pare/Seluas,5. Sungkong di Tamong/ Jagaoi.
KABUPATEN KETAPANG ada suku bangsa Dayak:
1.
Jelai Hilir dan Jelai Hulu di Sandai, 2.Kendawangan di
Kendawangan/ Manismata/ Marau, 3. Pesaguan Hilir dan Pesaguan Hulu di Pesaguan, 4. Kayong di
Tayap,5. Tayap di Tayap, 6. Gerunggang di Tayap, 7. Cali di Tayap, 8.Keriau di
Sandai, 9.Biak di Sandai, 10. Laur di Lur, 11. Siring di Simpang/Balai Berkiak,
12.Gerai di Balai Semandang /Balai Berkuak, 13. Beginci di Sandai, 14.
Sengkuang ( Keturunan Ulu Ae Keriau )di
Sandai
Sejak keberadaan mereka
pada wilayah (ulayat) masing-masing dimaksud mereka telah
menemukan wilayah ( ulayat), yang menurut suku bangsa Dayak Embaloh (
Banuaka’) adalah atas karunia “Sampulo Padari” Jubata, ( sang Pencipta ),
yang bermula dari “Kunyayi Tau Jolo” (nenek moyang ), mereka menguasai / menduduki wilayah
tertentu, baik karena penalukan, maupun karena pemberian suatu kawasan/
wilayah ( ulayat ), yang juga dikenal
dikalangan mereka dengan sebutan “hak banua/hak menua/watas”,
yaitu hak yang sama dengan hak- hak
serupa itu, adalah satu kawasan termasuk
hutan yang tidak dimiliki oleh warga secara perorangan, tetapi
dapat diusahakan untuk perladangan dan berkebun oleh setiap warga masyarakat
adat yang bersangkutan, dalam suatu kehidupan yang bersahaja, menyatu dengan
alam dan lingkungan sampai suatu kurun waktu yang tidak terepisahkan, bahkan
dengan alam gaibnya ( relegio magis). Walaupun percisnya istilah ulayat yang
sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk tidak mengakui keberadaan hak
banua/ hak menua/watas hak komunal yang merupakan “hak-hak serupa
itu”.
B.
Keberadaan Hak Ulayat dalam Peraturan Perundang-udangan
1. Dalam praktek Ketatanegaran politik
hukum di Indonesia: jauh sebelum
Proklamasi kemerdekaan tanggal
17 Agustus 1945 atau yang diakui secara konstitusional adalah tanggal 18 Agustus 1945 sebagai saat ditetapakannya UUD 1945
sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia ada statemen untuk
mejadikan Hukum Adat sebagai dasar pemersatu bangsa, yang memang telah
lahir bersamaan dengan Statemen Satu
Nusa ( Tanah Air Indoensia ) , Satu Bangsa
( Bangsa Indonsia ) dan Satu Bahasa ( Bahasa Indoensia ), yaitu
sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober
1928.
2. Dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, sebagai salah
perwujudan tuntutan kemerdekaan dan tanggung jawab pemerintah kepada bangsa
Indonsia, secara Nasional pada tanggal 24 Septermber 1960, telah ditetapkan UU No. 5 Tahun 1960, tentang
Pokok-pokok Dasar Agraria, sebagai suatu langkah maju bahwa politik hukum
Inonesia telah menembus tatanan hukum Agraria Kolonial ( Agrariswet). Salah
satu ketentuan yang penting adalah
masalah pengakuan Hak Milik Adat dan
Hak Ulayat/ Hak-hak serupa itu tentang
tanah sebagiamana bunyi pasal 2 ayat (5).
3. Tahun 1999 Menteri Negara
Kepada Badan Pertanahan Nasional, telah menetapkan
Peraturan No. 5 Tahun 1999, yang
secara tegas mengatur keberadaan Tanah Milik Adat
Dan
hak ulayat atau hak-hak serupa
itu.
4.
UUD 1945, Pembukaan alinea keempat yang menyatakan :….”
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajaukan
kesejahteraan umum…..” …..” …..serta
dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia…..”.
5.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum
amandemen pernah mengisyaratakan
bahwa salah satu norma
yang hidup dan akan hidup dalam masyarakat adalah Hukum Adat
atau Adat Istiadat.
6. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria:
6.1. Pasal 3 . Dengan mengingat
ketentuan – ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak serupa
itu dari masyarakat – masyarakat hukum
adat, sepanjang
menurut kenyaatannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan
Negara, yang berasar atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan
undang-undang dan perturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.
6.2. Penjelasan Pasal 3: Yang
dimaksud “ hak ulayat dan hak-hak serupa
itu, “ ialah apa yang di
dalam perpustakaan adat disebut “
beschikkingsrechts……”
6.3. Penjelasan Umum II. Dasar –dasar dari hukum agraria nasional.
(3). Bertalaian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan
kekuasaan negara
sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka di dalam
pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukan hak itu
didalam tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa: Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu
dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentinggan nasional
dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan
dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
6.4.
Pasal 5
menyatakan:
Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur
yang bersandar pada hukum agama.
6.5.
Penjelasan Umum III. Dasar-dasar untuk mengadakan
kesatuan dan
kesederhanaan hukum.
(1) . …..” Undang-undang Pokok Agraria
bermaksud menghilangkan dualisme
itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum sesuai dengan
keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan
perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh
karena rakyat Indoensia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum
agraria yang baru tersebut akan didasarkan
pula pada ketentuan- ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan
sesusai dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam
hubungannya dengan dunia internasional, serta sesuai dengan sosialisme
Indonesia.
7. TAP MPR No. XVII/MPR/ 1998 jo. Undang-undang
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia, dalam pasal 6 ayat
(1) menyatakan bahwa Dalam rangka penegakan hak azasi manusia perbedaan dan kebutuhan
dalam nasyarakat hukum adat harus diperhatikan
dan dilindungi oleh hukum masyarakat dan pemerintah, demikan
pula ayat (2) menyatakan bahwa: Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.
8.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
No 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
menyatakan
8.1 Konsisedaran: Menimbang:
a.
bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui
adanya hak ulayat dan yang serupa itu
dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada,
sebagaimana dimaksud dalam
keketentuan Pasal 3 Undang-undang No.5 Tahun 1960…..”
b.
bahwa dalam kenyaatannya pada waktu ini dibanyak daerah masih terdapat tanah- tanah dalam
lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya
didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayat.
8.2. Pasal 2
(1). Pelaksanaan hak ulayat sepenjang menurut
kenyataannya masih ada dilakukan
oleh masyarakat
hukum adat yang bersangkutan menurut
hukum adat setempat
.
(2). Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap
masih ada apabila:
a.
Terdapat sekelompok orang yang merasa masih terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan
ketentuan- ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari.
b.
Terdapat tanah ulayat teretentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga.
persekutuan hukum tersebut
dan tepatnya mengambil keputusan
hidupnya
sehari- hari.
c.
Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
.
8.3. Pasal 5 ayat
(1). Penelitian dan penetuan
masih adanya hak ulayat sebagaimana
dimaksud dalam
pasal 2 dilakukan oleh
Pemerintah Daerah, dengan mengikut
sertakan pakar hukum
adat, masyarakat hukum
adat yang ada di daerah yang
beresangkutan, Lembaga
Swadaya
Masyarakat dan instansi-instansi yang
mengelola sumber daya alam.
8.4 Pasal 6. Kententuan lebih lanjut mengenai
pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah
yang
bersangkutan.
8.5. Selanjutnya Peraturan Menteri Negara/
Kepala Badan Pertanahan No. 5 Tahun
1999,
tersebut dijelaskan
pula dalam Suratnya tanggal 24 Juni
1999, Nomor 400-2626,
kepada para Gubernur,
Bupati/ Walikotamadya dan Kepala Kantor Wilayah BPN dan
Kepala Kantor Pertanah
Kabupaten/ Kota madya, seluruh Indonesia.
8.6. Kepustakaan lain yang mendukung teori dalam
makalah ini, terutama dalam pembuktian
keberadaan masyarakat
suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat, adalah:
1).
Kesepakatan “ Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak”
tanggal 26 – 28 November 1992, yang dihadiri 300 peserta wakil-wakil
dari
seluruh Kalimantan Republik Indonesia dan juga dari Sarawak serta Sabah
Malaysia, dengan salah satu ketetapan tersebut diantaranya:“Pemurnian
hak
ulayat atas tanah masyarakat”.
2).
Khususnya ketentuan peraturan perundang-udangan yang menjadi dasar
kewenangan Pemerintah Daerah di Kalimantan Barat, baik dalam
pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara umum,
maupun yang berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,
walaupun peraturan perundang-undangan tentang itu sering kali mengalami
perubahan, namun pada saat makalah ini disusun ketetuan-ketetuan
tersebut yang
masih
dapat dipedomani antara lain:
a.
Undang-undang No. 25 Tahun 1956 dan Undang-undang No.
27 Tahun 1959
tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan Barat dan perauran perundang-undangan pekekaran 4
Kabupaten 1 Kota ( Kalbar sekarang 10 Kabupaten dan 2 Kota), dimana didalamnya
telah ditetapkan urusan-urusan yang menjadi kewenangan Daerah, baik Kepala
Daerah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang telah memberikan kewenangan secara otonom kepada daerah, secara
nyata dan seluas-luasnya, termasuk kewenang pembentukan peraturan perundang-undangan
oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
d. Undang - undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembetukan
Peraturan Perundang-undangan, adala merupakan pedoman pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara Nasional, termasuk unuk pembentukan Peraturan Daerah,
oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakian Rakyat Daerah.
e. PeraturanMenteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang
Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istidat, Kebiasan-kebiasan
Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah.
Namun sayang statemen atau
keputusan Politik Penguasa Negara yang telah mendapat madat dari Rakyat, baik
sebagai unsur Legestatif maupun
Eksekutif, tidak pernah dpat
dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga benar-benar dapat dirasakan manfaatnya
oleh masyarakat, karena “penyerahan urusan dibidang pertanahan” kecuali
ketetuan Hak Ulayat sebagaimana diatur dalam Keputusan
Menteri Negara/ Kepala Badan Pertananhan Nasional No. 5 Tahun 1999,
lain-lainnya tidak jelas, atau bahkan tidak diatur, sehingga masalah Hak Milik
Adat/ Hak Ulayat atau Hak-hak Serupa itu, menjadi permasalahan yang tidak akan penah berakhir, baik
secara Nasioanal, maupun Regional/ Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, khususnya
di Kabupaten Kapuas Hulu.
II.
BEBERAPA FAKTA DAN TEORI YANG
MENYANGSIKAN PENGAKUAN
HAK ULAYAT ATAU HAK-HAK SERUPA ITU
1. Prof. Boedi Hasono, SH :“Ketentuan-
ketentuan hukum yang diadakan untuk melindungi
hak dan kepentingan para pemilik tanah tidak jarang ditafsirkan
menyimpang dari hakikat eksistensinya. Penguasa-penguasa Daerah ditafsirkan
sebagai Pejabat yang berwenang secara sepihak menetapkan bentuk dan jumlah
ganti kerugian”….”Dibiarkan para pemegang izin lokasi menggunakan berbagai cara
fisik dan psikologis dalam menekan dan memaksa para pemilik tanah untuk
merelakan tanahnya diambil penguasa pemegang izin lokasi. Salah satu produk
hukum pertama Penguasa Orde Baru adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang
Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam prakteknya Undang-undang tersebut
juga menimbulkan kenyataan perlakukan yang tidak adil pada
masyarakat-masyarakat hukum adat dan warganya, yang tanah ulayatnya diberikan
dengan Hak Penguasaan Hutan kepada Pegusaha.” (Implementasi Fungsi Sosial Hak
Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan dan Pengaturan
Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah, Reformasi Pertanahan, Badan Pertanahan
Nasional, Sekolah Tingggi Pertanahan Nasioanal: 2001: hal 46).
2. Dr. R. Supomo dan Prof. Mr. R. Djokosutono,
sebagai perwujudan politik hukum
di
Indonesia, penjajah
sendiri mau mengakui keberadaan Hak Adat
itu seperti yang terjadi
pada:
.…” tanggal 1 Mei 1848 jaman Hindia Belanda, telah
diberlakukan undang-undang baru (
nieuwe wetgeving) sebagai wujud awal
POLITIK HUKUM ( bewuste
rechtspolitiek)…..”….. “dapatlah dipandang sebagai permulaan hikmat (
politik) hukum pemerintah Belanda yang diinsafkan terhadap bangsa
Inodonesia”…..” Dengan uraian diatas, yang menunjukan bahwa adalah hal yang
beralasan, jika kita memandang tahun
1848 sebagai saat terlahirnya masa baru didalam sejarah hikmat hukum
pemerintah Belanda terhadap bangsa Indoensia,….” …..” Sedang hikmat hukum didalam
arti yang terbaik bermaksud untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat Indonesia
dengan jalan mengada kan peraturan-peraturan yang dapat memenuhui kebutuhan
rakyat tadi…..”…..” Akan tetapi, berbahagia untuk hukum adat, nampaklah
kemudian perubahan didalam sikap pemerintah Belanda. Lambat laun dapatlah ilmu
hukum adat memperoleh kemenangan didalam
untuk terus menerus menganjurkan-anjurkan arti hukum adat terhadap serangan
dari luar.”…..” karena hukum adat adalah
hukum yang bertumbuh nyata dari masyarakat bangsa Indonesia….”…..” maka
teranglah, bahwa sekarang hukum adat menjadi pusat perhatian pemerintah Belanda
didalam usahanya untuk menjalankan politik hukum terhadap bangsa Indonesia.” (
Sejarah Politik Hukum Adat: 1954: Hal 3,5, 6 dan 7 ).
2.
Maria R.
Ruwiastuti : “ Menurut logika konseptor Undang-undang Agraria tersebut, karena
hak ulayat persekutan hukum adat itu sudah ditingkatkan nilainya menjadi hak
ulayat negara, maka penggunaannya tidak lagi terbatas paada anggota- anggota
persekutuan hukum adat setempat berlakunya. Oleh karena itu tidak heran jika
orang luar perskutuan pun punya peluang untuk memohon HGU atau hak-hak lain
diatas tanah-tanah hak ulayat negara tersebut. Permohonan mana tidak perlu lagi
melibatkan kepala-kepala persekutuan setempat, melainkan langsung kepada
Pemerintah Pusat.” ( Pembaharuan Sistem Hukum Agraria, Prinsip-prinsip
Reformasi Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat : 2001 72-73).
3.
Ali Mustapa Trajutisna: “ Hak menguasai tanah pada
negara itu telah menghancurkan
Konsep persekutuan hukum adat atau masyarakat adat hak ulayat.
Persekutuan masyarakat hukum semuanya memerlukan ruang- tanah sebagai wahana
kehidupan, baik masyarakat hukum yang terbentuk karena factor geneologis (
tribal constitutions) maupun territorial ( territorial constitutions ), atau
kombinasi keduannya. Banyak sekali masyarakat adat hak ulayat yang mengalami
marginalisasi karena terlikuidasi dari tanah hak ulayatnya. Mudah diduga jika
proses ini terus berlanjut maka berbagai kekayaan masyartakat kebudayaan asli (
indigenous cultural commuity ) baik materil maupun immaterial akan punah,
yang berakibat panjang dalam tatatanan
masyarakat kebangsaan keseluruhan……Tanpa penguasan tanah adat hak ulayat secara
penuh, sekurang-kurangnya dalam jumlah
yang memadai, maka masyarakat adat akan lumpuh, juga masyarakat desa disekitar
hutan.” ( Hutan 2020 Rangkuman dan Hasil Konvensi Nasional Hutan dan Perkebunan
Rakyat 1999).
III. P
E N U T U P
A. KESIMPULAN
1. Keradaan Hak Ulayat atau hak-hak serupa
itu di Kalimantan Barat.
Bahwa dilihat dari usia keberadaan masyarakat hukum adat suku
bangsa Dayak di Kalimanatan Barat, yang
tersebar di 10 Kabupaten dan 2 Kota, dan secara turun temurun atau
sekurang-kurangnya sudah berada dan mengusai wialyah ( ulayat)
dimaksud, adalah sebelum ditetapkannya UUPA tanggal 24 September 2004.
Bahwa masyarakat hukum adat suku bangsa Dayak penguasa
wilayah ( ulayat) dimasing-masing Daerah di Kalimantan Barat, secara de facto
maupun secara de jure ataupun secara
lahiriah (terikat pada alam, isolemen, unifomatif, indeferensiasi, dan
konservatif) maupun secara batiniah ( relegio magis/ sacral, komunalitas,
kontan, konkrit dan asosiatif), masih
dengan jelas menampakan adat/budaya dan hukum adat mereka, terutama
yang berkenaan dengan kehidupan yang sehari hari berhubungan dengan alam/ tanah.
Bahawa masyarakat hukum adat suku bangsa Dayak,
penguasa wilayah (ulyat) dimasing-masing Daerah di Kalimantan Barat bersama pengurus/pemangku
adat/fungsionaris adatnya, dalam berbagai jenjang kepengurusan, sebagai
bangsa yang bermasyarakat, dimana adat baik sebagai budaya maupun sebagai
hukum, masih dengan jelas eksis dalam hidupannya yang “dikandung adat/
belandaskan pada adat dan budayanya” masing-masing..
2.
Good will Pemerintah.
Dari tinjauan Politik Hukum
kecenderungan dari Pemerintah untuk meniadakan
hak masyarakat hukum adat
terutama hak ulayat atau hak-hak serupa itu, sebagai hak banua/hak menua/watas komunal,
selalu menjadi mimpi buruk yang membayangi-banyangi hak masyarakat
persekutuan hukum adat suku bangsa Dayak tersebut, sehingga oleh karena itu
masyarakat persekutan hukumadat suku banggsa Dayak, hendaknya lebih mencermati
semua peraturan perundangan –undangan dan kebijaksanaan pemerintah, baik pada
tingkat pusat maupun daerah, apalagi setelah pencabutan Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
karena untuk penguasaan tanah
bagi perusahaan maupun permerintah masih dirasakan ada dan atau akan
adanya kebijaksaan Pemerintah yang tidak berpihak kepada
masyarakat, yaitu dengan menerbitkan:….. “serangkai peraturan
perundang-undangan yang menyediakan berbagai fasilitas dan sarana, untuk
memudahkan dan memastikan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah-tanah yang
diperlukan. Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan tanah-tanah milik rakyat
kecil tani dan perkotaan serta tanah-tanah hak ulayat masyarakat hukum
adat yang berupa hutan.” ( Prof. Boedi Harsono, SH, Implementasi
Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan
dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah, Reformasi Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional , SekolahTinggi
Pertanahan Nasional : 2001: hal 44
).
Sebagaimana
diketahui biarpun menurut kenyataanya
hak ulayat itu ada dan atau
berlaku dan mugkin juga pernah
diperhatikan di dalam
keputusan-keputusan hakim, namun belum pernah ada pengakuan atas hak
ulayat tersebut dilaksankan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang sesungguhnya berfihak kepada masyarakat, tetapi
malahan sebaliknya bahwa didalam melaksanakan peratruan-peraturan agraria, hak
ulayat itu sering kali diabaikan. Padahal
dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang Pokok Agraria yang
pada hakekatnya berarti itu pengakuan
akan adanya hak dikmaksud, maka tentunya
hak ulayat itu akan diperhatikan (recognitie).
Bahwa hak ulayat
atau hak-hak serupa itu yang di kehendaki dalam Peraturan
Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, untuk
penegasan pengakuan status keberadanya, ternyata belum
ada satupun Pemerintah Daerah-pun
yang mengatur ( terutama dengan Peraturan Daerah ).
B. S A R A N
1. Agar masyarakat suku bangsa
Dayak dengan tekad bulat harus kembali Kesemangat Tekad dan
Perjuangan Tumbang
Anoi tahun 1890, dan Hasil
Seminar Kebudayan Dayak tanggal 26 – 28 November 1992 di Pontianak,
dengan menghapuskan diskriminasi, bersatu memperjuangkan dan mempertahankan
seluruh hak-hak atas tanah, terutama hak ulayat atau hak-hak serupa itu sebagai
hak banua/hak menua/ watas komunal, untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat hukum adat suku bangsa Dayak.
2. Jangka pendek mendesak
Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera melaksanakan Peraturan
Menteri Negara / Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 agar menetapkan Peraturan Daerah
masing-masing, sebagai penegasan pengakuan status Hak Ulayat yang berpihak pada masyarakat persekutuan hukum
adat, khususnya kepada masyarakat suku bangsa Dayak.
3. Jangka panjang memperjuangkan
perubahan UUPA No. 5 Tahun 1960 untuk menegaskan kata-
kata “hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu, dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannnya masih ada sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara……”, menjadi hanya
“hak ulayat dan/ atau hak-hak
dengan nama lain seperti” hak banua atau hak meneua sebagai
watas komunal” atas
wilayah tertentu pada masing-masing
masyarakat persekutuan hukum adat,” tanpa ditambah dengan kata sepanjang menurut
kenyataanya dan lain-lainnya, karena itu adalah “ verfasung
wandlung” yaitu Politik Penyelundupan
Hukum Penguasa untuk melindungi kehendak
penguasa dalam meniadakan hak ulayat
dari pada masyarakat persekutuan hukum adat,
khususnya pada masyarakat suku bangsa Dayak.
“Maniro loa i Sampulo
maningara loa i Kunyanyi”
“Jalai hidup nitih Batara
jalai adat nitih Keling”
“ADIL KA’ TALINO BACURAMIN KA’ SARUGA, BASENGAT KA’ JUBATA.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar