Senin, 03 Desember 2012

Hukum Adat Banuaka' di Banua Labaiyan



B A B       I
P E N D A H U L U A N

Pasal 1

Ketentuan Umum
                                                               
        Dalam Buku Hukum Adat ini terdapat beberapa kata-kata atau istilah,  yang dipandang perlu  untuk
        diberikan penjelasan sebagai berikut :

1.     HUKUM ADAT yang dimaksud dalam Buku Hukum Adat ini  adalah Hukum Adat Banuaka’  di Katamanggungan  Batang Labiyan Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten  Kapuas Hulu, Kalimantan Barat Indonesia.

2.     ADAT selain sebagai BUDAYA juga sebagai Hukum, dan yang merupakan  HUKUM, sebagaimana dimaksud dalam Buku ini   pada masyarakat Banuaka,’ adalah  norma atau kaidah yang dijadikan aturan atau pedoman dan penuntun dalam pergaulan hidup masyarakat Banuaka’.

  1. HUKUM ADAT BANUAKA’ yang disempurnakan dan disesuaikan ini berlaku bagi seluruh masyarakat Banuaka’ dan masyarakat lain, yang datang dan bertempat tinggal didalam wilayah pemangkuan hukum adat Banuaka’ di dalam wilayah Ke Tamanggungan dan atau di  seluruh wilayah Batang Labiyan.

  1. HUKUM ADAT ATAU KEBIASAAN yang  dianggap sebagai  adat namun bertentangan dengan Hukum Adat ini, atau yang sudah tidak sesuai lagi dinyatakan tidak berlaku.

  1. BANUAKA’  dalam Buku ini adalah sebutan umum bagi  masyarakat adat  yang juga dikenal sebagai masyarakat Tamambaloh atau Embaloh yang  berasal dan atau berada di Batang Labiyan yang sebelumnya memang pernah manjadi satu Ketamanggungan dengan Banuaka’ di Batang Tamambaloh, Kecamatan Embaloh Hulu.

  1. KEKUASAAN TERTINGGI ADAT baik sebagai  hukum maupun sebagai budaya berada ditangan Tamanggung dan Let-let Adat sebagai fungsionaris atau pemangku adat.

  1. PELANGGARAN terhadap adat diselesaikan oleh fungsionaris adat atau pemangku adat sebagai let adat.

  1. PATI NYAWA adalah NILAI   ganti  HARGA NAYAWA  yang menjadi istilah adat  dalam suatu kejadian baik karena perbuatan sengaja ataupun tidak sengaja yang telah menghilangkan nyawa seseorang.

  1. PATI NYAWA ULUN adalah  sutau istilah NILAI ganti  HARGA NYAWA yang  mengandung sangsi adat bagi sutau perbuatan yang DILAKUKAN DENGAN SENGAJA menghilangkan nyawa seseorang.

  1. ALAM RELEGIO MAGIS  atau  Alam Gaib adalah ALAM LAIN dari pada alam kediam manusia, dimana  pada alam tersebut  diyakini  berdiam arwah para leluhur atau nenek moyang manusia, yang dianggap atau dipercayai  masih tetap mempunyai hubungan dengan  manusia hidup.

  1. MAUNO atau membunuh  adalah  SUATU  perbuatan  melanggar adat yang dilakukan dengan menghilangkan nyawa seseorang baik sengaja atau tidak sengaja.

  1. KALE TAU adalah suatu nilai sangsi adat dimana  KALE berati sama dengan TUBUH atau  badan atau raga  yang mempunyai  jiwa  sedangkan TAU adalah orang atau manusia.

  1. PAPADISI adalah suatu perbuatan melanggar adat dengan maksud menyakiti atau menyiksa sesorang.

  1. MANIKOM adalah suatu pelanggaran adat dengan melakukan perbuatan mengancam, baik dengan mulut dan atau  disertai dengan senjata atau alat untuk menyakiti orang lain.

  1. MAMUKO adalah suatu pelanggaran adat oleh seseorang dengan cara mengajak orang lain untuk berkelahi  baik dengan  omongan biasa  atau teriakan  yang diarahkan kepada orang yang  tertentu.

  1. ANAK BAKAS adalah  seorang lelaki bujangan dan atau belum kawin , serta tidak terikat dalam suatu perkawinan.

  1. ANAK BAINYE adalah seorang  gadis dan atau perempuan yang  belum serta tidak terikat dalam suatu perkawinan.

  1. KASOPAN adalah suatu istilah HARGA DIRI.

  1. LET ADAT  adalah fungsionaris adat  atau pengurus adat, atau mereka yang  bertanggung jawab atas tegaknya adat, baik sebagai hukum maupun sebagai budaya.

  1. LAKUNYE adalah  suatu istilah untuk kata suami istri.

  1. BAINYE BALU  dan BAKA BALU adalah keadaan  seorang  perempuan yang berkabung karena ditinggalkan suaminya yang  meninggal dunia demikian sebaliknya BAKA BALU adalah seorang  lalki-laki yang dalam keadaan berkabung karena istrinya meninggal dunia.

  1. PARAUNTINGI adalah  sama  dengan kata menghamili.

  1. SANAK TOA adalah status hubungan keluarga  pada tingkat saudara sepupu sekali ( dimana Bapak/Ibu ) yang bersangkutan kakak beradik.

  1. SIALA PALAK ASU adalah  suatu hubungan  perkawinan yang berlangsung,  diantara seorang laki –laki dan seorang perempuan yang bapak dan ibunya, atu ibu dengan ibu, atau bapak dengan bapak masih bersaudara kandung dan oleh adat perkawinanannya TIDAK DIANJURKAN.

  1. BUNTING LAWAN  adalah  suatu keadaan dimana  seorang perempuan kedapatan hamil tanpa bersuami.

  1. SAUT ( Panyauti)   adalah suatu jenis adat yang dijatuhkan kepada seorang, atas suatu pelanggaran adat ringan, dan untuk  mengembalikan keseimbangan alam gaib atau  alam magis, perlu dilakukan dengan memberikan kurban hewan kepada pihak yang dirugikan.

  1. BANUA adalah suatu wilayah pemukiman masyarakat  adat.

  1. MANANDAS adalah suatu pebuatan  yang  melanggar adat karena  MENUDUH seorang.

  1. ANAK KAMPANG, adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang BUNTING LAWAN   yang tidak jelas suami atau lali-laki mana yang menjadi ayah dari anak yang dikandungnya.

  1. SIUKAN  adalah suatu  pelanggaran adat karena perbuatan, menjalin hubungan  cinta yang dilakukan oleh  seorang laki-laki yang sudah bersuami dengan perempuan  lain yang bukan istrinya.

  1. PAMBASA adalah suatu tindakan adat  untuk menghormati atau menghargai seseorang.

  1. BERANGKAT adalah suatu pelanggararan adat yang dilakukan  oleh seorang baik laki-laki atau perempuan dengan cara mengawini suami atau istri orang lain.

  1. MAMAO  adalah suatu pelanggaran adat  yang diakukan oleh serorang laki-laki atau seorang  perempuan untuk merebut suami  atau istri orang lain ( POAN adalah rebutan, IPO adalah direbut).

  1. UNJANGAN BAINYE ATAU LAKI adalah  suatu pelanggaran  adat menceraikan suami atau menceraikan istri.

  1. ARANGAN PALULUNG adalah suatu pelanggran adat  oleh seorang perempuan karena  suatu jalinan hubungan baik secara terang-terangan berzina  atau tidak dengan seorang lelaki yang telah beristri.

  1. BALU adalah suatu keadaan berkabung  yang dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki yang meninggal dunia  suami atau istri.

  1. MANJALAANG BAWI  adalah sutau peristiwa adat mengakhiri masa BALU  dengan memberikan seekor babi kepada keluarga suami atau istri yang meninggal dunia.

  1. KIBARAN BALU adalah suatu pelangaran adat yang dilakukan   oleh  seorang  perempuan atau laki-laki yang sedang manjalani masa BALU.

  1. MARAKAK  adalah suatu pelanggaran kesusilaan  dengan cara  MEMPERKOSA oleh seorang laki-laki atau lebih, secara paksa untuk menzinahi  seorang perempuan.

  1. SIKARAJA adalah suatu pelanggaran adat karena perbuatan asusila atau hubungan seksual yang dilakukan oleh sesorang secara tidak wajar, baik dengan manusia maupun dengan hewan.

  1. MARABOR atau MANGUDI  ( insest ) adalah suatu pelanggaran adat  karena perbuatan asusila atau hubungan seksual, yang dilakukan oleh sesorang secara tidak wajar, umpamanya antara ayah dengan anak kandungya,  antara  kakek dengan cucu kandungnya, atau antara manusia dengan hewan.

  1. SAUT BANUA adalah salah satu  jenis hukum adat, yang nilainya dijatuhkan  pada hewan babi  yang dikurbankan untuk pengembalian keseimbangan BANUA atau alam gaib atau alam relegio magis.

  1. SAUT MATASO adalah salah atu jenis adat, yang nilainya dijatukan pada hewan babi yang dikurbankan untuk pengembalian  keseimbangan alam, khususnya cuaca.

  1. PANABUS NYAWA adalah suatu upaya MENEBUS NYAWA dengan ADAT agar terhindar dari hukuman JAUM atau hukuman mati  ditancap dan direcam dengan bambu ditas batang kayu, yang pada pada zaman dahulu pernah terjadi , khususnya pada perbuatan MARABOR atau MANGUDI.

  1. PANABUS  MARBOR BANUA adalah suatu upaya MENEBUS  NYAWA diri sesorang, yang karena kesalahannya  dinilai, telah mengganggu  keseimbangan alam gaib atau relegio magis yang demi adat ditetapkan  dijatuhi hukuman mati.

  1. PANYAUTI BANUA adalah suatu upaya adat  dengan menyembelih hewan kurban untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan  alam gaib atau relegio magis.

  1. PANYAUTI MATASO adalah suatu upaya mengembalikan kesimbangan matahari dan atau  cuaca dengan menyembelih hewan  kurban.

  1. SALA BASAH, adalah suatu perbuatan melanggar norma kesusilaan atau sopan santun.

  1. MAOBO, adalah suatu perbuatan melanggar adat karena MENGUMPAT seseorang

  1. MALEMBAK ULITAN, adalah sutau perbuatan   yang melanggar adat, yang dapat dinilai telah   membuat orang yang berkabung tersingung atau terusik kekhusuknnya.

  1. BARI  DAUN, adalah  suatu kondisi dimana pada acara pesta yang telah disetujui tiba tiba digagalkan atau  gagal karena  tidak hadirnya orang yang menjadi objek utama dalam  undangan tersebut

  1. MANGANUNG-NGANUNG, adalah suatu perbutan berbohong  yang  dinilai telah melanggar adat, sehingga ada pihak-pihak yang telah dirugikan.

  1. PAPAULU, adalah suatu perbuatan yang menyebarkan berita kebohong ( gosip ) yang dilakukan dengan sengaja untuk menfinah atau mengata-ngatai orang lain.

  1. MANGABO BAUA, adalah suatu pebuatan  pelanggaran adat yang dinilai telah dan atau akan  mengakibatkan  tercemarnya lingkungan atau masyarakat

  1. UTANG BABA, adalah suatu  sangsi adat yang dijatuhkan kepada sesorang yang  karena omongannya telah merugikan pihak laian.

  1. MANGALIT, adalah suatu perbuatan  yang  karena  mengambil barang orang  lain dinilai telah mencuri.

  1. KOKOAN BIRING API, yaitu suatu perbuatan mengambil barang orang lain yang dikatagorikan mencuri dalam rumah korban.

  1. MANSAK, adalah suatu perbuatan atau sikap yang menimbulkan perangsang kepada pihak lain untuk berbuat sutau kejahatan.

  1. MARANG ARANG,  adalah suatu perbuatan mengolok-olok atau menghujat, yang dinilai telah  menimbulkan kemarahan orang lain. 

  1. MAMUKO, adalah suatu sikap mengajak orang lain berkelahi dengan melotarkan kata-kata agar orang tersebut terangsang untuk  melayani

  1.  MANAITI SAO, adalah suatu perbuatan menaiki rumah orang lain  secara tidak wajar yang diserti maksud  jahat   yang dapat dikatakan melanggar adat

  1. AMBITAN SAO, adalah suatu perbuatan menaiki rumah orang lain dengan cara tidak wajar, untuk maksud jahat yang dapat dikatakan melanggar adat

  1. MAINJAMI, adalah suatu cara berpacaran antara laki-laki dengan perempuan yang berlangsung diperaduaan atau ditempat tinggal siperempuan dan yang  oleh adat dilarang.

  1. LAATAN BIRING ALE, adalah suatu pelanggaran adat karena perbuatan MAINJAMI, yang menginjak  atau menyentuh tempat tidar orang lain yang telah  beristri atau bersuami

  1. BAUNDING, adalah suatu istilah  untuk orang yang sakit jiwa


  1. MANDAKAP SUNDAMAN, adalah suatu  perbuatan hukum  dalam perkawinan dengan   meng - adati,  salah satu pihak  untuk  menyatakan pengakuan  terhadap kaum keluarga, dengan membayar sejumlah adat 

  1. MANTAAT, sama dengan kata menyampaikan  atau meletakan

  1. MANJALAANG, yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah membayar dan atau memberikan

  1. AYUN ADAT, sama dengan kata NILAI ADAT.

  1. SIALA PALAK ASU,  adalah status  dua orang  yang kawin  dalam  hubungan darah  terdekat, yaitu dimana  Bapak dan  Ibu , atau Bapak dengan Bapak atau Ibu dengan Ibu  mereka adalah bersaudara  kandung.

  1. STRATA/KASTA ATAU GOLONGAN, adalah  susunan masyarakat Banuaka’ yang dikenal berlapis, mulai dari Samagat, Pabiring, Banua dan Pangkam ( Strata PANGKAM kini telah lama  dihapuskan )

  1. MAMBITI, adalah suatu upaya hukum adat  dari salah satu golongan, yang terjadi terutama dalam perkawinan,  untuk menyamakan  strata masyarakat Banuaka dari golomngan dibawah keatas, umpamanya dari Pabiring, ke Samagat, dari Banua ke Pabiring.

  1. IPITAI, adalah suatu perbuatan hukum adat, dimana  untuk dapat diterima  sepenuhnya menjadi warga, maka  sesorang dan atau URANG yang  mengawini  anggota salah satu kelompok dalam masyarakat Banuaka, diwajibkan untuk membayar adat  terlebih dahulu.

  1. URANG, istilah adat bagi  orang yang berada diluar persekutuan masyarakat adat Banuaka’

  1. TAJU sama dengan kata TUNANG dan  SITAJU  sama denagan kata BERTUNANGAN sedangakan  PANAJU adalah sama dengan kata  PENUNANG

  1. UNJANGAN TAJU, adalah sama dengan kata BUANG  atau PEMUTUSAN TUNANG

  1. POAN  suatu istilah dalam perkawinan yang sama dengan kata  RAMAPASAN dan IPO  sama dengan kata DIRAMAPAS sedangkan  MAMO adalah sama dengan kata MERAMPAS

  1. SIAROAAN, adalah suatu istilah dalam perkawinan yang menyatakan bahwa orang itu  dalam hubungan kekerabatan  mempunyai pertalian darah sepupu yang  memenuhi syarat untuk  kawin

  1. SILALOLAN, adalah suatu istilah dalam perkawinan  yang menyatakan bahwa orang itu dalam hubungan kekerabatan  mempunyai pertalian darah paman, kakek, nenek, keponakan, cucu dan sebagainya.

  1. MANGGILINGANG adalah suatu istilah adat untuk menyamakan status mereka yang mempunyai hubungan kekerarbatan dalam pertalian  darah yang menyimpang, seperti antara, kakek/nenek dengan cucu, atau paman/bibi dengan keponakan sedangkan  PANGGILINGANG adalah suatu benda,  yang dijadikan  adat untuk  memenuhi ketentuan adat

  1.  BIRING API, adalah suatu istilah untuk RUMAH TANGGA.

  1. MARAJUKANG TINDO atau MALENGKAANG TINDO, adalah suatu kondisi dimana dalam salah satu keluarga ( suami – istri ) terjadi cekcok yang mengakibatkan salah satunya minggat tidur ketempat keluarganya

  1. UNJANGAN, adalah sama dengan kata BUANGAN yang menggambarkan   suatu kondisi dimana salah satu pihak yang terikat dalam perkawinan menceraikan  pasangannya

  1. UNJANGAN LAKI adalah kata untuk BUANGAN ( menceraikan ) SUAMI dan UNJANGAN BAINYE adalah kata untuk BUANGAN ( menceraikan )  ISTRI

  1. PAMALU TOA ADAT, adalah jenis adat  yang  harus dibayar oleh seorang yang berlaku tidak sopan seperti   menghina atau memberi malu Adat dan atau  Fungsionaris adat

  1. PAKADENG atau MATIO BIRING API ( menegakan rumah tangga ),  adalah suatu istilah yang bekenaan dengan perkawinan , dimana  salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan, setelah terikat dalam suatu perkawinan, menundukan diri kesalah satu  pihak untuk menjadikan diri sebagai  orang  andalan dalam keluarga.

  1. MATIO TAMATOA adalah sama dengan kata MENGHIDUPI ORANG TUA.

  1. MANDUDUKI BIRING API, adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam suatu perkawinan,  dimana laki-laki atau perempuan yang telah terikat dalam suatu perkawinan, memilih atau ditetapkan oleh kaum keluagra  salah satu pihak, untuk tetap tinggal disalah satu bilik atau rumah tangga, sebagai  andalan keluarga.

  1. HAK BANUA,  adalah hak dari persekutuan masyarakat hukum adat Banuaka, dalam suatu wilayah atau kampung tertentu  yang maksudnya, sama dengan hak Ulayat  atau hak hak serupa  itu, atas tanah, air dan udara beserta isinya.

  1. LUNGUN, sama dengan peti mati atau  peti  jenazah yang terbuat dari sebatang pohon

  1. MARATASANG, adalah suatu   perbuatan yang dilakukan oleh seeorang yang dituakan untuk memulai suatu pekerjaan  dalam suatu  peristiwa adat, sebelum  dimulai pekerjaan lanjutannya., umpamanya,  memulai penggalian liang kubur atau liang lahat,  mengerjakan  suatu ukiran yang berkenaan dengan pekerjaan yang bersifat ritual.          

  1. DAUN SAKALA adalah suatu jenis  hidangan makan  dalam suatu upacara adat,  yang  terbuat dari nasi atau  beras biasa yang dibuat  membulat, sesuai dengan bentuk kuali atau wajan, dan kalau dihidangkan selalu dilengkapi dengan lemang/ ketan/pulut suman yang pajang 8 batang yang pendenk 8 batang, dodol  ketan/beras yang disebut kalame delapan yang bulat  bola dan satu yang bulat memanjang serta daging babi khusus yang disebut JAJAR BAWI.

  1. DARA SURI, adalah suatu jenis  adat yang terkecil atau terendah, yang terdiri dari darah ayam yang dioleskan pada daun Suri, salah satu jenis  daun  yang sering dipakai dalam upacara adat.

  1. MAMPITI, sama dengan kata MENGHADIRI.

  1. MANDAAS, adalah suatu upacara adat bela sungka atas mninggalnya sesorang, sebelum jenazah dikuburkan, dengan maksud  melayat untuk memberikan penghiburan  kepada keluarga yang ditinggalkan   dan atau penyampaian rasa duka kepada orang yang meninggal dunia.

  1. MARARAK  TATA adalah suatu upacara adat  buang pantang setelah mengginggalnya salah seorang warga atau   suatu upacara adat mengakhiri masa berkabung

  1. MANYURAMBI, adalah suatu aktifitas  perbaikan atau pembuatan  kuburan  atau makam keluarga, yang dilaksanakan berdasarkan adat  yang bersifat ritual pada masyarakat Banuaka’

  1. MAULAMBU adakah suatu aktifitas adat yang berkenaan dengan perbaikan  atau pembuatan kuburan atau makam keluarga, yang  penuh dengan ritual dan dianggap sebagai salah satu upacara adat, yang tersebesar pada masyarakat Banuaka’

  1. MARARAM ULU adalah suatu aktifitas mengakhiri masa berkabung, yang pada zaman dahulu ditandai dengan merendam tengkorak ( karumpang ulu ),  yang dilengkapi  dengan  hiasan daun enau muda ( bulo saang )

  1. PATAUNAN adalah suatu periode untuk memulai masa bertanam padi.

  1. ALAO ARUMA adalah suatu istilah pertanian yang  sama dengan kata mulai masa pertanian

  1.  MALAO BANYIA adalah  tahapan dalam masa pertanian, untuk memulai masa bertanam atau menugal, yang biasanya didahului oleh seorang panutan yang selalu beruntung dapat padi pada setiap kali musim tanam.

  1.  PAMOLE BEO, adalah suatu masa syukuran dalam  mengakhiri kegiatan atau suatu masa tanam ( dalam satu tahun), yang ditandai dengan upacara adat  “pembuatan kalangkang” yang dilengkapi dengan aneka sesajen, seperti : daun sakala, pulut suman, kalame daging, ikan bao/ lauk  sisik salae/asap, ikan belida/barira segar, minuman danum baram dalam  lumpang bulo ririas.

  1. Kalangkang adalah suatu kotak kayu yang terbuat dari kayu LITA/PELAI  yang diukuir dan diambil secara khusus dengan upacara adat, yang selanjutnya digunakan sebagai tempat menyajikan makanan, minuman, sirih rokok dan lain lain kepada arwah para leluhur.

  1. Hukum Adat yang ada dalam Buku ini hanya berupa Pedoman Dasar, baik sebagai Hukum maupun sebagai Budaya masyarakat Banuaka’ ini dan  mulai berlaku, pada tanggal penetapan dan pengesahan oleh  Tamanggung dam Let-let Adat,  dalam rapat khusus let adat yang diadakan untuk itu, oleh masyarakat Banuaka’ di Batang  Labiyan.

     
                                                    
                                                                                BAB    II
                                                     POKOK -  POKOK HUKUM ADAT
                                                                      Pasal   2

       
(1)     Untuk memudahkan pemahaman bagi  semua pihak yang berkepentingan, maka peristiwa  adat yang bermula dari kebiasan ke norma-norma  menjadi hukum adat, perlu dibedakan dalam berbagai  kejadian baik pelanggaran maupun kejahatan.

(2)     Jenis Hukum Adat yang  dimaksud pada ayat (1)  pasal ini dibedakan atas :
             
I.                    Ketegori Hukum Adat Khusus, yaitu:
              - Patinyawa Ulun
II.                  Kategori  Hukum Adat Umum, yaitu:
              1. Kaletau
2. Garantung Raa
3. Kelengkong
4. Bakam Lama
5. Saut
6. Pipikan Dara Suri
             
(3)     Nilai masing-masing Hukum Adat adalah


  1. Pati Nyawa Ulun  = 1.000.- (seribu)  geram emas murni 24 Karat
  2. Kaletau Adat Biasa = Rp. 75.000.-  Sedangkan  untuk adat  perkawinan  1 (satu) kaletau dinilai sama dengan 6 (enam) geram emas murni  karat, demikian pula untuk adat  kematian 1(satu) juga dinilai sama dengan 6 (enam) geram emas murni 24 karat
  3. Garatung  Raa                      =  Rp.  65.000.-
  4. Kalengkong                            = Rp.  50.000.-
  5. Bkam Lama                           = Rp.  30.000.-
  6. Saut                                          = bawi/babi/manuk/ayam
  7. Pipikan Dara Suri                 =dara manuk/darah ayam


 (4)       Kejadian sebagaimana dimaksud pada  ayat (2) pasal ini dibedakan sebagi berikut:

1.     Pati Nyawa
2.     Kesusilaan
3.     Kehormatan
4.     Pencurian
5.     Pengrusakan/pemusnahan
6.     Keamanan
7.     Perkawinan
8.     Perceraian
9.     Pewarisan/pemilikan
10.  Pertanahan/kehutanan
11.    Adat Kematian
12.    Pamole Beo
13.  Pataunan
14.  Kebiasaan


                                                                              

    BAB   III
                                                                                PATI NYAWA
                                                                                    Pasal   3


(1)    Barang siapa “ MAUNO”  (membunuh} atau menghilangkan nyawa seseorang  dengan sengaja  dan atau direncanakan, sebelum diserahkan ke pada Pemerintah Republik Indonesia untuk diadili di Pengadilan Negeri, untuk mengembalikan keseimbangan alam relegio magis, terlebih dahulu harus dikenakan sangsi adat PATI  NYAWA ULUN dengan hukuman sebesar  1000 ( seribu ) geram emas murni ( emas 24 karat)i,  ditambah dengan saut banua  1 (satu)  ekor babi.

(2)    Barang siapa ikut membantu melakukan  pembunuhan “ MAUNO” atau menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja atau direncanakan sebelum deserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk diadili di Pengadilan Negeri, untuk mengembalikan  keseimbangan alam relegio magis, terlebih dahulu harus dituntut dengan adat  PATINYAWA ULUN 1000 (seribu)  geram emas murni atau  setengah PATI NYAWA ULUN 500 (lima ratus )  geram  emas murni dan saut banua satu ekor babi, sesuai dengan  berapa jauh keterlibatan orang tersebut dalam peristiwa pembunuhan dimaksud pada ayat (1) pasal ini.

(3)    Barang siapa  “MAUNO” ( membunuh ) atau menghilangkan  nyawa seseorang baik langsung maupun tidak langsung akibat sesuatu hal yang dapat menyebabkan kematian dengan saksi-saksi dan fakta-fakta yang dapat dibuktikan, adatnya diselesaikan pada Peradilan  Adat  dengan sangsi hukuman  satu pati nyawa, yaitu  12 kaletau, dan saut banua satu ekor babi.

(4)    Barang siapa ikut  melakukan pembunuhan ( “ MAUNO” ) atau menghilangkan nyawa seseorang  baik langsung maupun tidak langsung akibat sesuatu hal  yang dapat menyebabkan  kematian dengan saksi-saksi dan fakta-fakta yang dapat dibuktikan, adatnya diselesaikan pada Peradilan Adat dengan sangsi adat dengan hukuman  ½ (setengah)  pati nyawa, yaitu 6 kaletau.



BAB     IV
                                                                PENGANIAYAAN DAN ANCAMAN
                                                                                Pasal  4

(1)     Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan penganiayaan ( PAPADISI ),  terhadap orang lain setengah mati dan mengakibatkan cacat, dikenakan  sangsi adat dengan hukuman ½ (setengah) pati nyawa yaitu  6 (enam )  kaletau ditambah biaya pengobatan atau perawatan, serta baiya hidup bagi korban .

(2)     Barang siapa dengan segaja ikut melakukan tindakan kekerasan          penganiayaan ( PAPADISI ) baik langsung maupun tidak langsung terhadap orang  lain sampai setengah mati dan menyebabkan cacat, dikenakan sangsi adat dengan hukuman   3 (tiga)  kaletau serta diwajibkan  ikut menanggung  biaya pengobatan atau perawatan sikorban.
                                                                        Pasal  5

Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan ( PAPADISI)  terhadap orang lain tetapi tidak membahayakan jiwa  dan tidak menyebabkan cacat, dikenakan sangsi adat dengan hukuman  1  (satu) kaletau  diktambah  saut satu ekor ayam.


                                                                        Pasal 6

(1)     Barang siapa dengan kemarahannya dengan  menggunakan senjata dan mengancungkan, merusak sesuatu, mengeluarkan kata-kata yang tidak wajar   serta  mengajak  sesorang  untuk berkelahi ( MANIKOM dan MAMUKO ),   dikenakan sangsi adat  dengan hukuman  1 (satu )    kaletau.

(2)     Barang siapa dengan kemarahannya menggunakan  senjata  dan  mengacungkan, merusak sesuatu serta mengajak siapa saja berkelahi ( MANIKOM  dan MAMUKO ), dikenakan sangsi adat  dengan hukuman 1 (satu) kaletau ditambah satu garantung raa.


BAB    V
                                                                        KESUSILAAN
                                                                                Pasal   7

(1)     Adat kebiasaan siinjaman tidak  dapat dibenarkan dan dihapus sama sekali.

(2)     Apabila seorang pemuda ( ANAK BAKAS ), mendatangi peraduan seorang pemudi  ( ANAK BAINYE ) dan oleh seorang pemudi itu  diterima, serta tidur bersama , maka keduanya dikenakan sangsi adat  larangan siinjaman dengan hukuman masing- masing 1 (satu) kaletau ditambah dengan pemalu (  KASOPAN ) Toa Adat (LET ADAT ),  sebesar satu kaletau.


(3)     Apabila sesorang pemuda ( ANAK BAKAS ) mendatangi peraduan seorang permudi  ( ANAK BAINYE ), hendak tidur bersama, tetapi oleh si pemudi ( ANAK BANYE ) ditolak, maka dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 (dua) kaletau, ditambah KASOPAN  orang tua 1 (satu) kaletau dan KASOPAN Toa Adat  ( LET ADAT )  juga 1 (satu)  kaletau.

(4)     Apabila perbuatan siinjaman tersebut diulangi lagi maka sangsi adat dengan hukuman untuk larangan mainjami, kasopan Let Adat dan orang tua dikenakan dua kali lipat.

Pasal 8

(1)     Apabila perbuatan mainjami tersebut dilakukan terhadap seorang wanita yang bersuami dan suaminya tidak berada di kampung  karena alasan  bekerja ditempat lain atau merantau,  sakit dan lain sebagainya tetapi masih LAKUNYE (dalam  ikatan perkawinan yang sah), dikenakan sangsi adat dengan hukuman sebesar 2 (dua) kaletau ditambah kasopan suami sebesar 2 (dua)  kaletau dan kasopan Let Adat sebesar  1(satu) kaletau serta membayar saut satu ekor ayam kepada ana-anak siperempuan  jika punya anak.

(2)     Apabila perbuatan mainjami tersebut dilakukan tgerhadap perempuan yang baru meninggal suaminya ( BAINYE BALU ), dan tidak dikehendaki oleh  perempuan  tersebut, maka laki-laki tersebut dikenakan sangsi adat KIBARAN BALU  dengan  hukuman 4 ( empat ) kaletau, ditambah membayar kasopan kepada Let Adat 2 (dua) kaletau, ditambah saut satu ekor  ayam kepada anak siperempuan, kalau punya anak.

                                                                       Pasal 9


(1)   Apabila   seorang laki-laki bujang dan atau yang tidak terikat dalam suatu perkawinan,      
       PARAUNTINGI ( menghamili ) seorang perempuan  gadis dan atau yang belum terikat dalam
       suatu perkawinan, diluar ikatan perkawinan yang sah,  maka     tidak ada alasan bagi keduanya
       untuk tidak kawin, dan karena perbuatan siparauntingi tersebut     keduanya dikenakan sangsi adat
       kasopan Let adat, dengan hukuam 1  (satu)  kaletau  dan 1 (satu)      garantung raa.

(2)     Apabila perbuatan siparauntingan itu terjadi antara hubungan keluarga pada keturuan tingkat yang
kedua,  ( SANAK TOA ), maka kepada mereka dikenakan  sangsi adat SIALA PALAK ASU dengan hukuman 4 (empat ) kale tau dan 1 ekor babi saut banua,  kemudian setelah semua kewajiban hukum yang telah ditimpakan orang  tersebut  dipenenuhi,  barulah mereka berdua boleh melangsungkan perkawinan.

(3)     Apabila seorang perempuan yang belum bersuami, datang dan atau  pulang kekampungnya dengan keadaan HAMIL tanpa suami yang sah,  dikenakan sansi adat  BUNTING LAWAN dengan hukuman 4 (empat) kale tau  ditambah dengan saut Banua dan atau Pataunan 1 ( satu) ekor babi.


                                                                       Pasal 10


          Apabila seorang perempuan hamil  diluar perekawinan yang sah ( BUNTING LAWAN ) dan mengakui lebih dari satu laki-laki yang berbuat, maka kepada para lelaki itu dikenai sangsi adat  4 (empat)   kaletau ditambah 1 (satu) garantung raa dan menanggung biaya hidup anak selama  5 (lima ) tahun, atau sampai si ibu kawin lagi. Sementara perempuan yang  BUNTING LAWAN dikenai sangsi denda 1 (satu) ekor babi PANYAUTI, untuk membersihkan banua dan mengembalikan  keseimbangan alam gaib/relegio magis yang sudah terganggu karena  terjadinya  BUNTING LAWAN tadi.

                                                                                   Pasal 11

          Apabila seorang perempuan hamil diluar perkawainan yang sah, mengaku seorang laki-laki telah menghamili ( PARAUNTINGI  ), sementara pengakuan tersebut tidak  diakui oleh pihak lelaki sehingga sungguh tidak dapat dibuktikan  dengan cara apapun, maka perempuan tersebut dikanakan sangsi adat BUNTING LAWAN, yaitu adat  MANANDAS ( Menuduh ) sebesar 4 (empat)  kaletau dan saut 1 (satu) ekor babi untuk mnyauti Banua, dan anak tersebut disebut anak KAMPANG.

                                                                                   Pasal   12

          Apabila seorang perempuan yang belum bersuami melakukan zina dengan suami orang lain yang telah terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka perempuan tersebut dikenakan sansi adat ARANGAN PALULUNG dengan  hukuman,  oleh istri orang tersebut sebesar 4 ( empat ) kaletau yang dibayar dan atau ditanggung 50 % oleh pihak laki-laki..

                                                                                   Pasal 13

          Apabila seorang laki-laki yang sudah terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan perempuan, kemudian  melakukan perbuatan zina dengan seorang perempuan  lain yang bukan istrinya, maka laki-laki tersebut dikenakan sangsi adat SIUKAN dengan  hukuman KASOPAN atau pamalu, kepada  istri, sebesar 4 (empat ) kaletau  dan PAMBASA kepada anak 1 (satu) kale tau ditambah 1 (satu) ekor ayam, waja/ besi  1 (satu)  potong  sebagai saut untuk yang punya anak.

                                                                       Pasal 14

(1)   Apabila  seorang perempuan yang sudah bersuami secara sah melakukan perbuatan zina dengan  laki-laki yang sudah beristri secara sah ataupun dengan laki-laki yang belum beristri, maka kepada perempuan atau laki-laki tersebut  dikenakan hukuman  masing-masing 8 (delapan ) kaletau.

(2)   Apabila perbuatan zina tersebut pada (1) pasal ini menyebabkan kehamilan pada perempuan yang  secara sah sudah bersuami dimaksud, maka  kepada mereka  laki-laki dan perempuan tersebut, dikenakan sansi adat dengan  hukuman masing-masing  8 ( delapan) kaletau, ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam, waja/ besi  1 (satu)  potong dengan batunya 1 (satu) kale tau, untuk yang sudah mempunyai anak.
                                                                       Pasal 15

(1)     Apabila  seorang laki-laki atau perempuan yang belum terikat dalam suatu perkawinan yang sah,
mengambil istri atau suami orang lain  yang masih terikat dalam suatu perkawinan yang sah, dikenakan sangsi adat BARANGKAT dengan  hukuman, adat    merampas ( MAMO) maka kepada mereka yang melakukan itu dikenakan sangsi adat dengan     hukumAN  POAN BAINYE atau POAN LAKI , masing-masing 8 (delapan)  kaletau ditambah  dengan saut 1  (satu) ekor ayam, waja / parang 1 potong dengan batunya 1 (satu) kaleatau dan  jika istri atau suami yang IPO  tersebut ada   mempunyai   anak.

       (2)  Apabila POAN   dilakukan oleh seorang laki- laki atau seorang perempuan   yang sudah  terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka mereka yang melakukan POAN dikenakan sangsi adat BARNGKAT dengan  hukuman 8 (delapan) kaletau ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam, waja/besi 1 (satu)  potong serta batunya 1 )satu ) kaletau, jika diantara mereka sudah ada yang mempunyai anak.

(3)   Apabila  POAN menyebabkan perceraian dalam suatu ikatan perkawinan,  maka pihak yang menceraikan dikenakan sangsi adat UNJANGAN BAINYE/LAKI dengan  hukuman  4 ( empat) kaletau, ditambah  waja atau parang 1 potong  dan KASOPAN orang tua masing-masaing 1 (satu) kale tau.

(4)     Apabila POAN  dilakukan dengan ancaman atau paksaan, maka dikenakan tambahan  hukuman 1 (satu) kaletau.

(5)     Apabila POAN dilakukan dengan paksaan, kekerasan serta dengan penganiayaan , maka dikenakan sangsi adat dengan  hukuman PAPADISI atau Penganiayaan  berat, maka hukumanya 4 (empat) kaletau  dan bila penganiayaan ringan maka hukumannya 1 (satu) kaletau, ditambah  biaya perawatan atau pengobatan , serta dikenakan saut dengan saut 1 (satu) ekor ayam,waja/ besi 1 (satu)  potong.

(6)     Apabila  POAN  terhadap salah satu pihak  atau terhadap kedua-duanya yang  dimaksud dalam pasal  15 ini  mempunyai anak maka baik  laki-laki atau perempuan yang di PO tersebut  menanggung seluruh biaya hidup anak-anak mereka, sampai mereka dewasa atau sudah kawin

                                                                       Pasal 16

(1)     Seorang yang ditinggal mati oleh istri atau suami  pada dasar atau prinsipnya wajib menjalankan adat BALU.

(2)     Pabalu adalah suatu keadaan membatasi diri dari pergaulan lingkungan  yang bebas dari keramaian, bebas dari keindahan yang gemerlapan, untuk waktu 6 (enam ) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun, atau berdasarkan pertimbangan pihak keluarga atau ahli waris yang meninggal dunia dengan diketahui oleh let adat.

(3)     Apabila menurut kenyataannya yang bersangkutan tidak CAKAP untuk menjalakan BALU, maka  dengan persetujuan  pihak keluarga  atau ahli waris dan dengan diketahui  oleh   let adat, dapat diperingan bahkan ditiadakan.

(4)     Masa BALU berakhir dengan ditandai MANJALAANG  BAWI oleh pihak yang BALU,  kepada  keluarga  atau ahli waris suami atau istri yang telah meninggal dunia.

(5)     Apabila ketentuan ayat (4) pasal ini tidak dapat dipenuhi sampai dengan  waktunya, maka cara  mengatasinya:

a. dapat  melakukan TAMPUNG TAUN dengan menyerahkan adat 1 (satu) kale tau kepada   pihak 
    keluarga yang meninggal.

b. demi adat, dapat  dilakukan oleh warga  masyarakat ditempat berlangsungnya BALU dengan
cara mengambil alih tanggungjawab pihak SIBALU dengan membayar adat 1 kale tau melalui  let   adat, kepada pihak keluarga atau ahli waris yang suami atau istri yang meninggal.





Pasal 17 
Apabila dalam masa pabalunya sesuai dengan apa yang telah disefakati bersama, bilamana  janda atau duda tersebut melakukan perbuatan yang melanggar  adat kesusilaan dan kasopan maka dapat dikenakan  sangsi adat KIBARAN BALU dengan hukuman  4 (empat ) kaletau.

                                                                                Pasal  18

(1)      Apabila seorang laki-laki dengan cara kekerasan memaksa untuk melakukan hubungan seksual  atau zina, tanpa dikehendaki oleh perempuan tersebut, maka kepada laki-laki tersebut dikenakan sangsi adat MARAKAK dengan hukuman sebesar 6 (enam ) kaletau dan kosopan atau pamalu let adat, sebesar 1 (satu) kaletau  ditamabah  1 (satu )  garantung raa.

(2)      Apabila perbuatan MARAKAK tersebut pada ayat 1 (satu ) pasal ini dilakukan oleh lebih dari satu orang laki-laki, maka kepada masing-masing pelaku dikenakan sangsi adat MARAKAK dengan hukuman 4 (empat ) kaletau  dan kasopan atau pamalu let adat 1 (satu) kaletau ditambah 1 (satu) garantung raa.

(3)      Apabila yang dipaksa untuk melakukan hubungan seksual atau zina tersebut adalah seorang perempuan yang masih terikat, dalam ikatan perkawinan yang sah,  maka pelaku dikenakan  sangsi adat MARAKAK dengan hukuman 6 (enam) kaletau, ditambah kasopan atau pamalu suami sebesar 4 (empat ) kaletau, kosopan atau pamalu let adat 1 (satu) kaletau dan 1 (satu ) garantung raa.

(4)      Apabila yang dipaksa melakukan hubungan seksual atau zina teresebut adalah seorang perempuan yang masih dalam keadaan balu, maka pelaku dikenakan sangsi adat MARAKAK 6 (enam ) katetau, KIBARAN BALU 4 ( empat ) kale tau dan saut 1 (satu) ekaor ayam serta waja atau parang 1 potong  untuk pabalu yang punya anak, ditambah hukuman  untuk adat kosopan atau pamalu let adat 1 (satu) kaletau dan 1 (satu) garantung raa.

(5)      Apabila yang dipaksa untuk melakukan  hubungan seksual atau perbuatan zina itu orang cacat jiwa, cacat mental  atau anak-anak, maka  pelaku dikenakan  sangsi adat MARAKAK 12 (dua belas )  kaletau ditambah kasopan atau pamalu orang tua 1 (satu ) kaletau, sedangkan untuk kasopan atau pamalu let adat  1 (satu) kaletau  dan 1 (satu ) garantung raa.

Pasal  19

(1)      Apabila seseorang  melakukan hubungan seksual/ persetubuhan secara  tidak wajar antara anak perempuan dengan ayah kandungnya  atau antara anak laki-laki dengan ibunya, antara kakek atau nenek dengan cucunya, antara saudara sekandung, antara sesama laki-laki , antara sesama perempuan antara manusia dengan binatang yang  disebut SIKARAJA, maka dikekanakn sangsi adat dengan hukuma MARABOR  BANUA atau MANGUDI’ BANUA ( incest). 

(2)      Apabila sesoarang melakukan perbuatan MARABOR atau KUDI’ maka hukuman masing-masing dikenakan sangsi adat dengan hukuman  1 (satu) ekor babi yang harus dibunuh  sebagai SAUT BANUA dan  SAUT MATASO serta kepada pelaku dikenakan hukuman masing -masing 8 (delapan) kaletau sebagi PANABUS  NYAWA dan masing-masing 8 (delapan) kaletau PANABUS MARABOR BANUA.


(3)      Apabila sesorang melakukan perbuatan MARABOR atau KUDI dengan binatang, maka binatang tersebut harus dibunuh PANYAUTI BANUA dan  PANYAUTI MATASO sedangkan pelakuknya dikenakan sangsi  adat  MARABOR atau KUDI dengan hukuman 16 (enam belas) kaletau.

Pasal 20

(1)      Apabila seseorang dengan sengaja mencium seseorang, baik  sudah atau   belum terikat dalam suatu perkawinan atau dengan kata lain yang bukan istri atau suaminya, maka kepada pelakunya   dikenakan sangsi  adat SALA BASAH   dengan  hukuman sebesar 1 (satu) kaletau.

(2)      Apabila sesorang laki-laki dengan sengaja memegang, menjamah, memenyentuh  dan memijit susu perempuan lain baik yang dalam status  bersuami atau tidak bertsatus  atau belum bersuami, pelakunya   dikenakan sangsi adat dengan hukuman  2 (dua ) kaletau.






BAB  VI
                                           KEHORMATAN
                                                                         Pasal 21

Barang siapa dengan sengaja  mencaci maki atau menghina  atau mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan terhadap orang lain,  sehingga orang yang  dicaci makai tersebut merasa terhina dan mendapat  malu, baik mengenai dirinya sendiri, keluarga atau keturunannya, maka kepada orang tersebut dikenakan sangsi adat MOBO’ dengan hukuman  1 (satu)  garantung raa.

                                                                         Pasal 22

Barang siapa merusak kehormatan dan atau  nama baik sesorang dengan jalan mencaci maki atau menghina atau memfitnah, maka kepada  orang tersebut dikenakan sangsi adat KASOPAN dengan hukuman, masing-masing : Kosopan Tamanggung  selaku Toa Adat, Toa Banua 2 (dua) kaletau, Kasopan Wakil Tamanggung atau yang disamakan dengannya  sebesar 1 (satu) kaletau ditambah 1(satu) garantung raa, Kasopan Kepala Desa dan Sekretaris Tamanggung  1 (satu) garantung raa ditambah  1 (satu) kalengkong, sedangkan  kasopan Kepala Kampung, Let Adat  1 (satu) garantung raa ditambah 1 (satu) bakam lama  serta  kasopan masyarakat biasa / masyarakat umum sebesar 1 (satu)  garantung raa.

                                                           Pasal 23

Barang siapa melakukan  perbuatan SASAU NYAWA yaitu  sukaria, dengan membunyikan gong/tawak, atau bunyi-bunyian yang bersifat hiburan sukaria, dan atau  baranangis, menyanyi, berteriak sesukanya  dalam suatu wilayah pemukinan dimana orang tersebut maulit ( berkabung), maka orang tersebut dikenakan sangsi adat  MALEMBAK ULITAN dengan hukuman, sebesar 1 (satu) kaletau ditambah dengan  1 (satu) garantung raa.

                                                                                Pasal 24

(1)     Barang siapa melanggar ulitan  tetapi tidak dengan sengaja, maka kepadanya    dikenakan  sangsi adat MALEMBAK ULITAN, atas dasar  kelalaian, dikenakan   hukuman 1 (satu) garantung raa.

(2)     Barang siapa diantara orang asing yang betul - betul tidak mengetahui bahwa adanya ulitan, namun dia telah melanggar,  maka kepadanya dikenakan sangsi adat  MALEMBAK ULITAN, atas dasar kelalaian dengan hukuman 1 (satu)   garantung raa.

                                                                        Pasal 25

Barang siapa yang telah  menjadi subjek dalam suatu gawai atau madu, dengan sengaja tidak datang pada saat dan waktu yang telah ditentukan, dengan sengaja tidak datang  karena suatu sebab atau alasan yang tidak  masuk akal, maka kepada orang tersebut dikenakan sangsi adat MAMBORANG BARI DAUN  dengan hukuman 1 (satu) kaletau dan 1 ( satu ) garantung raa dan mengganti kerugian kepada pihak yang mengadakan gawai.
                                                                        Pasal 26

(1)     Barang siapa menuduh atau memfitnah sesorang tanpa  alasan atau bukti yang kuat, maka kepada
       orang tersebut dikenakan sangsi adat MANGANUNGAN  dengan hukuman 2  (dua ) kaletau.

(2)     Barang siapa berbohong dengan menyebut sesuatu hal tanpa kebenaran  yang dapat menyebabkan kerugian pada orang lain dan atau orang banyak, maka yang bersangkutan  dapat dikenakan sangsi adat PAPAULU dengan  hukuman :

a.       PAPAULU MANGABO BANUA  4  ( empat ) kaletau
b.       PAPAULU  UTANG BABA  (  biasa  ) 1 (satu)  garangtung raa.

B  A  B      VIII                                                                                                  PENCURIAN
                                                                             Pasal 27

Barang siapa  mengambil barang  kepunyaan orang lain dengan maksud, memiliki secara  melawan hak  dan atau adat dan kejadian tersebut dilakukan  di dalam rumah  orang yang menjadi korban, maka pelaku  dikenakan sangsi adat MANGALIT dengan KOKOAN BIRING API dengan hukuman 2 ( dua) kaletau, ditambah saut 1 (satu) ekor ayam dan waja/ besi 1 (satu) potong serta diwajibkan  mengembalikan atau mengganti barang yang dicurai sesuai dengan  nilai  harga yang berlaku pada saat itu.
                                                                            
                                                                           Pasal 28

Barang siapa mengambil barang  kepunyaan orang  lain dengan maksud, memiliki secara melawan hak dan atau adat dan kejadian tersebut dilakukan di luar rumah orang yang menjadi korban, maka pelaku dikenakan sangsi adat MANGALIT  biasa dengan hukuman 1 (satu) garantung raa, ditambah saut 1 (satu) ekor  ayam dan waja/besi 1 (satu) potong serta diwajibkan mengembalikan   atau  mengganti barang  yang dicuri, sesuai dengan nilai harga yang berlaku pada saat itu.

                                                                           Pasal 29


 Barang siapa  mengambil barang  kepunyaan orang lain dengan maksud, memiliki secara melawan hak dan atau adat, baik didalam  maupun diluar rumah korban yang sedang   MULIT (berkabung), dikenakan sangsi adat dengan hukuman 4 (empat ) kaletau ditambah saut 1 (satu ) ekar ayam dan waja/besi 1 (satu) potong, serta diwajibkan mengembalikan atau mengganti barang yang dicuri, sesuai dengan nilai harga  barang yang  dicuri,  pada saat perkara  itu diadili.


                                                   
B A B   VIII
                                    PENGRUSAKAN ATAU PEMUSNAHAN 
                                                                       
Pasal  30

(1)    Barang  siapa dengan sengaja merusak dan atau memusnahkan harta benda milik orang lain dengan cara melawan  adat, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 4 (empat ) kaletau,   ditambah saut 1 (satu)  ekor ayam  ditambah waja/besi 1 (satu) potong serta diwajibkan  mengganti atau membayar kerusakan barang dimaksud, sesuai dengan nilai kerugian pada saat perkara itu diadili.                                                

(2)    Barang siapa dengan sengaja menebang dan atau merusak tanam tumbuh orang lain dengan cara  melawan adat, dikenakan sangsi adat  dengan hukuman 4 ( empat ) kaletau, ditambah dengan saut 1(satu) ekor ayam ditambah  waja/besi 1 (satu) potong serta diwajibkan mengganti atau membayar kerusakan,   senilai  kerugian tanam tumbuh dimaksud  pada saat perkara itu diadili.

                                                                        Pasal 31

Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan tersebut pada ayat 1(satu) dan ayat 2 (dua) pasal ini,
terhadap harta benda dan  atau tanam tumbuh milik orang yang sedang MAULIT  atau APASA atau 
berkabung, dikenakan sangsi adat dengan hukuman anam (6) kaletau ditambah dengan saut 1 (satu)
ekor ayam ditambah waja/besi 1 (satu) potong  serta diwajibkan mengganti atau membayar kerusak
barang atau tanam tumbuh dimaksud, sesuai dengan  kerugian pada saat perkara itu diadili.

                                                               Pasal  32

 Barang siapa dengan sengaja membunuh hewan atau binatang peliharaan orang lain secara melawan  adat, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 (dua) kaletau, ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam  ditambah waja/besi 1 (satu) potong serta diwajibkan mengganti kerugian, senilai harga hewan atau binatang tersebut pada saat perkara itu diadili.

                                                       

B A B    IX
                                                                  KEAMANAN
                                                                        Pasal   33

(1)    Barang siapa dengan sengaja membuat kekacauan atau keonaran yang  mengakibatkan perkelahian dalam suatu  gawai atau pesta, dikenakan sangsi adat MAMBORANG  DAUN  dengan  hukuman 2 (dua) kaletau.

(2)    Barang siapa melibatkan diri  dalam suatu kekacauan atau keonaran yang mengakibatkan perkelahian dimaksud pada ayat 1(satu) pasal ini dikenakan  sangsi adat   dengan hukuman 1 (satu) kaletau  dan 1 (satu ) garantung raa.
                                                      
                                                                        Pasal   34

Barang siapa membuat kekacauan atau keonaran dengan cara MANSAK atau MARANG  ARANG atau mengajak orang lain untuk turun ketanah  atau kesuatu tempat lain dengan maksud berkelahi,  dikenakan sangsi adat MAMUKO dengan hukuman 2 (dua) kaletau ditambah dengan saut 1(satu) ekor ayam dan waja/ besi 1 (satu) potong.

                                                                        Pasal   35

Barang siapa dengan sengaja memasuki atau  menaiki rumah orang lain,  baik siang atau malam hari yang nayata -nyata menurut adat salah dan  dengan maksud jahat, dikenakan sangsi adat  MANAITI SAO dengan hukuman 1 (satu) kaletau ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam dan waja/besi 1 (satu) potong.

                                                                        Pasal   36

Barang ssiapa dengan sengaja memasuki atau menaiki rumah orang lain dimaksud pada pasal 35 Bab IX ini dengan cara merusak pintu, jendela dan atau segala sesuatu didalam atau di sekitar rumah, dikenakan sangsi adat selain AMBITAN SAO  4 ( empat ) kaletau dan saut 1 (satu) ekor ayam dtambah waja/ besi 1 (satu)  potong serta  diwajibkan mengganti kerugian sesuai dengan nilai  kerusakan, pada saat perkara itu diadili.

                                                                        Pasal   37

Barang siapa melakukan   perbuatan tersebut pada pasal 35 dan pasal 36 Bab IX ini dengan cara mengancam, selain belaku ketentuan sangsi adat yang telah disebutkan pada pasal 35 dan 36 Bab IX ini,   dikenakan pula  sangsi adat dengan  hukuman 1 (satu) kaletau ditambah dengan saut 1(satu) ekor ayam dan waja/besi 1 potong. Tetapi  kalau ancaman tersebut dengan senjata diatambah 2 (dua) kale tau.

                                                                        Pasal   38

Barang siapa pada saat  memasuki rumah orang lain pada malam hari   tanpa izin, pemilik atau penghuni dan memasuki  untuk maksud MAINJAMI,  secara merusak  pintu atau jendela atau benda lain didalam rumah, dikenakan sangsi adat dengan hukuman selain adat larangan MAINJAMI 2 (dua)  kaletau,   dikenakan  pula sangsi adat dengan hukuman  1 (satu) kaletau ditambah dengan saut 1 (satu) ekar ayam dan waja/besi 1 (satu) potong.


            Pasal   39

Barang siapa dengan sengaja menaiki atau memasuki  rumah orang lain, pada  malam hari, dengan membuka kelambu orang yang sudah berkeluarga, tanpa izin pemilik atau penghuni rumah, dikenakan sanksi adat  LAATAN BIRING ALE dengan hukuman  1 (satu ) kaletau  dan 1 (satu) garantung raa, diatambah dengan saut  1 (satu) ekor ayam dan waja/besi 1 (satu) potong.

                                                                        Pasal    40

Barang siapa yang karena alasan mabuk minum-minuman keras mengganggu orang lain seghingga terjadi keributan atau keonaran, sehingga menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban orang lain  atau lingkungan, dikenakan sangsi adat  dengan hukuman 1 (satu)  garangtung raa.

                                                                        Pasal    41

Barang siapa yang membuat keributan, kekacauan atau keonaran sehingga menyebabkan orang lain  terganggu pekerjaannya, atau orang tersebut menjadi takut dan atau sakit, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 (dua) kaletau ditambah satut 1 (ekar ) ayam dan waja/besi 1 (satu) potong, serta  diwajibkan mengganti biaya perobatan kalau sampai korban tersebut sakit dan memerlukan pengobatan.

                                                                        Pasal    42

Barang siapa mempunyai keluarga yang BAUNDING ( sakit jiwa ) dan membiarkannya melakukan perbuatan  yang merugikan orang lain, maka keluarganya  dikenakan sangsi adat, sesuai dengan perbuatan orang yang BAUNDING ( gila) dimaksud.

                                                                        Pasal    43

Barang siapa menyuruh anak kecil atau mereka yang masih dibawa umur atau mereka yang Baunding ( gila ),  untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, maka   orang yang menyuruh tersebut dikenakan sangsi adat dengan  hukuman  menanggung semua perbuatan dan atau kejahatan  orang  yang  dimaksud.  
                                       

                                                                   B A B  X
                                                         PERKAWINAN
                                                                    Pasal   44

(1)    Perkawianan yang dianggap  sah adalah harus berdasarkan adat baik sebagai budaya maupun sebagai hukum,  sehingga  bagi yang beragama  Kristen baik   Katolik/ Protetstan, ataupun agama lainnya terlebih dahulu  harus menjalankan  peraturan  agama yang   dianutnya, baru kemudian melakukan upacara adat.    

(2)    Untuk MANDAKAP SUNDAMAN,  pihak laki-laki wajib  MANTAT  dan atau  MANJALAANG  PANYONYOK, kepada keluarga perempuan ,  sehingga dengan demikian maka  kedua mempelai dan seluruh keturunannya berhak mendapatkan persamaan  hak dan dan kewajiban dalam keluarga,  terutama atas harta benda yang tidak bergerak sebagai warisan atau milik pihak keluarga istri, seperti tanah dan buah-buahan

(3)    Panyonyok tersebut harus berbentuk benda antara lain, badil, garantung/tawak,  atau bakam yang sudah diakui nilainya  sebagai  barang pusaka  atau EMAS MURNI 24 karat yang secara sah  ada  AYUN ADATNYA atau dengan kata lain dapat dijadikan ALAS ADAT. 

Pasal  45

(1)    Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai pertalian Darah,  baru dibenarkan apabila telah pada tingkat atau  keturunan yang ketiga   ( sanak ini ) kebawah.

(2)    Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai pertalian   darah pada tingkat atau keturunan yang kedua ( sanak toa), dilarang, dan kejadian yang melanggar                ketentuan ini  dikenakan  sangsi adat  SIALA PALAK ASU   karena  perkawinan pada tingkat keturunan kedua   dapat merusak keturunan.

                                                                        Pasal  46

(1)     Pada dasarnya perkawinan  yang berbeda  strata / kasta atau golongan  dalam masyarakat, sesuai dengan  hak azasinya masing-masing, dapat melakukan perkawinan dengan strata / kasta atau golongan yang mana saja. 

(2)     Apabila perkawinan dimaksud pada ayat (1) pasal ini berbeda strata / kasta, namun salah satu pihak menghendaki adanya persamaan strata/ kasta atau golongan  diantara perempuan atau laki-laki, dapat saja memenuhui ketentuan adat MAMBITI.

(3)     Ketentuan mambiti  bagi laki-laki banua yang kawin dengan  perempuan samagat dikenakan sangsi adat   8  (lapan ) kaletau.

(4)     Ketentuan mambiti bagi laki-laki pabiring yang kawin dengan perempuan samagat dikenakan sangsi adat  4 (ampat ) kaletau.

(5)     Ketentuan mambiti bagi laki-laki banua yang kawin dengan perempuan pabiring  dikenakan sangsi adat 4 (ampat) kaletau.

(6)     Ketentuan dimaksud pada ayat (2), (3), (4) dan ayat (5), pasal ini, terhadap perkawinan campuran dengan suku  bangsa lain yang tidak jelas asal usulnya, selain  dikenakan sangsi adat MAMBITI dikenakan pula sangsi adat IPITAI, sebagai URANG 2 ( dua) kale tau.

  
Pasal   47
(3)    Apabila dalam masa  SITAJU  (pertunangan)  terjadi pembatalan dan yang  membatalkan itu adalah pihak laki-laki, maka laki-laki tersebut dikenakan sangsi adat dengan hukuman UNJANGAN  TAJU 2 (dua)   kaletau dan PAMALU orang tua 1 (satu) kale tau serta barang-barang PANAJU, menjadi milik perempuan atau dengan kata lain tidak dapat   dituntut kembali oleh pihak laki-laki.

(4)    Apabila UNJANGAN TAJU dimaksud pada ayat (2) pasal ini yang        membatalkan adalah pihak perempuan, maka perempuan dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 ( dua ) kaletau, dan barang PANAJU harus dikembalikan kepada pihak  laki-laki.

Pasal   48

(1)     Apabila dalam suatu  masa pertunangan terjadi perampasan perempuan yang  telah ditunang  oleh seorang laki-laki lain,  maka keduanya,  baik  laki-laki   maupun perempuan  di kenakan  sangsi adat dengan hukuman POAN TAJU  masing-masing  2  (dua} kaletau, sedangkan perempauan dikenakan lagi sangsi  adat dengan  hukuman yang IPO ( dirampas )  2 (dua)  kaletau ditambah dengan  kewajiban mengembalikan  seluruh barang-barang   PANAJU ( penunang )    kepada pihak laki-laki TAJU (  tunangannya).

(2)     Apabila dalam suatu masa  pertunangan terjadi perampasan laki-laki  yang  telah bertunangan, oleh seorang perempuan maka  keduanya, baik perempuan maupun laki-laki kenakan sangsi adat hukuman SIPOAN TAJU, masing-masing      2 (dua) kaletau, kepada pihak perempuan TAJU ( tunangnya),  sementara pihak perempuan yang MAMO ( merebut tunang) dikenakan lagi sangsi adat dengan hukuman  2 (dua ) kaletau  dan barang-barang PANAJU ( penunang), pihak
laki-laki yang  IPO tadi tidak dapat diambil atau dituntut kembali dari perempuan yang telah ditunangnya tadi.

                                                                       Pasal    49

(1)    Apabila seorang laki-laki atau seorang perempuan mengadakan perkawinan, dalam suatu hubungan darah dengan status panggilan berbeda ( SILALOAN ),  maka agar panggilannya  SIAROAN, maka salah seorang dari mereka yang  menjadi penyebab atau bila dikehendaki bagi yang  berada pada garis darah atau keturuan diatas, dikenakan sangasi adat  dengan    kewajiban    MANGGILINGANG. 

(2)    Adat  MANGGILINGANG dimaksud pada ayat (1) pasal ini apabila   dalam  hubugan darah pada tingkat ketiga kebawah ( AMPU ), maka yang ditingkat atas  yang berstatus  panggilan BAKI/PIYANG (kakek atau nenek)  dikenakan sangsi  adat  MANGGILINGANG 1 (satu) kaletau, ditambah dengan saut 1 (satu) ekor babi, kepada pihak tingkat dibawanya  yang berstatus panggilan cucu (AMPU).


(3)    Adat MANGGILINGANG dimaksud apada ayat 1 (satu) pasal ini apabila dalam hubungan darah pada tingkat kedua ( KAMANAKAN), maka yang ditingkat atas yang bestatus panggilan AMPE/KAMO ( paman/bibi), dikenakan sangsi adat PANGGILINGANG 1 (satu) kaletau dan 1(satu) garantung raa, ditambah dengan saut 1 (satu) ekor babi kepada pihak tingkat dibawahnya yang berstatus  keponakan ( KAMANAKAN).

(4)    Pertalian darah yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) pasal ini dikecualikan atau tidak dibenarkan atas hubugan darah dekat dengan kakek/nenek atau bapak/ibu kandung , karena itu  sudah masuk Kategori KUDI atau ARABOR.



                                                                       Pasal   50

Apabila  mereka yang masih dalam status  suami istri, pindah  ketempat tinggal  yang baru atau tempat tinggal yang lain dengan  membawa semua harta benda dan atau barang-barang pusaka yang ada di bilik tempat tinggal mereka yang  terakhir, sementara ada orang yang hamil, dikenakan sangsi adat  SAUT BUNTING dengan hukuman saut, 1 (satu)  ekor ayam dan waja/ besi 1 (satu)  potong. 

                                                                Pasal    51

Apabila  dalam BIRING API (rumah tangga), terjadi perselisihan atau pertengkaran karena sesuatu hal karena kesalah fahaman,  dari pasangan suami istri, tetapi tidak sampai menyebabkan perceraian, namun salah satu pihak dari suami atau istri tersebut, adalah yang melarikan diri dari rumah atau biliknya,  untuk menginap atau bermalam ketempat lain, makan kepada yang bersangkutan dikenakan sangsi adat MARAJUKANG TINDO atau MALENGKAANG TINDO dengan hukuman,  1 (satu) garantung raa.


                                                                       Pasal   52

Apabila ada pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama sebagai suami istri, tanpa sebelumnya mendapat pengesahan, baik menurut adat dan atau agama yang mereka anut, maka mereka dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 (dua) kaletau.
      
        BAB      XI
                                                                   P E R C E R A I A N
                                                                       Pasal    53

(1)     Perceraian atas pasangan suami istri yang telah diikat dengan suatu perkawinan yang sah, baik berdasarkan adat dan atau agama, sama sekali tidak dibenarkan hanya atas persetujuan kedua belah pihak, kecuali dengan alasan-palasan yang kuat, sehingga dinilai dan diyakini bahwa perceraian tidak dapat dihindarkan.

(2)  Dalam hal terjadi perceraian atas pasangan suami istri, sebagaimana dimaksud padal ayat (1) pasal ini, maka kepada pihak yang menceraikan dikenakan sanksi adat  UNJANGAN BAINYE atau UNJANGAN LAKI dengan  hukuman 8 (delapan)  kaletau.

                                                               Pasal  54

(1)     Apabila kesalahan ada  pada pihak yang diceraikan, maka pihak yang menceraikan berhak
       menuntut, sesuai dengan kesalahan yang diyakini  dan telah dibuktikan.

(2)     Apabila kesalahan itu ada pada pihak laki-laki dan kemudian laki-laki tersebut  menuntut
       perceraian, maka kepada laki-laki itu dikenakan sangsi adat dengan   hukuman 8 (delapan) 
       kaletau, ditambah dengan kewajiban memberikan nafkah atau biaya hidup kepada anak-
       anaknya, sampai mereka menjadi dewasa, dan bila tidak mempunyai anak, maka laki-laki
       tersebut    wajib memberikan nafkah kepada mantan istri selama 1 (satu) tahun, serta
       menghapuskan hak laki-laki mantan suami atas harta benda yang mereka  peroleh bersama.

       Pasal   55

Apabila setelah perceraian dan adat perceraian telah dijatuhkan, maka  kemudian mereka yang bercerai tadi rukun kembali, maka  kedua belah  pihak dikenankan sangsi adat  PAMALU TOA ADAT dengan hukuman  2 (dua) kaletau.
 

BAB   XII
                                                PEWARISAN DAN PEMILIKAN
                                                                                Pasal   56

(1)    Harta benda, baik yang bergerak seperti BAKAM, TAWAK, GARANTUNG  dan lain-lain   maupun yang tidak bergerak seperti TANAH adalah diwarisi oleh  generasi berikutnya  seperti anak, cucu dan seterusnya.

(2)    Harta benda warisan  ada yang dimiliki secara pribadi ole yang memperolehnya atau yang bersangkutan dan ada pula  harta benda yang diwarisi secara turun-temurun.

(3)    Harta warisan dapat diperoleh dari orang tua oleh anak angkat atau cucu angkat, asalkan sianak  atau si cucu berjanji PAKADENG  atau MATIO BIRING  API  atau MATIO TAMATOA.




Pasal    57

(1)     Setiap anak, baik anak kandung maupun anak angkat atau anak kandung yang diangkat oleh orang tua lain, mempunyai hak untuk mendapatkan  harta warisan dari  orang tuanya,  walaupun seorang anak telah diangkat anak oleh orang lain atau pergi merantau, maka sesuai dengan kewajiban orang tua pada anak atau  sesuai dengan  hak yang dianggap pantas  SIANAK terima

(2)     Pada  dasarnya harta warisan dibagi rata, namun yang patut dipertimbangkan adalah  bagi anak yang MANDUDUKI BIRING API atau MATIO TAMATOA  kiranya boleh mendapat lebih, sedangkan anak yang diangkat oleh orang tua  lain  serta  anak angkat boleh mendapat kurang.

(3)     Pembagian harta warisan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal ini  haruslah pula didasarkan pada kesefakatan yang rasional serta dengan disaksikan oleh para tetua atau Let Adat setempat.

Pasal   58

(1)     Apabila diantara ahli waris atas harta benda yang dimaksud pada pasal 57 Bab ini ada diantara mereka menikmati sendiri hasilnya, seperti memiliki sendiri, menjual sendiri dikenakan sangsi adat dengan hukuman 3 (tiga) kaletau dengan kewajiban, menarik kembali barang-barang yang telah dijual atau kalau sangat tidak memungkinkan, maka hasil penjualan  harta warisan dimaksud harus dibagi rata dengan seluruh ahli waris.

(2)     Apabila ada perbuatan  menikmati  atau menjual sendiri harta warisan sebagaimana diamksud pasal pasal 57 Bab ini, maka kepada yang berbuat  tersebut, selanjutnya dalam pembagian   harta  warisan, pembagiannya dikurangi.


                                                                                BAB   XIII
                                                                PERTANAHAN DAN HUTAN
                                                                                Pasal  59

(1)     Tanah atau Hutan milik bersama dengan  milik perorangan adalah bebeda, yaitu  dengan mengingat    asal usul keberadaan masyarakat Banuaka’ pada suatu tempat tertentu.

(2)     Tanah atau hutan  bersama yang disebut dengan tanah atau hutan Watas Banua, adalah suatu kawasan atau wilayah bersama persekutuan masyarakat hukum adat Banuka di seluruh Batang Labiyan yang diperoleh dengan cara, penemuan atau penalukan atas  Banua Labiyan, oleh nenek moyang  terdahulu, atas suatu Wilayah atau Banua  yang sebelumnya tidak ada orang tertentu yang mendiami .
(3)     Atas wilayah yang ditemukan atau ditalukan dimaksud pada ayat (1)  terjadilah hak bersma yang dikenalkan dengan Hak Banua ( sebagai Hak  Ulayat ) dalam atri luas, yang apabila terpecah menjadi wilayah kampung ,akan menjadi hak ulayat dalam arti sempit ( hak kampung ).

(4)     Atas hak milik Bersama  Kampung sebagai Hak Ulayat yang terbatas akan timbul hak perorangan yang diperoleh dengan mengarap/membuka hutan,  pemberian ( panuangi) atau pembelian dan lain sebagainya.

(5)     Pemilikan tanah dapat pula karena LOLA KABE atas  tanah asal yang karena perubahan alam pada aliran sungai Labiyan dan atau anak sungainya, sehingga menyebabkan tanah seseorang warga masyarakat Banuaka’ AKABE/longsor sebagian atau seluruhnya, sememtara tanah pihak lain menjadi bertambah luasnya maka untuk itu demi keadilan, agar seseorang tidak kehilangan tanah secara total, berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, tanah pihak warga mmasyarakat yang longsor tadi dapat  dimiliki kembali dengan LOLA KABE, dengan cara menarik garis lurus berseberangan dari tanah asal yang longsor keara tanah warga yang bertambah luasnya tadi, sampai kebatas TIGA/TILING TANA yang diyakini sebagai penambahan baru.

(6)     Selain ketentuan yang telah diatur dalam Buku ini, maka dengan  mengingat begitu rumitnya, masalah  TANAH  pada masayarakat Banuaka’,  dapat diatur tersendiri

 Pasal   60
                                                                      Ketentuan atas Tanah dan Hutan

Barang siapa dengan sengaja menancapkan, mematok ( maundam ) tanah orang lain yang bertujuan  menghina atau mengancam sehingga perbuatan tersebut  dapat dinilai  melawan hak, maka  atas perbuatannya orang tersebut dikenakan sangsi adat  MANIKOM dengan hukuman  1 (satu) kaletau dan saut  1(satu) ekor ayam serta waja atau besi 1 potong.

                                                                                 Pasal  61

Barang siapa  tanpa pengetahuan  menggarap dan menikmati tanah milik orang lain, yang dapat dinilai  dengan sengaja  melawan hak, dikenakan sangsi adat MANGALIT dengan hukuman 4 ( ampat ) kaletau dan saut 1 (satu) ekor ayam dan waja atau besi 1 potong,  serta diwajibkan, mengembalikan hasil yang didapat kepada pemilik tanah.

                                                                                 Pasal  62

Barang siapa dengan sengaja memindahkan, menghilangkan dan atau memusnahkan INTARA sebagai tanda batas atas tanah dari sesorang atau orang lain, baik batas dengan tanah miliknya atau batas tanah orang yang satu dengan yang lainnya, dengan cara melawan adat, baik karena ingin memiliki maupun karena ingin mengacaukan orang lain, dikenakan sangsi adat 4 (ampat ) kaletau serta kewajiban untuk mengembalikan INTARA ( batas ) dimaksud pada tempat semula secara tepat dan benar.


                                                                           Pasal  63

Barang siapa dengn sengaja membakar tanah milik orang lain, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 4 (ampat) kaletau,  ditambah saut 1 ekor ayam dan waja atau besi 1 potong, serta mengganti rugi atas benda yang terdapat diatas anah terebut.
                         
 Pasal  64

Terhadap penggunaan Tanah untuk bangunan pemerintah, jalan, sarana sosial untuk kepentingan umum, dan atau bersama, maka yang bersangkutan berhak mendapat ganti rugi yang wajar, namun  tetap dibedakan dengan penggunaan tanah untuk keperluan  swasta atau  perusahaan dimana  pemilik berhak mendapat ganti rugi, berdasarkan situasi dan kondisi setempat yang didasarkan atas kesefakatan bersama yang saling menguntungkan.

                                                                           Pasal  65

Barang siapa dengan sengaja membuat suatu kegiatan yang bersifat mengganggu dan atau membuat suatu kegiatan, dengan maksud melawan adat diatas  tanah milik orang yang MAULIT ( berkabung), sehingga orang yang MAULIT merasa terganggu atau terusik dan atau dirugikan,  dikenakan sangsi adat dengan hukuman 4 (empat) kaletau dan MALEMBAK ULITAN 2 (dua) kaletau.

                                                                         



Pasal   66
                                                          Tanah  dan Hutan Milik Bersama

(1)     Tanah dan hutan milik bersama seluruh masyarakat dalam suatu kawasan pemukiman  baik dalam SAO LANGKE / rumah betang panjang maupun masyarakat dalam suatu kampung, dusun atau desa
atau suatu BANUA, adalah merupakan HAK BANUA atau hak bersama, yang sama artinya dengan HAK ULAYAT atau HAK-HAK SERUPA ITU, yang meliputi suatu kawasan  hutan, tanah, air dan ruang angkasa tertentu dari masyarakat BANUAKA.

(2)     Berkenaan dengan status TANAH, HUTAN dan atau AIR serta RUANG ANGKASA  maupun ISINYA adalah milik BANUA atau milik bersama, maka  barang siapa yang akan menggarap atau memanfaatkannya, harus terlebih dahulu mendapat persetujuan, dari seluruh persekutuan masyarakat adat BANUAKA yang berhak atas  BANUA atau wilayah dimaksud.

 Pasal    67
                                                                     Danau dan Sungai

Barang siapa yang secara melawan hukum melakukan kegiatan  meracun atau menuba dan menyetrum ikan dan binatang lain  didalam  air danau atau air sungai , dikenakan sangsi adat dengan hukuman 8 ( delapan) kaletau , disamping mengganti seluruh kerugian yang ada akbibat perbuatan dimaksud.
                                                              


       BAB   XIV
                                                                ADAT KEMATIAN
                                                                      Pasal   68
                                                                Membuat Peti  Mati

(1)     Apabila sesorang meninggal maka pembuatan  LUNGUN atau peti mati dikerjakan secara bersama-sama  atau gotong royang, dimana pihak yang kematian tidak diwajibkan menjamu para  pekerja atau pelayat.

(2)     Dalam hal menangani pekerjaan yang berkenaan dengan adat, maka tidak harus semua pekerja  yang MANGGULUNGI KARAJA yang  IADATI, tetapi cukuplah untuk mereka atau orang yang  MARATASANG atau MAULUANG  KARAJA  yang   IJARATI dengan JARAT TANGAN TALI TANANG dan atau TOLANG MANIK, serta  IDAUNI DAUN SAKALA.

(3)     Ketentuan  DAUAN SAKALA   cukuplah hanya  1 (satu),  dilengkapi dengan  pulut suman yang panjang 8 batang, yang pendek 8 batang, kalame  bulat 8 butir, yang bulat  panjang  1 batang  serta dilengkapi dengan  jajar bawi.

(4)     Ketentuan dimaksud ayat (1), (2) dan (3)  pasal ini dapat dikecualikan bagi yang tidak mampu dan sekali-kali tidak boleh dipaksakan.

(5)     Penyampaian berita  duka atas kematian sesorang  untuk kaum kerabat ditempat tinggal atau kampung lain, seharusnya membawa  “DARA SURI” yaitu  daun suri yang dilumiri darah ayam, kalau keadaan menungkinkan.

Pasal    69
                                                              Upacara pemakaman

(1)     Jika sesorang, meninggal dunia dapat dilakukan upacara  MANABA sebagai tanda atau pemberitahuan bahawa ada orang yang meninggal dan jenazah, segera untuk dimakamkan pada kuburan umum yang telah ditentukan atau  KULAMBU  BANUA BAYU.

(2)     Tahapan  adat  pengurusan jenazah setelah orang meninggal  ( AKATU BATAKNYAWANA ), antara lain sebagai berikut :
a.       Jenazah dibersihkan, diganti pakaiannya/ iparayui,
b.       Idunjur, disertai dengan taba tau mate dan didoakan sesuai dengan agamanya,
c.        Pemberi tahuan kepada sanak saudara dan atau kaum kerabat
d.       Pembuatan lungun
e.        Mandaas
f.        Maulit
g.        Marak Tata     
                                                                               
                                                                                  Pasal  70
                                                                          M a n d a a s

       (1)  Mandaas  adalah suatu aktifitas MAMPITI atau  melayat orang yang kematian dengan maksud       
             memberikan penghiburan dan  berdoa,  bagi yang meninggal atau  keluarga yang ditinggalkan.

(3)     Kegiatan  MANDAAS dilakukan pada  waktu jenazah  belum dikuburkan, karena upacara itu adalah   MANDAAS  LOA  TAU MATEEN, jadi bukan suatu pesta, sehingga  oleh karena itu jangan     terkesan dipaksakan atau memaksakan diri, sehingga  harus ditunda menunggu kemampuan ekonomi keluarga orang yang meninggal. Pemikiran seperti ini  keliru, jadi harus diubah.


(4)     Kegiatan dan  upacara MANDAAS harus dibedakan dengan kegitan  MARARAK  TATA, atau
       acara kematian lainnya.     


            Pasal  71
                                                                 Maulit atau Berkabung

(1)      Masa MAULIT atau berkabung ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan dan atas pertimbangan tertentu   dapat dipersingkat menjadi 2 ( dua) minggu atau kurang .

(2)      Ketentuan masa MAULIT atau berkabung dimaksud ayat (1) diatas berlaku bagi semua golongan masyarakat dengan tidak membedakan derajatnya.

(3)      Untuk menghormati dan sebagai pernyataan bela sungkawa, maka selama masa maulit seluruh warga dalam kampung, suatu pemukiman persekutuan masyarakat adat tertentu dilarang mengadakan acara keramaian atau pesta, dilarang  MANABA atau membunyikan  bunyi-bunyian seperti garantung,tawak, bobondi, tatabao/ kakalentang,   gendang, tumba, kakangkuang. Sedangkan  pakaian dan dan alat elektronik seperti radio, tiperikorder dan televisi, tidak dilarang sepanjang tidak melewati batas keluarga yang MAULIT  atau berkabung. 

      72
                                                                                Manyurambi

Adat  MANYURAMBI atau MAULAMBU  adalah merupakan suatu  upacara adat yang tertinggi dalam masyarakat Banuaka’,  yaitu suatu upacara yang berkenaan dengan kegiatan  untuk menghormati orang yang sudah meninggal dengan   memperbaiki dan atau membuat kuburan, namun demikian dalam pelaksanaannya supaya diupayakan sesederhana mungkin, jangan sampai meberatkan  atau terkesan pemborosan, yang penting tidak meninggalkan nilai-nilai adat dan budaya yang seharusnya ada.




                                                                                       73
                                                                                Mararak Tata

Upacara adat MARAK  TATA atau mengakhiri masa berkabung yang dahulu ditandai dengan MARARAM ULU atau merendam tengkorak manusia, sekarang tidak perlu lagi, tetapi cukup dengan memancangkan BULO SAANG dan  DAUN TANDUK TUAK di DAMPEAN SUNGE, dan menghantarkan  karangan bunga kemakam serta berdoa bagi orang  yang sudah meninggal dan keluarga yang ditingalkan.             

                                                                                   
                                                                                      BAB  XV
                                                                          ADAT PATAUNAN
                                                                                    Pasal   74

(1)     Adat PATAUNAN  yang berkenaan dengan  masa waktu ALAO ARUMA  atau  masa  mulai kegiatan
       berladang atau bersawah maupun MALAO BANYIA diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat itu
       masing-masing baik dibawah bimbigan  dan atau  tidak TOA-TOA Adat atau para akhli pertanian.

(2)     Untuk menghindarkan kegagalan panen karena serangan  hama dan atau penyakit, sebainyak kegitan perlu diulai serentak, terutama masa tanam.

                                                                                         Pasal 75
                                                                                       Pamole Beo

(1)     PAMOLE BEO adalah suatu tradisi dimana selama 1 (satu ) tahun  berkerja di ladang atau disawah masyarakat Banuaka’ MAUMPAN KARUE, memanggil arwah leluhur atau nenek moyang untuk menjaga, untuk menolong bekerja, yang baik disadari atau tidak   kadang kala  selama  satu tahun berkerja ada hal-hal yang kurang enak didengar atau dialami seperti mendengar suatu pertanda  alam, binatang dan lain sebagainya yang diyakini sebagai suatu alamat, baik atau buruk, umpamanya kalau mendengar binatang KIJANG, suatu pertanda tidak baik,  sebaliknya mendengarkan burung ANDAK disebelah kiri dan kemudian  disebelah kanan secara bersaut-sautan,  sebagai suatu pertanda yang baik, atau mendengar bunyi BURUNG ANTIS SAKAKAR berturut-turut, sebagi pertanda tidak baik, dan lain sebagainya. Jadi dengan adanya kedaan yang demikian secara physikologis berpengaruh pada masyarakat Banuaka’ dan diyakini bahwa  keseimbangan alam gaib ( relegio magis ) telah  terganggu.

(2)     Untuk mengatasi atau mewujudkan kebiasaan tersebut pada ayat (1)  pasal ini dan sebagai upaya mengembalikan keseimbangan alam gaib ( relegio magis), diyakini caranya ialah melalui suatu upacara  ADAT yang disebut  PAMOLE BEO dan sekaligus, sebagai  upacara ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha  Kuasa, sebagai  Sampulo Padari dan  Kunyanyi.

(3)     Bagi masyarakat Banuaka’ yang beragama Kristen/ Katholik dilaksansankan setahun sekali,  sesudah panen ( TADANG MATAAM ) secara sederhana  sebgai  PAMOLE BEO SARANI  yaitu  bertepatan dengan  Hari Raya Pentekosta. 

(4)     Untuk PAMOLE BEO ADAT  yang bernilai budaya dan seni  sebagai ucapan syukur kepada Sampulo Padari, Kunyanyi sang leluhur, yang dihubungkan dengan keadaan alam gaib atau relio magis, pelaksanaannya  diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing kampung dan atau para toa-toa atau- let-let adat, namun disarankan sebaiknya semua kampung seretentak  melaksanakan pada   tanggal  20 Mei  sampai dengan tanggal 5  Juni, setiap tahunnya. 

(5)     Pengaturan serentak dimaksudkan  agar tidak mengganggu PATAUNAN yaitu masa atau kalender kerja pertanian berikutnya.

                                                                               



BAB XVI
PENUTUP
                                                                                     Pasal  76


Semua ketentuan yang ada terdahulu  dan mengatur hal atau materi  yang sama serta  bertentangan   dengan yang ada didalam Buku ini , dinyatakan tidak berlaku.

                                                                                      Pasal   77


Hal-hal yang belum  dan atau belum cukup diatur dalam Buku ini, menjadi kewenangan masyarakat adat  Banuaka’  terutama para Let Adat untuk mengaturnya secara musyawrah dan mufakat,  sesuai dengan  keyakinan dan hati nuraninya masing-masing.

                                                                                      Pasal     78

Semua ketentuan dalam Buku ini mulai berlaku sejak dan atau pada tanggal  ditetapkan  oleh Tamanggung  dan para Let Adat dalam Wilayah Ketamanggungan Labiyan.


                                                                         Ditetapkan di Ukit-ukit
                                                                         Pada tanggal        4  Agutus  2002

LET ADAT BANUAKA DI LABIYAN
KECAMATAN BATANG LUPAR  KABUPATEN KAPUAS HULU
 PROPINSI KALIMANTAN BARAT- INDONESIA

TAMANGGUNG



SAMAGAT JACOBUS F. LAYANG, BA.,SH


WAKIL TAMANGGUNG                  SEKRETARIS TAMANGGUNG


SAGAAN                                        DONITIUS JOHN

KETUA LET ADAT BAKUL               KETUA LET ADAT UKIT-UKIT


LEO PAMEANG                                     STEFANUS TAUWE

KETUA LET ADAT TUMBALI        KETUA LET ADAT  NGAUNG


MUNSANG                                        PAULUS

KETUA LET ADAT GANTI                   KETUA LET ADAT  KAPAR TAKALONG


               YOSEP PAIMBA                                                    JOHN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar