Senin, 03 Desember 2012

PENGAKUAN HAK ULAYT MIMI BURUK



 PENGAKUAN HAK ULAYAT OLEH PEMERINTAH HANYALAH WACANA

MIMPI BURUK PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA DAYAK

( SUATU TINJAUAN DARI POLITIK HUKUM )

Oleh: Jacobus E. F. Layang, BA.,SH*)

I.   PENDAHULUAN

A.    Keberadaan  Masyarakat  dan  Hak Ulayat dam Persekutuan Hukum Adat

      Apabila  ditelusuri sejarah keberadaan suku – suku  bangsa  di Kalimanatan Barat ini, baik yang ada dipedalaman maupun yang ada di pesisir pulau dari bagian barat Kalimantan, yang secara administrative dibagi menjadi 10 Kabupaten dan 2 Kota, dengan garis perbatasan ( Kalimatan Barat -Indonesia dengan Sarawak – Malaysia), membentang dari barat ke timur  mulai dari Tanjung Datuk Kabupaten Sambas ke gugusan Taman Nasional Betung – Kerihun ( Keriho ) Kabupaten Kapuas Hulu, sudah pasti lebih dulu dari pada penetapan Undang – undang No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, khususnya suku bangsa Dayak, yang oleh para antropologi diyakini datang ke Kalimantan ( Borneo ) dari Hindia Belakang, baik Mongolia maupun Cina Selatan, yaitu: “Hindia Belakang (Mongolia )  dan secara besar-besaran dari Provinsi Yunan ( China Selatan ) dan juga dari kepulauan Formosa, Taiwan,  yang datang kira –kira pada 3000 – 1500 tahun SM ( H.J. Mallincrodt, W. Stohr. Tjilik Riwut, Raymond Kennedy, Bernard Sellato), ( Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada masyarakat Adat Dayak di Kalimantan, Tim Lapera: Reformasi Agraria:  2001: hal 394)  dan  juga Mgr.Mikael Commans dalam bukunya  “ Manusia Daya, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Gramedia Jakarta 1987,”  mengemukan hal yang sama.

Sebagai contoh gambaran keberadaan suku bangsa Dayak
KABUPATEN KAPUAS HULU
      1.  Rumpun suku bangsa Dayak Banuaka’:
     1.1.Suku bangsa Dayak Taman di :  Sungai Kapuas, Sungai Mandalam ( Mendalam)  dan
           Banua Sio ( Sungai Sibau ) di Kecamatan Kedamin dan Kecamatan Putussibau.
1.2.Suku  bangsa Dayak Tamambaloh di: Sungai ( Batang) Tamambaloh  ( Embaloh), Sunagi Tamao, Kecamatan Embaloh Hulu, Sungai Labiyan ( Leboyan) Kecamatan Batang Lupar / Lanjak, Sungai Nyabo (Nyabau),  Sungai Apalin ( Palin), Sungulo ( Sungai Ulok), Sungai Alau ( Lauk) Kecamatan Embaloh Hilir dan Alau di Panyungan ( Sungai Paniung ) serta Sebintang, Kecamatan Kalis.
1.3.Suku bangsa Dayak Kalis ( internal  ada yang menyebut dengan “Ruu” ) di  : Sungai Kalis,  Kecamatan Manday.
1.4.   Suku bangsa Dayak Urung Da’an/Uud Danum/Mande  (Manday )  di Sungai Manday,  Kecamatan Kalis.                


 
*   1.. Mantan Bupati Kapuas Hulu 1995-2000
2. Temenggung Banuaka’ (Tamambaloh /Embaloh) di Labiyan, Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu,  Dosen pada   Fakultas  Hukum Untan, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Untan, Ketua Bidang LITBANG pada Pusat Kajian Hukum Pemerintahan Daerah ( Study Centre For Local Government Law) Program Magister Ilmu Hukum Untan ), Mantan Deklarator MAD 1994 dan  Ketua   Majelis Adat Dayak Kalimantan Barat 1994-2003.
3.  Bahan MUNAS Dayak  29-30  Nov 2004 Balikpapan Kalimantan Timur.
4. Disebar luaskan pada saat deklarasi Forum Peduli  Masyarakat Perbatasan  Kalimantan Barat 11 Desember 2004 di  Pontianak
5. Setelah perubahan dan penambahan beberapa peraturan perundangan-undangan disampaikan pada Lokakarya Budaya Dayak dan Melayu se Kapuas Hulu  8 Februari 2005 di Putussibau.
6.  Bahan Semi loka HAM tanggal 26 Mei 2005 di Pontianak.

                   
                  2.  Rumpun suku bangsa Dayak Iban:
2.1.Suku bangsa Dayak Iban di : Kecamatan Puring Kencana, Kecmatan Empanang,
      Kecamatan Badau, Kecamatan Batang Lupar/Lanjak, Kecamatan Embaloh Hulu, 
      Kecamatan Putusibau, Kecamatan Embau Hilir (Jongkong), Kecamtan Bunut Hilir
      dan  Kecamatan Bunut Hulu.
2.2.Suku bangsa Dayak Kantuk dan atau Melaban*) di : Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Empanang, Kecamatan  Silat Hilir, Kecamatan Semitau, Kecamatan Seberuang, Kecamatan Bunut Hilir, Kecamatan Embaloh Hilir, Kecamatan Embaloh Hulu, Kecamatan Mandai, Kecamatan Kalis, Kecamatan Kedamin, dan Kecamatan Putussibau. *) Surat   KENNIS De Controleur der Boven Kapoeas, 1 Mei 1881 dan Kepala orang  Kantuk Ampanang Temenggung Saloen.   
2.3.Suku bangsa Dayak Suhaid di: Kecamatan Silat Hilir, Kecamatan Semitau, Kecamatan Seberuang, Kecamatan Suhaid.
2.4.Suku bangsa Dayak Seberuang di: Kecamatan Seberuang, Kecamatan Semitau,  dan Kecamatan Silat Hilir.
2.5.Suku bangsa Dayak Manyan ( Mensusai) di : Kecamatan Suhaid dan Selimbau.

                    3.  Rumpun suku bangsa Dayak Kayan ( orang Hulu di Sarawak Malaysia):
 3.1. Suku bangsa Dayak Kayan di : Sungai Mandalam ( Mendalam ) Kecamatan 
        Putussibau.   .
      3.2. Suku bangsa Dayak Bukat/Bokot di : Banua Sio (Sungai Sibau), Sungai Mandalam
             Kecamatan Putussibau dan  Matalunai  Sungai Kapuas Kecamatan Kedamin.
      3.3. Suku bangsa Dayak Pu’un/ Pu’unan (Punan) di:  Sungai Kapuas, Sungai Bungan, 
             Kecamatan Kedamin
      3.4. Suku bangsa Dayak Oheng/Peneheng  ( ada juga yang menyebutnya Punan) : di
             Sungai Kereho/ Keriau, Kecamatan Kedamin.
               4.  Rumpun suku bangsa Dayak Gilang dan Sansilat di: Sungai Silat Kecamatan Silat Hulu.
5.      Rumpun suku bangsa  Dayak Suruk di Kecamatan Mentebah dan Kecamatan Bunut   Hulu.
6.      Rumpun Suku bangsa Dayak Sebelit /Mentebah  yang sebagian menjadi “Singanan/ Senganan” di: Mentebah dan Kecamatan Boyan Tanjung.
7.      Rumpun Suku bangsa Dayak Embau yang menjadi “Singanan/ Senganan” di: sepanjang Sungai Embau di  Kecamatan Embau Hilir, Kecamatan Embau Hulu dan, Kecamatan Batu Datu.

KABUAPTEN SINTANG DAN MELAWI ( sebelum pemekaran) ada suku bangsa Dayak:
1.Suku bangsa Dayak Iban di Merakai, 2.Bugao di Senaning, 3.Tabun di Ketungau,4.Desa di Lebang, Kayan Hilir dan di Sepauk, 5.Melaban di Ketungau, 6.Tanjung di Ketungau, 7. Bantuk di Ketungau, Ramba/ Raba, di Ketungau Seberuang di Sepauk, 8. Kubin di Melawi, 9.Randu di Melawai, 10.Limbai di Melawi,  11.Malahui di Melawi, 12.Sehiai di Melawi, 13. Serawai di Melawi, 14.Dohoi di Melawi, 15. Kenijal di Melawi, 16.Linoh di Melawi, 17.Baya di Melawi, 18. Engkelino di Melawi, 19. Kudao di Melawi, 20. Dakan di Melawi, 21. Gandis di Melawi, 22.Sekubang,  di Melawi, 23. Sandai di Melawi, 24.Pangin di Melawi, 25.Batu di Melawi, 26.Keluas di Melawi, 27.Meligai di Melawi, 28. Uud Danum di Melawi, 29..Barai di Melawi/ Belimbing dan Kayan, 30.Sekujam di Sepauk, 31. Mualang di Sepauk, 32.Undau di Kayan Hilir, 33. Kebahan di Kayan Hilir, 34. Tebidah di Kayan Hulu 35. Paya di Kayan Hulu, 36. Papa di Kayan Hulu, 37. Lebang Nado di Kayan Hilir, 38. Inggar Silat di Kayan Hilir.



                    KABUPATEN SANGGAU DAN SEKADAU ( sebelum pemekaran) ada suku bangsa
                    Dayak:   
1.      Mualang di Belitang, 2. Mahab di Nanga Mahab, 3.Tembaga di Hulu Sekadau/ Nanga

Mahab, 4. Koman di Nanga Mahab/ Nanga Taman,5.Menterap di Nanga Mahab, 6.Mentuka di Nanga Mahab/Nanga Taman,7.Taman di Nanga Taman/Rawak, 8. Mongko di Nanga Taman, 9. Ungkulun di Nanga Taman,10 Kerabat di Nanga Taman/Rawk, 11. Semerawai di Nanga Taman, 12. Jawan di Rawak,  13. Sawai di Rawak, 14. Pengkodan di Pusat Damai/Sangau Kapuas, 15. Pandu di Bodok/Pusat Damai/Sosok, 16.`Pompakng di Sanggau Kapuas/ Meliau, 17. Mangkit/ Berua di Balai Batang Tarang/Tayan Hilir, 18. Tebang di Tayan Hilir, 19.Desa di Meliau/Terjau. 20..Ketungau Tabae di Sekadau, 22. Ketungau di Rawak/ Sekadau, 23. Ketungau Desa di Sekadau, 24..Benawas di Sekadau, 25.Sungkong di Sekayam, 26. Sontas di Sekayam, 27.Bedayu di Sekayam, 28. Jangkang di Jangkang/Balai Sebut, 29.Ribun di Kembayan/Bonti/Sanggau Kapuas, 30. Dosan di Bonti, 31. Tingin di Bonti.

KABUPATEN PONTIANAK DAN LANDAK (sebelum pemekaran) ada suku bangsa Dayak:
1.      Sungkong di Air Besar, 2. Manyuke di Air Besar/Darit,3.Sangku di Sambe/Ngabang,
4.Kanayan’tn di Sengah Temila/Mandor/Karangan/Manjalin/Toho/Anjungan dan Sungai Ambawang.

KABUPATEN SAMBAS  DAN BENGKAYANG ( sebelum pemerkaran) ada suku bangsa Dayak:
1.      Lara ( Dameo) di Singkawang/Bengkayang/Bantanan, 2. Bakati di
Bengkayang/Sanggau Ledo dan Ledo, 3.Jogoi di Jogoi/Seluas, 4.Iban di Pare/Seluas,5. Sungkong di Tamong/ Jagaoi. 

KABUPATEN KETAPANG ada suku bangsa Dayak:
1.      Jelai Hilir dan Jelai Hulu di Sandai, 2.Kendawangan di Kendawangan/ Manismata/ Marau, 3. Pesaguan Hilir  dan Pesaguan Hulu di Pesaguan, 4. Kayong di Tayap,5. Tayap di Tayap, 6. Gerunggang di Tayap, 7. Cali di Tayap, 8.Keriau di Sandai, 9.Biak di Sandai, 10. Laur di Lur, 11. Siring di Simpang/Balai Berkiak, 12.Gerai di Balai Semandang /Balai Berkuak, 13. Beginci di Sandai, 14. Sengkuang ( Keturunan Ulu  Ae Keriau )di Sandai
     
                    Sejak keberadaan mereka pada wilayah (ulayat) masing-masing dimaksud mereka telah    
       menemukan wilayah ( ulayat), yang menurut suku bangsa Dayak Embaloh ( Banuaka’) adalah atas karunia “Sampulo Padari” Jubata, ( sang Pencipta ), yang bermula dari “Kunyayi Tau Jolo” (nenek moyang ),  mereka menguasai / menduduki wilayah tertentu,  baik karena penalukan,  maupun karena pemberian suatu kawasan/ wilayah ( ulayat ),  yang juga dikenal dikalangan mereka dengan sebutan “hak banua/hak menua/watas”, yaitu hak yang  sama dengan hak- hak serupa itu, adalah satu kawasan termasuk  hutan yang tidak dimiliki oleh warga secara perorangan, tetapi dapat diusahakan untuk perladangan dan berkebun oleh setiap warga masyarakat adat yang bersangkutan, dalam suatu kehidupan yang bersahaja, menyatu dengan alam dan lingkungan sampai suatu kurun waktu yang tidak terepisahkan, bahkan dengan alam gaibnya ( relegio magis). Walaupun percisnya istilah ulayat yang sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk tidak mengakui keberadaan hak banua/ hak menua/watas hak komunal yang merupakan “hak-hak serupa itu”.

B.     Keberadaan Hak Ulayat dalam  Peraturan Perundang-udangan

     1. Dalam praktek Ketatanegaran  politik hukum di Indonesia: jauh sebelum  Proklamasi kemerdekaan   tanggal 17 Agustus 1945  atau  yang diakui secara konstitusional adalah  tanggal 18 Agustus  1945 sebagai saat ditetapakannya UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia ada statemen untuk mejadikan Hukum Adat sebagai dasar pemersatu bangsa, yang memang telah lahir bersamaan  dengan Statemen Satu Nusa ( Tanah Air Indoensia ) , Satu Bangsa  ( Bangsa Indonsia ) dan Satu Bahasa ( Bahasa Indoensia ), yaitu sejak   Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

                 2. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan  Negara, sebagai salah perwujudan tuntutan kemerdekaan dan tanggung jawab pemerintah kepada bangsa Indonsia, secara Nasional pada tanggal 24 Septermber 1960,  telah ditetapkan UU No. 5 Tahun 1960, tentang Pokok-pokok Dasar Agraria, sebagai suatu langkah maju bahwa politik hukum Inonesia telah menembus tatanan hukum Agraria Kolonial ( Agrariswet). Salah satu ketentuan yang penting  adalah masalah pengakuan  Hak Milik Adat dan Hak  Ulayat/ Hak-hak serupa itu tentang tanah sebagiamana bunyi pasal 2 ayat (5).

                3.  Tahun 1999 Menteri Negara Kepada Badan Pertanahan Nasional, telah menetapkan
                      Peraturan No. 5 Tahun 1999, yang secara tegas mengatur keberadaan Tanah Milik Adat
                      Dan  hak ulayat atau  hak-hak serupa itu.

4.      UUD 1945, Pembukaan alinea keempat yang menyatakan :….” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara  Indonesia  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah Indonesia untuk memajaukan kesejahteraan  umum…..” …..” …..serta dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia…..”.

5.      Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen  pernah mengisyaratakan
          bahwa salah satu norma yang hidup dan akan hidup dalam masyarakat adalah Hukum Adat
          atau Adat Istiadat.

    6.  Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria:
6.1. Pasal  3 . Dengan mengingat ketentuan – ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak   
       ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat –  masyarakat hukum adat, sepanjang
       menurut kenyaatannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
       kepentingan nasional dan Negara, yang berasar atas persatuan bangsa serta tidak
       boleh bertentangan dengan undang-undang dan perturan-peraturan lain yang
       lebih tinggi.
6.2. Penjelasan Pasal 3:  Yang dimaksud “ hak ulayat  dan hak-hak serupa
       itu, “ ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut “
       beschikkingsrechts……”
6.3. Penjelasan Umum II. Dasar –dasar dari hukum agraria nasional.
       (3). Bertalaian dengan  hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan
              kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka di dalam
pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari   kesatuan-kesatuan masyarakat  masyarakat hukum, yang dimaksud akan   mendudukan hak                                      itu didalam tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3                                       itu menentukan, bahwa:  Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari                                       masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih                                       ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentinggan nasional dan                                       Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan                                      dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.           

6.4.             Pasal 5 menyatakan:
             Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan        ruang angkasa  ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama.

6.5.            Penjelasan Umum III. Dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan    
            kesederhanaan hukum.

       (1)    . …..” Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme
                itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum sesuai dengan
keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan  sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.  Dengan sendirinya  hukum agraria baru itu harus sesuai dengan  kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indoensia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan  pula pada ketentuan- ketentuan hukum adat itu,  sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan sesusai dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta sesuai dengan sosialisme Indonesia.
        
              7.  TAP MPR No. XVII/MPR/ 1998 jo. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
                   Manusia, dalam pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa Dalam rangka penegakan  hak azasi manusia perbedaan dan kebutuhan dalam nasyarakat hukum adat harus diperhatikan  dan dilindungi oleh hukum masyarakat dan pemerintah, demikan pula ayat (2) menyatakan bahwa: Identitas budaya masyarakat  tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman.

             8.  Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No  5 Tahun
                  1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat  Hukum Adat  menyatakan

  8.1   Konsisedaran: Menimbang:
a.       bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya    hak ulayat dan yang serupa itu dari   masyarakat hukum adat,    sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud     dalam keketentuan Pasal 3 Undang-undang No.5 Tahun 1960…..” 
b.      bahwa dalam kenyaatannya pada waktu ini dibanyak  daerah masih terdapat tanah- tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayat. 

 
 8.2.  Pasal 2
        (1).  Pelaksanaan hak ulayat sepenjang menurut kenyataannya   masih ada dilakukan
               oleh masyarakat hukum adat yang  bersangkutan menurut hukum adat setempat
                .
        (2).  Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada   apabila: 
                a.   Terdapat sekelompok orang yang merasa masih terikat oleh  tatanan hukum
                                              adatnya sebagai warga bersama suatu    persekutuan hukum tertentu, yang
                                              mengakui dan   menerapkan  ketentuan- ketentuan persekutuan tersebut 
                                             dalam kehidupannya sehari-hari.
b.      Terdapat tanah ulayat teretentu yang menjadi lingkungan hidup para warga.
      persekutuan hukum tersebut dan tepatnya mengambil keputusan  hidupnya
      sehari- hari.
c.       Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
.
               8.3. Pasal 5 ayat
     (1). Penelitian dan penetuan masih adanya hak ulayat sebagaimana      dimaksud dalam
            pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dengan     mengikut sertakan pakar hukum
            adat, masyarakat hukum adat yang    ada di daerah yang beresangkutan, Lembaga
            Swadaya Masyarakat     dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

                8.4     Pasal 6. Kententuan lebih lanjut mengenai pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah
      yang bersangkutan.

                8.5.    Selanjutnya Peraturan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan  No. 5 Tahun 1999,
       tersebut dijelaskan pula  dalam Suratnya tanggal 24 Juni 1999,  Nomor 400-2626, 
       kepada para Gubernur, Bupati/ Walikotamadya dan Kepala Kantor Wilayah BPN dan
       Kepala Kantor Pertanah Kabupaten/ Kota madya, seluruh Indonesia.

  8.6.   Kepustakaan lain yang mendukung teori dalam makalah ini, terutama dalam pembuktian
           keberadaan masyarakat suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat, adalah:
1).      Kesepakatan “ Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo   Budaya Dayak” 
          tanggal 26 – 28 November 1992, yang dihadiri 300 peserta wakil-wakil dari
          seluruh Kalimantan Republik Indonesia dan juga dari Sarawak serta Sabah
          Malaysia, dengan salah satu ketetapan tersebut diantaranya:“Pemurnian hak
          ulayat atas tanah masyarakat”.
2).      Khususnya ketentuan peraturan perundang-udangan yang menjadi dasar
          kewenangan Pemerintah Daerah di Kalimantan Barat,  baik dalam
          pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara umum,
          maupun yang berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,
          walaupun peraturan perundang-undangan tentang itu sering kali mengalami
          perubahan, namun pada saat makalah ini disusun ketetuan-ketetuan tersebut yang
          masih dapat dipedomani antara lain:    
    
a.       Undang-undang No. 25 Tahun 1956 dan Undang-undang No. 27 Tahun 1959
tentang pembentukan Kabupaten Daerah  Tingkat II di Kalimantan Barat dan    perauran perundang-undangan pekekaran 4 Kabupaten 1 Kota ( Kalbar sekarang 10 Kabupaten dan 2 Kota), dimana didalamnya telah ditetapkan urusan-urusan yang menjadi kewenangan Daerah, baik Kepala Daerah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


c.       Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah memberikan kewenangan secara otonom kepada daerah, secara nyata dan seluas-luasnya, termasuk kewenang pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

d.      Undang - undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan, adala merupakan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara Nasional,  termasuk unuk pembentukan Peraturan Daerah, oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakian Rakyat Daerah.

e.       PeraturanMenteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istidat, Kebiasan-kebiasan Masyarakat, dan Lembaga Adat  di Daerah.

Namun sayang statemen  atau keputusan Politik Penguasa Negara yang telah mendapat madat dari Rakyat, baik sebagai unsur  Legestatif maupun Eksekutif,  tidak pernah dpat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena “penyerahan urusan dibidang pertanahankecuali ketetuan Hak Ulayat sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertananhan Nasional No. 5 Tahun 1999, lain-lainnya tidak jelas, atau bahkan tidak diatur, sehingga masalah Hak Milik Adat/ Hak Ulayat atau Hak-hak Serupa itu, menjadi permasalahan  yang tidak akan penah berakhir, baik secara Nasioanal, maupun Regional/ Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, khususnya di Kabupaten Kapuas Hulu.





        II.  BEBERAPA FAKTA DAN TEORI  YANG MENYANGSIKAN PENGAKUAN
             HAK ULAYAT ATAU HAK-HAK SERUPA ITU             
              
            1.   Prof. Boedi Hasono, SH :“Ketentuan- ketentuan hukum yang diadakan untuk melindungi
hak dan kepentingan para pemilik tanah tidak jarang ditafsirkan menyimpang dari hakikat eksistensinya. Penguasa-penguasa Daerah ditafsirkan sebagai Pejabat yang berwenang secara sepihak menetapkan bentuk dan jumlah ganti kerugian”….”Dibiarkan para pemegang izin lokasi menggunakan berbagai cara fisik dan psikologis dalam menekan dan memaksa para pemilik tanah untuk merelakan tanahnya diambil penguasa pemegang izin lokasi. Salah satu produk hukum pertama Penguasa Orde Baru adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam prakteknya Undang-undang tersebut juga menimbulkan kenyataan perlakukan yang tidak adil pada masyarakat-masyarakat hukum adat dan warganya, yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Penguasaan Hutan kepada Pegusaha.” (Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah,  Reformasi Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Sekolah Tingggi Pertanahan Nasioanal:    2001: hal 46).

             2.   Dr. R. Supomo dan Prof. Mr. R. Djokosutono, sebagai perwujudan  politik hukum di
                   Indonesia, penjajah sendiri mau mengakui keberadaan  Hak Adat itu seperti yang  terjadi
                   pada:
.…” tanggal 1 Mei 1848 jaman  Hindia Belanda,  telah  diberlakukan  undang-undang baru ( nieuwe wetgeving) sebagai wujud  awal POLITIK HUKUM  ( bewuste rechtspolitiek)…..”….. “dapatlah dipandang sebagai permulaan hikmat ( politik) hukum pemerintah Belanda yang diinsafkan terhadap bangsa Inodonesia”…..” Dengan uraian diatas, yang menunjukan bahwa adalah hal yang beralasan,  jika kita memandang tahun 1848 sebagai saat terlahirnya masa baru didalam sejarah hikmat hukum pemerintah Belanda terhadap bangsa Indoensia,….” …..” Sedang hikmat hukum didalam arti yang terbaik bermaksud untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat Indonesia dengan jalan mengada kan peraturan-peraturan yang dapat memenuhui kebutuhan rakyat tadi…..”…..” Akan tetapi, berbahagia untuk hukum adat, nampaklah kemudian perubahan didalam sikap pemerintah Belanda. Lambat laun dapatlah ilmu hukum adat memperoleh kemenangan  didalam untuk terus menerus menganjurkan-anjurkan arti hukum adat terhadap serangan dari luar.”…..”  karena hukum adat adalah hukum yang bertumbuh nyata dari masyarakat bangsa Indonesia….”…..” maka teranglah, bahwa sekarang hukum adat menjadi pusat perhatian pemerintah Belanda didalam usahanya untuk menjalankan politik hukum terhadap bangsa Indonesia.” ( Sejarah  Politik Hukum Adat:  1954: Hal 3,5, 6 dan 7 ).

2.      Maria  R. Ruwiastuti : “ Menurut logika konseptor Undang-undang Agraria tersebut, karena hak ulayat persekutan hukum adat itu sudah ditingkatkan nilainya menjadi hak ulayat negara, maka penggunaannya tidak lagi terbatas paada anggota- anggota persekutuan hukum adat setempat berlakunya. Oleh karena itu tidak heran jika orang luar perskutuan pun punya peluang untuk memohon HGU atau hak-hak lain diatas tanah-tanah hak ulayat negara tersebut. Permohonan mana tidak perlu lagi melibatkan kepala-kepala persekutuan setempat, melainkan langsung kepada Pemerintah Pusat.” ( Pembaharuan Sistem Hukum Agraria, Prinsip-prinsip Reformasi Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat : 2001 72-73).

3.      Ali Mustapa Trajutisna: “ Hak menguasai tanah pada negara itu telah menghancurkan  
Konsep persekutuan hukum adat atau masyarakat adat hak ulayat. Persekutuan masyarakat hukum semuanya memerlukan ruang- tanah sebagai wahana kehidupan, baik masyarakat hukum yang terbentuk karena factor geneologis ( tribal constitutions) maupun territorial ( territorial constitutions ), atau kombinasi keduannya. Banyak sekali masyarakat adat hak ulayat yang mengalami marginalisasi karena terlikuidasi dari tanah hak ulayatnya. Mudah diduga jika proses ini terus berlanjut maka berbagai kekayaan masyartakat kebudayaan asli ( indigenous cultural commuity ) baik materil maupun immaterial akan punah, yang  berakibat panjang dalam tatatanan masyarakat kebangsaan keseluruhan……Tanpa penguasan tanah adat hak ulayat secara penuh,  sekurang-kurangnya dalam jumlah yang memadai, maka masyarakat adat akan lumpuh, juga masyarakat desa disekitar hutan.” ( Hutan 2020 Rangkuman dan Hasil Konvensi Nasional Hutan dan Perkebunan Rakyat  1999).



 III.  P E N U T U P

       A.   KESIMPULAN    
           
       1.    Keradaan Hak Ulayat atau hak-hak serupa itu di Kalimantan Barat.

             Bahwa dilihat dari usia keberadaan masyarakat hukum adat suku bangsa  Dayak di Kalimanatan Barat, yang tersebar di 10 Kabupaten dan 2 Kota, dan secara turun temurun atau sekurang-kurangnya sudah berada dan mengusai wialyah ( ulayat) dimaksud, adalah sebelum ditetapkannya UUPA tanggal 24 September 2004.

            Bahwa masyarakat hukum adat suku bangsa Dayak penguasa wilayah ( ulayat) dimasing-masing Daerah di Kalimantan Barat, secara de facto maupun secara de jure ataupun  secara lahiriah (terikat pada alam, isolemen, unifomatif, indeferensiasi, dan konservatif) maupun secara batiniah ( relegio magis/ sacral, komunalitas, kontan, konkrit dan asosiatif),  masih dengan jelas menampakan adat/budaya dan hukum adat mereka, terutama yang berkenaan dengan kehidupan yang sehari hari  berhubungan dengan alam/ tanah.

            Bahawa masyarakat hukum adat suku bangsa Dayak, penguasa wilayah (ulyat) dimasing-masing Daerah di Kalimantan Barat bersama pengurus/pemangku adat/fungsionaris adatnya, dalam berbagai jenjang kepengurusan, sebagai bangsa yang bermasyarakat, dimana adat baik sebagai budaya maupun sebagai hukum, masih dengan jelas eksis dalam hidupannya yang “dikandung adat/ belandaskan pada adat dan budayanya” masing-masing..  



2.      Good will Pemerintah.

            Dari tinjauan  Politik Hukum  kecenderungan dari Pemerintah untuk meniadakan  
hak masyarakat   hukum adat terutama hak ulayat atau hak-hak serupa itu,  sebagai hak banua/hak menua/watas komunal, selalu menjadi mimpi buruk yang membayangi-banyangi hak masyarakat persekutuan hukum adat suku bangsa Dayak tersebut, sehingga oleh karena itu masyarakat persekutan hukumadat suku banggsa Dayak, hendaknya lebih mencermati semua peraturan perundangan –undangan dan kebijaksanaan pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun daerah, apalagi setelah pencabutan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,   karena  untuk penguasaan tanah bagi perusahaan maupun permerintah masih dirasakan ada dan atau akan adanya kebijaksaan Pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat, yaitu dengan menerbitkan:….. “serangkai peraturan perundang-undangan yang menyediakan berbagai fasilitas dan sarana, untuk memudahkan dan memastikan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah-tanah yang diperlukan. Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan tanah-tanah milik rakyat kecil tani dan perkotaan serta tanah-tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang berupa hutan.” ( Prof. Boedi Harsono, SH, Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah,   Reformasi Pertanahan,  Badan Pertanahan Nasional , SekolahTinggi Pertanahan Nasional : 2001: hal  44 ). 

             Sebagaimana diketahui  biarpun menurut kenyataanya hak ulayat itu ada dan atau
berlaku dan mugkin juga pernah  diperhatikan  di dalam keputusan-keputusan hakim, namun belum pernah ada pengakuan atas hak ulayat tersebut dilaksankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesungguhnya berfihak kepada masyarakat, tetapi malahan sebaliknya bahwa didalam melaksanakan peratruan-peraturan agraria, hak ulayat itu sering kali diabaikan. Padahal  dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang Pokok Agraria yang pada hakekatnya berarti  itu pengakuan akan adanya hak dikmaksud,  maka tentunya hak ulayat itu akan diperhatikan (recognitie).

             Bahwa hak ulayat atau hak-hak serupa itu yang di kehendaki dalam Peraturan
        Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, untuk penegasan pengakuan status keberadanya, ternyata  belum  ada satupun  Pemerintah Daerah-pun yang mengatur ( terutama dengan Peraturan Daerah ).

  B.  S A R A N
      
    1.    Agar masyarakat suku bangsa Dayak dengan tekad bulat harus kembali Kesemangat Tekad dan
Perjuangan Tumbang Anoi tahun 1890, dan Hasil Seminar Kebudayan Dayak tanggal 26 – 28 November 1992 di Pontianak, dengan menghapuskan diskriminasi, bersatu memperjuangkan dan mempertahankan seluruh hak-hak atas tanah, terutama hak ulayat atau hak-hak serupa itu sebagai hak banua/hak menua/ watas komunal, untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat  hukum adat suku bangsa Dayak.
  
     2.    Jangka pendek mendesak Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera melaksanakan Peraturan
            Menteri Negara / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 agar menetapkan Peraturan Daerah masing-masing, sebagai penegasan pengakuan status Hak Ulayat yang  berpihak pada masyarakat persekutuan hukum adat, khususnya kepada masyarakat suku bangsa Dayak.
 
        3.  Jangka panjang memperjuangkan perubahan UUPA No. 5 Tahun 1960 untuk menegaskan kata-    
kata “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu, dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannnya masih ada sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara……”, menjadi hanya “hak ulayat dan/ atau hak-hak  dengan nama lain seperti” hak banua atau hak meneua sebagai watas komunal”  atas wilayah tertentu    pada masing-masing masyarakat persekutuan hukum adat,”  tanpa ditambah dengan kata sepanjang menurut kenyataanya dan lain-lainnya, karena itu adalah “ verfasung wandlung” yaitu  Politik Penyelundupan Hukum Penguasa untuk melindungi  kehendak penguasa dalam  meniadakan hak ulayat dari pada masyarakat persekutuan hukum adat,  khususnya pada masyarakat suku bangsa Dayak.

“Maniro loa i Sampulo maningara loa i Kunyanyi”
“Jalai hidup nitih Batara jalai adat nitih  Keling”
“ADIL KA’ TALINO BACURAMIN  KA’ SARUGA, BASENGAT KA’ JUBATA.”
                                                           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar