B A
B I
P
E N D A H U L U A N
Pasal
1
Ketentuan
Umum
Dalam Buku Hukum Adat ini terdapat
beberapa kata-kata atau istilah, yang
dipandang perlu untuk
diberikan penjelasan sebagai berikut :
1. HUKUM ADAT yang
dimaksud dalam Buku Hukum Adat ini
adalah Hukum Adat Banuaka’ di
Katamanggungan Batang Labiyan Kecamatan
Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat Indonesia.
2. ADAT selain sebagai
BUDAYA juga sebagai Hukum, dan yang merupakan
HUKUM, sebagaimana dimaksud dalam Buku ini pada masyarakat Banuaka,’ adalah norma atau kaidah yang dijadikan aturan atau
pedoman dan penuntun dalam pergaulan hidup masyarakat Banuaka’.
- HUKUM ADAT BANUAKA’ yang disempurnakan dan disesuaikan ini berlaku bagi seluruh masyarakat Banuaka’ dan masyarakat lain, yang datang dan bertempat tinggal didalam wilayah pemangkuan hukum adat Banuaka’ di dalam wilayah Ke Tamanggungan dan atau di seluruh wilayah Batang Labiyan.
- HUKUM ADAT ATAU KEBIASAAN yang dianggap sebagai adat namun bertentangan dengan Hukum Adat ini, atau yang sudah tidak sesuai lagi dinyatakan tidak berlaku.
- BANUAKA’ dalam Buku ini adalah sebutan umum bagi masyarakat adat yang juga dikenal sebagai masyarakat Tamambaloh atau Embaloh yang berasal dan atau berada di Batang Labiyan yang sebelumnya memang pernah manjadi satu Ketamanggungan dengan Banuaka’ di Batang Tamambaloh, Kecamatan Embaloh Hulu.
- KEKUASAAN TERTINGGI ADAT baik sebagai hukum maupun sebagai budaya berada ditangan Tamanggung dan Let-let Adat sebagai fungsionaris atau pemangku adat.
- PELANGGARAN terhadap adat diselesaikan oleh fungsionaris adat atau pemangku adat sebagai let adat.
- PATI NYAWA adalah NILAI ganti HARGA NAYAWA yang menjadi istilah adat dalam suatu kejadian baik karena perbuatan sengaja ataupun tidak sengaja yang telah menghilangkan nyawa seseorang.
- PATI NYAWA ULUN adalah sutau istilah NILAI ganti HARGA NYAWA yang mengandung sangsi adat bagi sutau perbuatan yang DILAKUKAN DENGAN SENGAJA menghilangkan nyawa seseorang.
- ALAM RELEGIO MAGIS atau Alam Gaib adalah ALAM LAIN dari pada alam kediam manusia, dimana pada alam tersebut diyakini berdiam arwah para leluhur atau nenek moyang manusia, yang dianggap atau dipercayai masih tetap mempunyai hubungan dengan manusia hidup.
- MAUNO atau membunuh adalah SUATU perbuatan melanggar adat yang dilakukan dengan menghilangkan nyawa seseorang baik sengaja atau tidak sengaja.
- KALE TAU adalah suatu nilai sangsi adat dimana KALE berati sama dengan TUBUH atau badan atau raga yang mempunyai jiwa sedangkan TAU adalah orang atau manusia.
- PAPADISI adalah suatu perbuatan melanggar adat dengan maksud menyakiti atau menyiksa sesorang.
- MANIKOM adalah suatu pelanggaran adat dengan melakukan perbuatan mengancam, baik dengan mulut dan atau disertai dengan senjata atau alat untuk menyakiti orang lain.
- MAMUKO adalah suatu pelanggaran adat oleh seseorang dengan cara mengajak orang lain untuk berkelahi baik dengan omongan biasa atau teriakan yang diarahkan kepada orang yang tertentu.
- ANAK BAKAS adalah seorang lelaki bujangan dan atau belum kawin , serta tidak terikat dalam suatu perkawinan.
- ANAK BAINYE adalah seorang gadis dan atau perempuan yang belum serta tidak terikat dalam suatu perkawinan.
- KASOPAN adalah suatu istilah HARGA DIRI.
- LET ADAT adalah fungsionaris adat atau pengurus adat, atau mereka yang bertanggung jawab atas tegaknya adat, baik sebagai hukum maupun sebagai budaya.
- LAKUNYE adalah suatu istilah untuk kata suami istri.
- BAINYE BALU dan BAKA BALU adalah keadaan seorang perempuan yang berkabung karena ditinggalkan suaminya yang meninggal dunia demikian sebaliknya BAKA BALU adalah seorang lalki-laki yang dalam keadaan berkabung karena istrinya meninggal dunia.
- PARAUNTINGI adalah sama dengan kata menghamili.
- SANAK TOA adalah status hubungan keluarga pada tingkat saudara sepupu sekali ( dimana Bapak/Ibu ) yang bersangkutan kakak beradik.
- SIALA PALAK ASU adalah suatu hubungan perkawinan yang berlangsung, diantara seorang laki –laki dan seorang perempuan yang bapak dan ibunya, atu ibu dengan ibu, atau bapak dengan bapak masih bersaudara kandung dan oleh adat perkawinanannya TIDAK DIANJURKAN.
- BUNTING LAWAN adalah suatu keadaan dimana seorang perempuan kedapatan hamil tanpa bersuami.
- SAUT ( Panyauti) adalah suatu jenis adat yang dijatuhkan kepada seorang, atas suatu pelanggaran adat ringan, dan untuk mengembalikan keseimbangan alam gaib atau alam magis, perlu dilakukan dengan memberikan kurban hewan kepada pihak yang dirugikan.
- BANUA adalah suatu wilayah pemukiman masyarakat adat.
- MANANDAS adalah suatu pebuatan yang melanggar adat karena MENUDUH seorang.
- ANAK KAMPANG, adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang BUNTING LAWAN yang tidak jelas suami atau lali-laki mana yang menjadi ayah dari anak yang dikandungnya.
- SIUKAN adalah suatu pelanggaran adat karena perbuatan, menjalin hubungan cinta yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang sudah bersuami dengan perempuan lain yang bukan istrinya.
- PAMBASA adalah suatu tindakan adat untuk menghormati atau menghargai seseorang.
- BERANGKAT adalah suatu pelanggararan adat yang dilakukan oleh seorang baik laki-laki atau perempuan dengan cara mengawini suami atau istri orang lain.
- MAMAO adalah suatu pelanggaran adat yang diakukan oleh serorang laki-laki atau seorang perempuan untuk merebut suami atau istri orang lain ( POAN adalah rebutan, IPO adalah direbut).
- UNJANGAN BAINYE ATAU LAKI adalah suatu pelanggaran adat menceraikan suami atau menceraikan istri.
- ARANGAN PALULUNG adalah suatu pelanggran adat oleh seorang perempuan karena suatu jalinan hubungan baik secara terang-terangan berzina atau tidak dengan seorang lelaki yang telah beristri.
- BALU adalah suatu keadaan berkabung yang dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki yang meninggal dunia suami atau istri.
- MANJALAANG BAWI adalah sutau peristiwa adat mengakhiri masa BALU dengan memberikan seekor babi kepada keluarga suami atau istri yang meninggal dunia.
- KIBARAN BALU adalah suatu pelangaran adat yang dilakukan oleh seorang perempuan atau laki-laki yang sedang manjalani masa BALU.
- MARAKAK adalah suatu pelanggaran kesusilaan dengan cara MEMPERKOSA oleh seorang laki-laki atau lebih, secara paksa untuk menzinahi seorang perempuan.
- SIKARAJA adalah suatu pelanggaran adat karena perbuatan asusila atau hubungan seksual yang dilakukan oleh sesorang secara tidak wajar, baik dengan manusia maupun dengan hewan.
- MARABOR atau MANGUDI ( insest ) adalah suatu pelanggaran adat karena perbuatan asusila atau hubungan seksual, yang dilakukan oleh sesorang secara tidak wajar, umpamanya antara ayah dengan anak kandungya, antara kakek dengan cucu kandungnya, atau antara manusia dengan hewan.
- SAUT BANUA adalah salah satu jenis hukum adat, yang nilainya dijatuhkan pada hewan babi yang dikurbankan untuk pengembalian keseimbangan BANUA atau alam gaib atau alam relegio magis.
- SAUT MATASO adalah salah atu jenis adat, yang nilainya dijatukan pada hewan babi yang dikurbankan untuk pengembalian keseimbangan alam, khususnya cuaca.
- PANABUS NYAWA adalah suatu upaya MENEBUS NYAWA dengan ADAT agar terhindar dari hukuman JAUM atau hukuman mati ditancap dan direcam dengan bambu ditas batang kayu, yang pada pada zaman dahulu pernah terjadi , khususnya pada perbuatan MARABOR atau MANGUDI.
- PANABUS MARBOR BANUA adalah suatu upaya MENEBUS NYAWA diri sesorang, yang karena kesalahannya dinilai, telah mengganggu keseimbangan alam gaib atau relegio magis yang demi adat ditetapkan dijatuhi hukuman mati.
- PANYAUTI BANUA adalah suatu upaya adat dengan menyembelih hewan kurban untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan alam gaib atau relegio magis.
- PANYAUTI MATASO adalah suatu upaya mengembalikan kesimbangan matahari dan atau cuaca dengan menyembelih hewan kurban.
- SALA BASAH, adalah suatu perbuatan melanggar norma kesusilaan atau sopan santun.
- MAOBO, adalah suatu perbuatan melanggar adat karena MENGUMPAT seseorang
- MALEMBAK ULITAN, adalah sutau perbuatan yang melanggar adat, yang dapat dinilai telah membuat orang yang berkabung tersingung atau terusik kekhusuknnya.
- BARI DAUN, adalah suatu kondisi dimana pada acara pesta yang telah disetujui tiba tiba digagalkan atau gagal karena tidak hadirnya orang yang menjadi objek utama dalam undangan tersebut
- MANGANUNG-NGANUNG, adalah suatu perbutan berbohong yang dinilai telah melanggar adat, sehingga ada pihak-pihak yang telah dirugikan.
- PAPAULU, adalah suatu perbuatan yang menyebarkan berita kebohong ( gosip ) yang dilakukan dengan sengaja untuk menfinah atau mengata-ngatai orang lain.
- MANGABO BAUA, adalah suatu pebuatan pelanggaran adat yang dinilai telah dan atau akan mengakibatkan tercemarnya lingkungan atau masyarakat
- UTANG BABA, adalah suatu sangsi adat yang dijatuhkan kepada sesorang yang karena omongannya telah merugikan pihak laian.
- MANGALIT, adalah suatu perbuatan yang karena mengambil barang orang lain dinilai telah mencuri.
- KOKOAN BIRING API, yaitu suatu perbuatan mengambil barang orang lain yang dikatagorikan mencuri dalam rumah korban.
- MANSAK, adalah suatu perbuatan atau sikap yang menimbulkan perangsang kepada pihak lain untuk berbuat sutau kejahatan.
- MARANG ARANG, adalah suatu perbuatan mengolok-olok atau menghujat, yang dinilai telah menimbulkan kemarahan orang lain.
- MAMUKO, adalah suatu sikap mengajak orang lain berkelahi dengan melotarkan kata-kata agar orang tersebut terangsang untuk melayani
- MANAITI SAO, adalah suatu perbuatan menaiki rumah orang lain secara tidak wajar yang diserti maksud jahat yang dapat dikatakan melanggar adat
- AMBITAN SAO, adalah suatu perbuatan menaiki rumah orang lain dengan cara tidak wajar, untuk maksud jahat yang dapat dikatakan melanggar adat
- MAINJAMI, adalah suatu cara berpacaran antara laki-laki dengan perempuan yang berlangsung diperaduaan atau ditempat tinggal siperempuan dan yang oleh adat dilarang.
- LAATAN BIRING ALE, adalah suatu pelanggaran adat karena perbuatan MAINJAMI, yang menginjak atau menyentuh tempat tidar orang lain yang telah beristri atau bersuami
- BAUNDING, adalah suatu istilah untuk orang yang sakit jiwa
- MANDAKAP SUNDAMAN, adalah suatu perbuatan hukum dalam perkawinan dengan meng - adati, salah satu pihak untuk menyatakan pengakuan terhadap kaum keluarga, dengan membayar sejumlah adat
- MANTAAT, sama dengan kata menyampaikan atau meletakan
- MANJALAANG, yang dimaksudkan dalam peraturan ini adalah membayar dan atau memberikan
- AYUN ADAT, sama dengan kata NILAI ADAT.
- SIALA PALAK ASU, adalah status dua orang yang kawin dalam hubungan darah terdekat, yaitu dimana Bapak dan Ibu , atau Bapak dengan Bapak atau Ibu dengan Ibu mereka adalah bersaudara kandung.
- STRATA/KASTA ATAU GOLONGAN, adalah susunan masyarakat Banuaka’ yang dikenal berlapis, mulai dari Samagat, Pabiring, Banua dan Pangkam ( Strata PANGKAM kini telah lama dihapuskan )
- MAMBITI, adalah suatu upaya hukum adat dari salah satu golongan, yang terjadi terutama dalam perkawinan, untuk menyamakan strata masyarakat Banuaka dari golomngan dibawah keatas, umpamanya dari Pabiring, ke Samagat, dari Banua ke Pabiring.
- IPITAI, adalah suatu perbuatan hukum adat, dimana untuk dapat diterima sepenuhnya menjadi warga, maka sesorang dan atau URANG yang mengawini anggota salah satu kelompok dalam masyarakat Banuaka, diwajibkan untuk membayar adat terlebih dahulu.
- URANG, istilah adat bagi orang yang berada diluar persekutuan masyarakat adat Banuaka’
- TAJU sama dengan kata TUNANG dan SITAJU sama denagan kata BERTUNANGAN sedangakan PANAJU adalah sama dengan kata PENUNANG
- UNJANGAN TAJU, adalah sama dengan kata BUANG atau PEMUTUSAN TUNANG
- POAN suatu istilah dalam perkawinan yang sama dengan kata RAMAPASAN dan IPO sama dengan kata DIRAMAPAS sedangkan MAMO adalah sama dengan kata MERAMPAS
- SIAROAAN, adalah suatu istilah dalam perkawinan yang menyatakan bahwa orang itu dalam hubungan kekerabatan mempunyai pertalian darah sepupu yang memenuhi syarat untuk kawin
- SILALOLAN, adalah suatu istilah dalam perkawinan yang menyatakan bahwa orang itu dalam hubungan kekerabatan mempunyai pertalian darah paman, kakek, nenek, keponakan, cucu dan sebagainya.
- MANGGILINGANG adalah suatu istilah adat untuk menyamakan status mereka yang mempunyai hubungan kekerarbatan dalam pertalian darah yang menyimpang, seperti antara, kakek/nenek dengan cucu, atau paman/bibi dengan keponakan sedangkan PANGGILINGANG adalah suatu benda, yang dijadikan adat untuk memenuhi ketentuan adat
- BIRING API, adalah suatu istilah untuk RUMAH TANGGA.
- MARAJUKANG TINDO atau MALENGKAANG TINDO, adalah suatu kondisi dimana dalam salah satu keluarga ( suami – istri ) terjadi cekcok yang mengakibatkan salah satunya minggat tidur ketempat keluarganya
- UNJANGAN, adalah sama dengan kata BUANGAN yang menggambarkan suatu kondisi dimana salah satu pihak yang terikat dalam perkawinan menceraikan pasangannya
- UNJANGAN LAKI adalah kata untuk BUANGAN ( menceraikan ) SUAMI dan UNJANGAN BAINYE adalah kata untuk BUANGAN ( menceraikan ) ISTRI
- PAMALU TOA ADAT, adalah jenis adat yang harus dibayar oleh seorang yang berlaku tidak sopan seperti menghina atau memberi malu Adat dan atau Fungsionaris adat
- PAKADENG atau MATIO BIRING API ( menegakan rumah tangga ), adalah suatu istilah yang bekenaan dengan perkawinan , dimana salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan, setelah terikat dalam suatu perkawinan, menundukan diri kesalah satu pihak untuk menjadikan diri sebagai orang andalan dalam keluarga.
- MATIO TAMATOA adalah sama dengan kata MENGHIDUPI ORANG TUA.
- MANDUDUKI BIRING API, adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam suatu perkawinan, dimana laki-laki atau perempuan yang telah terikat dalam suatu perkawinan, memilih atau ditetapkan oleh kaum keluagra salah satu pihak, untuk tetap tinggal disalah satu bilik atau rumah tangga, sebagai andalan keluarga.
- HAK BANUA, adalah hak dari persekutuan masyarakat hukum adat Banuaka, dalam suatu wilayah atau kampung tertentu yang maksudnya, sama dengan hak Ulayat atau hak hak serupa itu, atas tanah, air dan udara beserta isinya.
- LUNGUN, sama dengan peti mati atau peti jenazah yang terbuat dari sebatang pohon
- MARATASANG, adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seeorang yang dituakan untuk memulai suatu pekerjaan dalam suatu peristiwa adat, sebelum dimulai pekerjaan lanjutannya., umpamanya, memulai penggalian liang kubur atau liang lahat, mengerjakan suatu ukiran yang berkenaan dengan pekerjaan yang bersifat ritual.
- DAUN SAKALA adalah suatu jenis hidangan makan dalam suatu upacara adat, yang terbuat dari nasi atau beras biasa yang dibuat membulat, sesuai dengan bentuk kuali atau wajan, dan kalau dihidangkan selalu dilengkapi dengan lemang/ ketan/pulut suman yang pajang 8 batang yang pendenk 8 batang, dodol ketan/beras yang disebut kalame delapan yang bulat bola dan satu yang bulat memanjang serta daging babi khusus yang disebut JAJAR BAWI.
- DARA SURI, adalah suatu jenis adat yang terkecil atau terendah, yang terdiri dari darah ayam yang dioleskan pada daun Suri, salah satu jenis daun yang sering dipakai dalam upacara adat.
- MAMPITI, sama dengan kata MENGHADIRI.
- MANDAAS, adalah suatu upacara adat bela sungka atas mninggalnya sesorang, sebelum jenazah dikuburkan, dengan maksud melayat untuk memberikan penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan dan atau penyampaian rasa duka kepada orang yang meninggal dunia.
- MARARAK TATA adalah suatu upacara adat buang pantang setelah mengginggalnya salah seorang warga atau suatu upacara adat mengakhiri masa berkabung
- MANYURAMBI, adalah suatu aktifitas perbaikan atau pembuatan kuburan atau makam keluarga, yang dilaksanakan berdasarkan adat yang bersifat ritual pada masyarakat Banuaka’
- MAULAMBU adakah suatu aktifitas adat yang berkenaan dengan perbaikan atau pembuatan kuburan atau makam keluarga, yang penuh dengan ritual dan dianggap sebagai salah satu upacara adat, yang tersebesar pada masyarakat Banuaka’
- MARARAM ULU adalah suatu aktifitas mengakhiri masa berkabung, yang pada zaman dahulu ditandai dengan merendam tengkorak ( karumpang ulu ), yang dilengkapi dengan hiasan daun enau muda ( bulo saang )
- PATAUNAN adalah suatu periode untuk memulai masa bertanam padi.
- ALAO ARUMA adalah suatu istilah pertanian yang sama dengan kata mulai masa pertanian
- MALAO BANYIA adalah tahapan dalam masa pertanian, untuk memulai masa bertanam atau menugal, yang biasanya didahului oleh seorang panutan yang selalu beruntung dapat padi pada setiap kali musim tanam.
- PAMOLE BEO, adalah suatu masa syukuran dalam mengakhiri kegiatan atau suatu masa tanam ( dalam satu tahun), yang ditandai dengan upacara adat “pembuatan kalangkang” yang dilengkapi dengan aneka sesajen, seperti : daun sakala, pulut suman, kalame daging, ikan bao/ lauk sisik salae/asap, ikan belida/barira segar, minuman danum baram dalam lumpang bulo ririas.
- Kalangkang adalah suatu kotak kayu yang terbuat dari kayu LITA/PELAI yang diukuir dan diambil secara khusus dengan upacara adat, yang selanjutnya digunakan sebagai tempat menyajikan makanan, minuman, sirih rokok dan lain lain kepada arwah para leluhur.
- Hukum Adat yang ada dalam Buku ini hanya berupa Pedoman Dasar, baik sebagai Hukum maupun sebagai Budaya masyarakat Banuaka’ ini dan mulai berlaku, pada tanggal penetapan dan pengesahan oleh Tamanggung dam Let-let Adat, dalam rapat khusus let adat yang diadakan untuk itu, oleh masyarakat Banuaka’ di Batang Labiyan.
BAB II
POKOK - POKOK HUKUM ADAT
Pasal 2
(1)
Untuk memudahkan pemahaman bagi semua pihak yang berkepentingan, maka
peristiwa adat yang bermula dari
kebiasan ke norma-norma menjadi hukum
adat, perlu dibedakan dalam berbagai
kejadian baik pelanggaran maupun kejahatan.
(2)
Jenis Hukum Adat yang
dimaksud pada ayat (1) pasal ini
dibedakan atas :
I.
Ketegori Hukum Adat Khusus, yaitu:
- Patinyawa Ulun
II.
Kategori Hukum
Adat Umum, yaitu:
1. Kaletau
2. Garantung
Raa
3. Kelengkong
4. Bakam Lama
5. Saut
6. Pipikan Dara
Suri
(3)
Nilai masing-masing Hukum Adat adalah
- Pati Nyawa Ulun = 1.000.- (seribu) geram emas murni 24 Karat
- Kaletau Adat Biasa = Rp. 75.000.- Sedangkan untuk adat perkawinan 1 (satu) kaletau dinilai sama dengan 6 (enam) geram emas murni karat, demikian pula untuk adat kematian 1(satu) juga dinilai sama dengan 6 (enam) geram emas murni 24 karat
- Garatung Raa = Rp. 65.000.-
- Kalengkong = Rp. 50.000.-
- Bkam Lama = Rp. 30.000.-
- Saut = bawi/babi/manuk/ayam
- Pipikan Dara Suri =dara manuk/darah ayam
(4)
Kejadian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) pasal ini dibedakan sebagi berikut:
1. Pati Nyawa
2. Kesusilaan
3. Kehormatan
4. Pencurian
5. Pengrusakan/pemusnahan
6. Keamanan
7. Perkawinan
8. Perceraian
9. Pewarisan/pemilikan
10. Pertanahan/kehutanan
11.
Adat Kematian
12.
Pamole Beo
13. Pataunan
14. Kebiasaan
BAB III
PATI
NYAWA
Pasal
3
(1) Barang
siapa “ MAUNO” (membunuh} atau menghilangkan
nyawa seseorang dengan sengaja dan atau direncanakan, sebelum diserahkan ke
pada Pemerintah Republik Indonesia untuk diadili di Pengadilan Negeri, untuk
mengembalikan keseimbangan alam relegio magis, terlebih dahulu harus dikenakan
sangsi adat PATI NYAWA ULUN dengan
hukuman sebesar 1000 ( seribu ) geram
emas murni ( emas 24 karat)i, ditambah
dengan saut banua 1 (satu) ekor babi.
(2) Barang
siapa ikut membantu melakukan pembunuhan
“ MAUNO” atau menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja atau direncanakan
sebelum deserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk diadili di
Pengadilan Negeri, untuk mengembalikan
keseimbangan alam relegio magis, terlebih dahulu harus dituntut dengan
adat PATINYAWA ULUN 1000 (seribu) geram emas murni atau setengah PATI NYAWA ULUN 500 (lima ratus
) geram
emas murni dan saut banua satu ekor babi, sesuai dengan berapa jauh keterlibatan orang tersebut dalam
peristiwa pembunuhan dimaksud pada ayat (1) pasal ini.
(3) Barang
siapa “MAUNO” ( membunuh ) atau
menghilangkan nyawa seseorang baik
langsung maupun tidak langsung akibat sesuatu hal yang dapat menyebabkan
kematian dengan saksi-saksi dan fakta-fakta yang dapat dibuktikan, adatnya
diselesaikan pada Peradilan Adat dengan sangsi hukuman satu pati nyawa, yaitu 12 kaletau, dan saut banua satu ekor babi.
(4) Barang
siapa ikut melakukan pembunuhan ( “
MAUNO” ) atau menghilangkan nyawa seseorang
baik langsung maupun tidak langsung akibat sesuatu hal yang dapat menyebabkan kematian dengan saksi-saksi dan fakta-fakta
yang dapat dibuktikan, adatnya diselesaikan pada Peradilan Adat dengan sangsi
adat dengan hukuman ½ (setengah) pati nyawa, yaitu 6 kaletau.
BAB IV
PENGANIAYAAN
DAN ANCAMAN
Pasal 4
(1) Barang
siapa dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan penganiayaan ( PAPADISI
), terhadap orang lain setengah mati dan
mengakibatkan cacat, dikenakan sangsi
adat dengan hukuman ½ (setengah) pati nyawa yaitu 6 (enam )
kaletau ditambah biaya pengobatan atau perawatan, serta baiya hidup bagi
korban .
(2) Barang
siapa dengan segaja ikut melakukan tindakan kekerasan penganiayaan ( PAPADISI ) baik
langsung maupun tidak langsung terhadap orang
lain sampai setengah mati dan menyebabkan cacat, dikenakan sangsi adat
dengan hukuman 3 (tiga) kaletau serta diwajibkan ikut menanggung biaya pengobatan atau perawatan sikorban.
Pasal 5
Barang siapa
dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan ( PAPADISI) terhadap orang lain tetapi tidak membahayakan
jiwa dan tidak menyebabkan cacat,
dikenakan sangsi adat dengan hukuman
1 (satu) kaletau diktambah
saut satu ekor ayam.
Pasal
6
(1) Barang
siapa dengan kemarahannya dengan
menggunakan senjata dan mengancungkan, merusak sesuatu, mengeluarkan
kata-kata yang tidak wajar serta mengajak
sesorang untuk berkelahi (
MANIKOM dan MAMUKO ), dikenakan sangsi
adat dengan hukuman 1 (satu )
kaletau.
(2) Barang
siapa dengan kemarahannya menggunakan
senjata dan mengacungkan, merusak sesuatu serta mengajak
siapa saja berkelahi ( MANIKOM dan
MAMUKO ), dikenakan sangsi adat dengan
hukuman 1 (satu) kaletau ditambah satu garantung raa.
BAB V
KESUSILAAN
Pasal 7
(1) Adat
kebiasaan siinjaman tidak dapat
dibenarkan dan dihapus sama sekali.
(2) Apabila
seorang pemuda ( ANAK BAKAS ), mendatangi peraduan seorang pemudi ( ANAK BAINYE ) dan oleh seorang pemudi
itu diterima, serta tidur bersama , maka
keduanya dikenakan sangsi adat larangan
siinjaman dengan hukuman masing- masing 1 (satu) kaletau ditambah dengan pemalu
( KASOPAN ) Toa Adat (LET ADAT ), sebesar satu kaletau.
(3) Apabila
sesorang pemuda ( ANAK BAKAS ) mendatangi peraduan seorang permudi ( ANAK BAINYE ), hendak tidur bersama, tetapi
oleh si pemudi ( ANAK BANYE ) ditolak, maka dikenakan sangsi adat dengan
hukuman 2 (dua) kaletau, ditambah KASOPAN
orang tua 1 (satu) kaletau dan KASOPAN Toa Adat ( LET ADAT )
juga 1 (satu) kaletau.
(4) Apabila
perbuatan siinjaman tersebut diulangi lagi maka sangsi adat dengan hukuman
untuk larangan mainjami, kasopan Let Adat dan orang tua dikenakan dua kali
lipat.
Pasal 8
(1) Apabila
perbuatan mainjami tersebut dilakukan terhadap seorang wanita yang bersuami dan
suaminya tidak berada di kampung karena
alasan bekerja ditempat lain atau
merantau, sakit dan lain sebagainya
tetapi masih LAKUNYE (dalam ikatan
perkawinan yang sah), dikenakan sangsi adat dengan hukuman sebesar 2 (dua)
kaletau ditambah kasopan suami sebesar 2 (dua)
kaletau dan kasopan Let Adat sebesar
1(satu) kaletau serta membayar saut satu ekor ayam kepada ana-anak
siperempuan jika punya anak.
(2) Apabila
perbuatan mainjami tersebut dilakukan tgerhadap perempuan yang baru meninggal
suaminya ( BAINYE BALU ), dan tidak dikehendaki oleh perempuan
tersebut, maka laki-laki tersebut dikenakan sangsi adat KIBARAN
BALU dengan hukuman 4 ( empat ) kaletau, ditambah
membayar kasopan kepada Let Adat 2 (dua) kaletau, ditambah saut satu ekor ayam kepada anak siperempuan, kalau punya
anak.
Pasal
9
(1) Apabila
seorang laki-laki bujang dan atau yang tidak terikat dalam suatu
perkawinan,
PARAUNTINGI ( menghamili ) seorang
perempuan gadis dan atau yang belum
terikat dalam
suatu perkawinan, diluar ikatan
perkawinan yang sah, maka tidak ada alasan bagi keduanya
untuk tidak kawin, dan karena perbuatan
siparauntingi tersebut keduanya
dikenakan sangsi adat
kasopan Let adat, dengan hukuam 1 (satu)
kaletau dan 1 (satu) garantung raa.
(2)
Apabila perbuatan siparauntingan itu terjadi antara
hubungan keluarga pada keturuan tingkat yang
kedua, ( SANAK TOA ), maka kepada mereka
dikenakan sangsi adat SIALA PALAK ASU
dengan hukuman 4 (empat ) kale tau dan 1 ekor babi saut banua, kemudian setelah semua kewajiban hukum yang
telah ditimpakan orang tersebut dipenenuhi,
barulah mereka berdua boleh melangsungkan perkawinan.
(3)
Apabila seorang perempuan yang belum bersuami, datang
dan atau pulang kekampungnya dengan
keadaan HAMIL tanpa suami yang sah,
dikenakan sansi adat BUNTING
LAWAN dengan hukuman 4 (empat) kale tau
ditambah dengan saut Banua dan atau Pataunan 1 ( satu) ekor babi.
Pasal
10
Apabila seorang
perempuan hamil diluar perekawinan yang
sah ( BUNTING LAWAN ) dan mengakui lebih dari satu laki-laki yang berbuat, maka
kepada para lelaki itu dikenai sangsi adat
4 (empat) kaletau ditambah 1
(satu) garantung raa dan menanggung biaya hidup anak selama 5 (lima ) tahun, atau sampai si ibu kawin
lagi. Sementara perempuan yang BUNTING
LAWAN dikenai sangsi denda 1 (satu) ekor babi PANYAUTI, untuk membersihkan
banua dan mengembalikan keseimbangan
alam gaib/relegio magis yang sudah terganggu karena terjadinya
BUNTING LAWAN tadi.
Pasal
11
Apabila seorang
perempuan hamil diluar perkawainan yang sah, mengaku seorang laki-laki telah
menghamili ( PARAUNTINGI ), sementara
pengakuan tersebut tidak diakui oleh
pihak lelaki sehingga sungguh tidak dapat dibuktikan dengan cara apapun, maka perempuan tersebut
dikanakan sangsi adat BUNTING LAWAN, yaitu adat
MANANDAS ( Menuduh ) sebesar 4 (empat)
kaletau dan saut 1 (satu) ekor babi untuk mnyauti Banua, dan anak
tersebut disebut anak KAMPANG.
Pasal 12
Apabila seorang
perempuan yang belum bersuami melakukan zina dengan suami orang lain yang telah
terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka perempuan tersebut dikenakan
sansi adat ARANGAN PALULUNG dengan
hukuman, oleh istri orang
tersebut sebesar 4 ( empat ) kaletau yang dibayar dan atau ditanggung 50 % oleh
pihak laki-laki..
Pasal
13
Apabila seorang
laki-laki yang sudah terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan perempuan,
kemudian melakukan perbuatan zina dengan
seorang perempuan lain yang bukan
istrinya, maka laki-laki tersebut dikenakan sangsi adat SIUKAN dengan hukuman KASOPAN atau pamalu, kepada istri, sebesar 4 (empat ) kaletau dan PAMBASA kepada anak 1 (satu) kale tau
ditambah 1 (satu) ekor ayam, waja/ besi
1 (satu) potong sebagai saut untuk yang punya anak.
Pasal
14
(1) Apabila seorang perempuan yang sudah bersuami secara
sah melakukan perbuatan zina dengan
laki-laki yang sudah beristri secara sah ataupun dengan laki-laki yang
belum beristri, maka kepada perempuan atau laki-laki tersebut dikenakan hukuman masing-masing 8 (delapan ) kaletau.
(2) Apabila
perbuatan zina tersebut pada (1) pasal ini menyebabkan kehamilan pada perempuan
yang secara sah sudah bersuami dimaksud,
maka kepada mereka laki-laki dan perempuan tersebut, dikenakan
sansi adat dengan hukuman
masing-masing 8 ( delapan) kaletau,
ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam, waja/ besi 1 (satu)
potong dengan batunya 1 (satu) kale tau, untuk yang sudah mempunyai
anak.
Pasal
15
(1)
Apabila seorang
laki-laki atau perempuan yang belum terikat dalam suatu perkawinan yang sah,
mengambil istri atau suami orang lain yang masih terikat dalam suatu perkawinan
yang sah, dikenakan sangsi adat BARANGKAT dengan hukuman, adat merampas ( MAMO) maka kepada mereka yang
melakukan itu dikenakan sangsi adat dengan
hukumAN POAN BAINYE atau POAN
LAKI , masing-masing 8 (delapan) kaletau
ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam, waja / parang 1 potong
dengan batunya 1 (satu) kaleatau dan
jika istri atau suami yang IPO
tersebut ada mempunyai anak.
(2) Apabila POAN
dilakukan oleh seorang laki- laki atau seorang perempuan yang sudah
terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka mereka yang melakukan POAN
dikenakan sangsi adat BARNGKAT dengan
hukuman 8 (delapan) kaletau ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam,
waja/besi 1 (satu) potong serta batunya
1 )satu ) kaletau, jika diantara mereka sudah ada yang mempunyai anak.
(3) Apabila POAN menyebabkan perceraian dalam suatu
ikatan perkawinan, maka pihak yang
menceraikan dikenakan sangsi adat UNJANGAN BAINYE/LAKI dengan hukuman
4 ( empat) kaletau, ditambah waja
atau parang 1 potong dan KASOPAN orang
tua masing-masaing 1 (satu) kale tau.
(4)
Apabila POAN
dilakukan dengan ancaman atau paksaan, maka dikenakan tambahan hukuman 1 (satu) kaletau.
(5)
Apabila POAN dilakukan dengan paksaan, kekerasan serta
dengan penganiayaan , maka dikenakan sangsi adat dengan hukuman PAPADISI atau Penganiayaan berat, maka hukumanya 4 (empat) kaletau dan bila penganiayaan ringan maka hukumannya
1 (satu) kaletau, ditambah biaya
perawatan atau pengobatan , serta dikenakan saut dengan saut 1 (satu) ekor
ayam,waja/ besi 1 (satu) potong.
(6)
Apabila
POAN terhadap salah satu
pihak atau terhadap kedua-duanya yang dimaksud dalam pasal 15 ini
mempunyai anak maka baik
laki-laki atau perempuan yang di PO tersebut menanggung seluruh biaya hidup anak-anak
mereka, sampai mereka dewasa atau sudah kawin
Pasal
16
(1) Seorang
yang ditinggal mati oleh istri atau suami
pada dasar atau prinsipnya wajib menjalankan adat BALU.
(2) Pabalu
adalah suatu keadaan membatasi diri dari pergaulan lingkungan yang bebas dari keramaian, bebas dari
keindahan yang gemerlapan, untuk waktu 6 (enam ) bulan dan paling lama 1 (satu)
tahun, atau berdasarkan pertimbangan pihak keluarga atau ahli waris yang
meninggal dunia dengan diketahui oleh let adat.
(3) Apabila
menurut kenyataannya yang bersangkutan tidak CAKAP untuk menjalakan BALU,
maka dengan persetujuan pihak keluarga atau ahli waris dan dengan diketahui oleh
let adat, dapat diperingan bahkan ditiadakan.
(4)
Masa BALU berakhir dengan ditandai MANJALAANG BAWI oleh pihak yang BALU, kepada
keluarga atau ahli waris suami
atau istri yang telah meninggal dunia.
(5)
Apabila ketentuan ayat (4) pasal ini tidak dapat
dipenuhi sampai dengan waktunya, maka
cara mengatasinya:
a. dapat melakukan TAMPUNG TAUN dengan menyerahkan
adat 1 (satu) kale tau kepada
pihak
keluarga yang meninggal.
b.
demi adat, dapat dilakukan oleh
warga masyarakat ditempat berlangsungnya
BALU dengan
cara mengambil alih tanggungjawab pihak SIBALU dengan membayar adat 1
kale tau melalui let adat, kepada pihak keluarga atau ahli waris
yang suami atau istri yang meninggal.
Pasal 17
Apabila dalam
masa pabalunya sesuai dengan apa yang telah disefakati bersama, bilamana janda atau duda tersebut melakukan perbuatan
yang melanggar adat kesusilaan dan
kasopan maka dapat dikenakan sangsi adat
KIBARAN BALU dengan hukuman 4 (empat )
kaletau.
Pasal 18
(1) Apabila
seorang laki-laki dengan cara kekerasan memaksa untuk melakukan hubungan
seksual atau zina, tanpa dikehendaki
oleh perempuan tersebut, maka kepada laki-laki tersebut dikenakan sangsi adat
MARAKAK dengan hukuman sebesar 6 (enam ) kaletau dan kosopan atau pamalu let
adat, sebesar 1 (satu) kaletau
ditamabah 1 (satu ) garantung raa.
(2) Apabila
perbuatan MARAKAK tersebut pada ayat 1 (satu ) pasal ini dilakukan oleh lebih
dari satu orang laki-laki, maka kepada masing-masing pelaku dikenakan sangsi
adat MARAKAK dengan hukuman 4 (empat ) kaletau
dan kasopan atau pamalu let adat 1 (satu) kaletau ditambah 1 (satu)
garantung raa.
(3) Apabila
yang dipaksa untuk melakukan hubungan seksual atau zina tersebut adalah seorang
perempuan yang masih terikat, dalam ikatan perkawinan yang sah, maka pelaku dikenakan sangsi adat MARAKAK dengan hukuman 6 (enam)
kaletau, ditambah kasopan atau pamalu suami sebesar 4 (empat ) kaletau, kosopan
atau pamalu let adat 1 (satu) kaletau dan 1 (satu ) garantung raa.
(4) Apabila
yang dipaksa melakukan hubungan seksual atau zina teresebut adalah seorang
perempuan yang masih dalam keadaan balu, maka pelaku dikenakan sangsi adat
MARAKAK 6 (enam ) katetau, KIBARAN BALU 4 ( empat ) kale tau dan saut 1 (satu)
ekaor ayam serta waja atau parang 1 potong
untuk pabalu yang punya anak, ditambah hukuman untuk adat kosopan atau pamalu let adat 1
(satu) kaletau dan 1 (satu) garantung raa.
(5) Apabila
yang dipaksa untuk melakukan hubungan
seksual atau perbuatan zina itu orang cacat jiwa, cacat mental atau anak-anak, maka pelaku dikenakan sangsi adat MARAKAK 12 (dua belas ) kaletau ditambah kasopan atau pamalu orang
tua 1 (satu ) kaletau, sedangkan untuk kasopan atau pamalu let adat 1 (satu) kaletau dan 1 (satu ) garantung raa.
Pasal 19
(1) Apabila
seseorang melakukan hubungan seksual/
persetubuhan secara tidak wajar antara
anak perempuan dengan ayah kandungnya
atau antara anak laki-laki dengan ibunya, antara kakek atau nenek dengan
cucunya, antara saudara sekandung, antara sesama laki-laki , antara sesama
perempuan antara manusia dengan binatang yang
disebut SIKARAJA, maka dikekanakn sangsi adat dengan hukuma MARABOR BANUA atau MANGUDI’ BANUA ( incest).
(2) Apabila
sesoarang melakukan perbuatan MARABOR atau KUDI’ maka hukuman masing-masing
dikenakan sangsi adat dengan hukuman 1
(satu) ekor babi yang harus dibunuh
sebagai SAUT BANUA dan SAUT
MATASO serta kepada pelaku dikenakan hukuman masing -masing 8 (delapan) kaletau
sebagi PANABUS NYAWA dan masing-masing 8
(delapan) kaletau PANABUS MARABOR BANUA.
(3) Apabila
sesorang melakukan perbuatan MARABOR atau KUDI dengan binatang, maka binatang
tersebut harus dibunuh PANYAUTI BANUA dan
PANYAUTI MATASO sedangkan pelakuknya dikenakan sangsi adat
MARABOR atau KUDI dengan hukuman 16 (enam belas) kaletau.
Pasal 20
(1) Apabila
seseorang dengan sengaja mencium seseorang, baik sudah atau
belum terikat dalam suatu perkawinan atau dengan kata lain yang bukan
istri atau suaminya, maka kepada pelakunya
dikenakan sangsi adat SALA
BASAH dengan hukuman sebesar 1 (satu) kaletau.
(2) Apabila
sesorang laki-laki dengan sengaja memegang, menjamah, memenyentuh dan memijit susu perempuan lain baik yang
dalam status bersuami atau tidak
bertsatus atau belum bersuami, pelakunya dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 (dua ) kaletau.
BAB VI
KEHORMATAN
Pasal
21
Barang siapa
dengan sengaja mencaci maki atau
menghina atau mengeluarkan kata-kata
yang tidak sopan terhadap orang lain,
sehingga orang yang dicaci makai
tersebut merasa terhina dan mendapat malu,
baik mengenai dirinya sendiri, keluarga atau keturunannya, maka kepada orang
tersebut dikenakan sangsi adat MOBO’ dengan hukuman 1 (satu)
garantung raa.
Pasal
22
Barang siapa
merusak kehormatan dan atau nama baik
sesorang dengan jalan mencaci maki atau menghina atau memfitnah, maka
kepada orang tersebut dikenakan sangsi
adat KASOPAN dengan hukuman, masing-masing : Kosopan Tamanggung selaku Toa Adat, Toa Banua 2 (dua) kaletau,
Kasopan Wakil Tamanggung atau yang disamakan dengannya sebesar 1 (satu) kaletau ditambah 1(satu)
garantung raa, Kasopan Kepala Desa dan Sekretaris Tamanggung 1 (satu) garantung raa ditambah 1 (satu) kalengkong, sedangkan kasopan Kepala Kampung, Let Adat 1 (satu) garantung raa ditambah 1 (satu)
bakam lama serta kasopan masyarakat biasa / masyarakat umum
sebesar 1 (satu) garantung raa.
Pasal
23
Barang siapa
melakukan perbuatan SASAU NYAWA
yaitu sukaria, dengan membunyikan
gong/tawak, atau bunyi-bunyian yang bersifat hiburan sukaria, dan atau baranangis, menyanyi, berteriak sesukanya dalam suatu wilayah pemukinan dimana orang
tersebut maulit ( berkabung), maka orang tersebut dikenakan sangsi adat MALEMBAK ULITAN dengan hukuman, sebesar 1
(satu) kaletau ditambah dengan 1 (satu)
garantung raa.
Pasal
24
(1) Barang
siapa melanggar ulitan tetapi tidak
dengan sengaja, maka kepadanya
dikenakan sangsi adat MALEMBAK ULITAN,
atas dasar kelalaian, dikenakan hukuman 1 (satu) garantung raa.
(2) Barang
siapa diantara orang asing yang betul - betul tidak mengetahui bahwa adanya
ulitan, namun dia telah melanggar, maka
kepadanya dikenakan sangsi adat MALEMBAK
ULITAN, atas dasar kelalaian dengan hukuman 1 (satu) garantung raa.
Pasal
25
Barang siapa
yang telah menjadi subjek dalam suatu
gawai atau madu, dengan sengaja tidak datang pada saat dan waktu yang telah
ditentukan, dengan sengaja tidak datang
karena suatu sebab atau alasan yang tidak masuk akal, maka kepada orang tersebut
dikenakan sangsi adat MAMBORANG BARI DAUN
dengan hukuman 1 (satu) kaletau dan 1 ( satu ) garantung raa dan
mengganti kerugian kepada pihak yang mengadakan gawai.
Pasal
26
(1)
Barang siapa menuduh atau memfitnah sesorang tanpa alasan atau bukti yang kuat, maka kepada
orang tersebut dikenakan sangsi adat
MANGANUNGAN dengan hukuman 2 (dua ) kaletau.
(2)
Barang siapa berbohong dengan menyebut sesuatu hal
tanpa kebenaran yang dapat menyebabkan
kerugian pada orang lain dan atau orang banyak, maka yang bersangkutan dapat dikenakan sangsi adat PAPAULU
dengan hukuman :
a.
PAPAULU MANGABO BANUA
4 ( empat ) kaletau
b.
PAPAULU UTANG
BABA (
biasa ) 1 (satu) garangtung raa.
B A
B VIII PENCURIAN
Pasal 27
Barang
siapa mengambil barang kepunyaan orang lain dengan maksud, memiliki
secara melawan hak dan atau adat dan kejadian tersebut
dilakukan di dalam rumah orang yang menjadi korban, maka pelaku dikenakan sangsi adat MANGALIT dengan KOKOAN
BIRING API dengan hukuman 2 ( dua) kaletau, ditambah saut 1 (satu) ekor ayam
dan waja/ besi 1 (satu) potong serta diwajibkan
mengembalikan atau mengganti barang yang dicurai sesuai dengan nilai
harga yang berlaku pada saat itu.
Pasal 28
Barang
siapa mengambil barang kepunyaan
orang lain dengan maksud, memiliki
secara melawan hak dan atau adat dan kejadian tersebut dilakukan di luar rumah
orang yang menjadi korban, maka pelaku dikenakan sangsi adat MANGALIT biasa dengan hukuman 1 (satu) garantung raa,
ditambah saut 1 (satu) ekor ayam dan
waja/besi 1 (satu) potong serta diwajibkan mengembalikan atau
mengganti barang yang dicuri,
sesuai dengan nilai harga yang berlaku pada saat itu.
Pasal 29
Barang siapa
mengambil barang kepunyaan orang
lain dengan maksud, memiliki secara melawan hak dan atau adat, baik didalam maupun diluar rumah korban yang sedang MULIT (berkabung), dikenakan sangsi adat
dengan hukuman 4 (empat ) kaletau ditambah saut 1 (satu ) ekar ayam dan
waja/besi 1 (satu) potong, serta diwajibkan mengembalikan atau mengganti barang
yang dicuri, sesuai dengan nilai harga
barang yang dicuri, pada saat perkara itu diadili.
B A B VIII
PENGRUSAKAN
ATAU PEMUSNAHAN
Pasal 30
(1) Barang siapa dengan sengaja merusak dan atau
memusnahkan harta benda milik orang lain dengan cara melawan adat, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 4
(empat ) kaletau, ditambah saut 1
(satu) ekor ayam ditambah waja/besi 1 (satu) potong serta
diwajibkan mengganti atau membayar
kerusakan barang dimaksud, sesuai dengan nilai kerugian pada saat perkara itu
diadili.
(2) Barang
siapa dengan sengaja menebang dan atau merusak tanam tumbuh orang lain dengan
cara melawan adat, dikenakan sangsi
adat dengan hukuman 4 ( empat ) kaletau,
ditambah dengan saut 1(satu) ekor ayam ditambah
waja/besi 1 (satu) potong serta diwajibkan mengganti atau membayar
kerusakan, senilai kerugian tanam tumbuh dimaksud pada saat perkara itu diadili.
Pasal
31
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan
tersebut pada ayat 1(satu) dan ayat 2 (dua) pasal ini,
terhadap harta benda dan atau tanam tumbuh milik orang yang sedang
MAULIT atau APASA atau
berkabung, dikenakan sangsi adat dengan hukuman anam
(6) kaletau ditambah dengan saut 1 (satu)
ekor ayam ditambah waja/besi 1 (satu) potong serta diwajibkan mengganti atau membayar
kerusak
barang atau tanam tumbuh dimaksud, sesuai dengan kerugian pada saat perkara itu diadili.
Pasal 32
Barang siapa dengan sengaja membunuh hewan
atau binatang peliharaan orang lain secara melawan adat, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2
(dua) kaletau, ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam ditambah waja/besi 1 (satu) potong serta
diwajibkan mengganti kerugian, senilai harga hewan atau binatang tersebut pada
saat perkara itu diadili.
B A B IX
KEAMANAN
Pasal 33
(1) Barang
siapa dengan sengaja membuat kekacauan atau keonaran yang mengakibatkan perkelahian dalam suatu gawai atau pesta, dikenakan sangsi adat
MAMBORANG DAUN dengan
hukuman 2 (dua) kaletau.
(2) Barang
siapa melibatkan diri dalam suatu
kekacauan atau keonaran yang mengakibatkan perkelahian dimaksud pada ayat
1(satu) pasal ini dikenakan sangsi
adat dengan hukuman 1 (satu)
kaletau dan 1 (satu ) garantung raa.
Pasal 34
Barang siapa
membuat kekacauan atau keonaran dengan cara MANSAK atau MARANG ARANG atau mengajak orang lain untuk turun
ketanah atau kesuatu tempat lain dengan
maksud berkelahi, dikenakan sangsi adat
MAMUKO dengan hukuman 2 (dua) kaletau ditambah dengan saut 1(satu) ekor ayam
dan waja/ besi 1 (satu) potong.
Pasal 35
Barang siapa
dengan sengaja memasuki atau menaiki
rumah orang lain, baik siang atau malam
hari yang nayata -nyata menurut adat salah dan
dengan maksud jahat, dikenakan sangsi adat MANAITI SAO dengan hukuman 1 (satu) kaletau
ditambah dengan saut 1 (satu) ekor ayam dan waja/besi 1 (satu) potong.
Pasal 36
Barang ssiapa
dengan sengaja memasuki atau menaiki rumah orang lain dimaksud pada pasal 35
Bab IX ini dengan cara merusak pintu, jendela dan atau segala sesuatu didalam
atau di sekitar rumah, dikenakan sangsi adat selain AMBITAN SAO 4 ( empat ) kaletau dan saut 1 (satu) ekor
ayam dtambah waja/ besi 1 (satu) potong
serta diwajibkan mengganti kerugian
sesuai dengan nilai kerusakan, pada saat
perkara itu diadili.
Pasal 37
Barang siapa
melakukan perbuatan tersebut pada pasal
35 dan pasal 36 Bab IX ini dengan cara mengancam, selain belaku ketentuan
sangsi adat yang telah disebutkan pada pasal 35 dan 36 Bab IX ini, dikenakan pula sangsi adat dengan hukuman 1 (satu) kaletau ditambah dengan saut
1(satu) ekor ayam dan waja/besi 1 potong. Tetapi kalau ancaman tersebut dengan senjata
diatambah 2 (dua) kale tau.
Pasal 38
Barang siapa
pada saat memasuki rumah orang lain pada
malam hari tanpa izin, pemilik atau
penghuni dan memasuki untuk maksud
MAINJAMI, secara merusak pintu atau jendela atau benda lain didalam
rumah, dikenakan sangsi adat dengan hukuman selain adat larangan MAINJAMI 2
(dua) kaletau, dikenakan
pula sangsi adat dengan hukuman 1
(satu) kaletau ditambah dengan saut 1 (satu) ekar ayam dan waja/besi 1 (satu)
potong.
Pasal 39
Barang siapa
dengan sengaja menaiki atau memasuki
rumah orang lain, pada malam
hari, dengan membuka kelambu orang yang sudah berkeluarga, tanpa izin pemilik
atau penghuni rumah, dikenakan sanksi adat
LAATAN BIRING ALE dengan hukuman
1 (satu ) kaletau dan 1 (satu)
garantung raa, diatambah dengan saut 1
(satu) ekor ayam dan waja/besi 1 (satu) potong.
Pasal 40
Barang siapa
yang karena alasan mabuk minum-minuman keras mengganggu orang lain seghingga
terjadi keributan atau keonaran, sehingga menyebabkan terganggunya keamanan dan
ketertiban orang lain atau lingkungan,
dikenakan sangsi adat dengan hukuman 1
(satu) garangtung raa.
Pasal 41
Barang siapa
yang membuat keributan, kekacauan atau keonaran sehingga menyebabkan orang
lain terganggu pekerjaannya, atau orang
tersebut menjadi takut dan atau sakit, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2
(dua) kaletau ditambah satut 1 (ekar ) ayam dan waja/besi 1 (satu) potong,
serta diwajibkan mengganti biaya
perobatan kalau sampai korban tersebut sakit dan memerlukan pengobatan.
Pasal 42
Barang siapa
mempunyai keluarga yang BAUNDING ( sakit jiwa ) dan membiarkannya melakukan
perbuatan yang merugikan orang lain,
maka keluarganya dikenakan sangsi adat,
sesuai dengan perbuatan orang yang BAUNDING ( gila) dimaksud.
Pasal 43
Barang siapa
menyuruh anak kecil atau mereka yang masih dibawa umur atau mereka yang
Baunding ( gila ), untuk melakukan
perbuatan yang merugikan orang lain, maka
orang yang menyuruh tersebut dikenakan sangsi adat dengan hukuman
menanggung semua perbuatan dan atau kejahatan orang
yang dimaksud.
B
A B X
PERKAWINAN
Pasal 44
(1) Perkawianan
yang dianggap sah adalah harus berdasarkan
adat baik sebagai budaya maupun sebagai hukum,
sehingga bagi yang beragama Kristen baik
Katolik/ Protetstan, ataupun agama lainnya terlebih dahulu harus menjalankan peraturan
agama yang dianutnya, baru
kemudian melakukan upacara adat.
(2) Untuk
MANDAKAP SUNDAMAN, pihak laki-laki
wajib MANTAT dan atau
MANJALAANG PANYONYOK, kepada
keluarga perempuan , sehingga dengan
demikian maka kedua mempelai dan seluruh
keturunannya berhak mendapatkan persamaan
hak dan dan kewajiban dalam keluarga,
terutama atas harta benda yang tidak bergerak sebagai warisan atau milik
pihak keluarga istri, seperti tanah dan buah-buahan
(3) Panyonyok
tersebut harus berbentuk benda antara lain, badil, garantung/tawak, atau bakam yang sudah diakui nilainya sebagai
barang pusaka atau EMAS MURNI 24
karat yang secara sah ada AYUN ADATNYA atau dengan kata lain dapat
dijadikan ALAS ADAT.
Pasal 45
(1) Perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai pertalian Darah, baru dibenarkan apabila telah pada tingkat
atau keturunan yang ketiga ( sanak ini ) kebawah.
(2) Perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang masih mempunyai pertalian darah pada tingkat atau keturunan yang kedua
( sanak toa), dilarang, dan kejadian yang melanggar ketentuan ini dikenakan
sangsi adat SIALA PALAK ASU karena
perkawinan pada tingkat keturunan kedua
dapat merusak keturunan.
Pasal
46
(1) Pada
dasarnya perkawinan yang berbeda strata / kasta atau golongan dalam masyarakat, sesuai dengan hak azasinya masing-masing, dapat melakukan
perkawinan dengan strata / kasta atau golongan yang mana saja.
(2) Apabila
perkawinan dimaksud pada ayat (1) pasal ini berbeda strata / kasta, namun salah
satu pihak menghendaki adanya persamaan strata/ kasta atau golongan diantara perempuan atau laki-laki, dapat saja
memenuhui ketentuan adat MAMBITI.
(3) Ketentuan
mambiti bagi laki-laki banua yang kawin
dengan perempuan samagat dikenakan
sangsi adat 8 (lapan ) kaletau.
(4) Ketentuan
mambiti bagi laki-laki pabiring yang kawin dengan perempuan samagat dikenakan
sangsi adat 4 (ampat ) kaletau.
(5) Ketentuan
mambiti bagi laki-laki banua yang kawin dengan perempuan pabiring dikenakan sangsi adat 4 (ampat) kaletau.
(6) Ketentuan
dimaksud pada ayat (2), (3), (4) dan ayat (5), pasal ini, terhadap perkawinan
campuran dengan suku bangsa lain yang
tidak jelas asal usulnya, selain
dikenakan sangsi adat MAMBITI dikenakan pula sangsi adat IPITAI, sebagai
URANG 2 ( dua) kale tau.
Pasal 47
(3) Apabila
dalam masa SITAJU (pertunangan)
terjadi pembatalan dan yang
membatalkan itu adalah pihak laki-laki, maka laki-laki tersebut
dikenakan sangsi adat dengan hukuman UNJANGAN
TAJU 2 (dua) kaletau dan PAMALU
orang tua 1 (satu) kale tau serta barang-barang PANAJU, menjadi milik perempuan
atau dengan kata lain tidak dapat
dituntut kembali oleh pihak laki-laki.
(4) Apabila
UNJANGAN TAJU dimaksud pada ayat (2) pasal ini yang membatalkan adalah pihak perempuan,
maka perempuan dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 ( dua ) kaletau, dan barang
PANAJU harus dikembalikan kepada pihak
laki-laki.
Pasal 48
(1) Apabila
dalam suatu masa pertunangan terjadi
perampasan perempuan yang telah
ditunang oleh seorang laki-laki lain, maka keduanya, baik
laki-laki maupun perempuan di kenakan
sangsi adat dengan hukuman POAN TAJU
masing-masing 2 (dua} kaletau, sedangkan perempauan dikenakan
lagi sangsi adat dengan hukuman yang IPO ( dirampas ) 2 (dua)
kaletau ditambah dengan kewajiban
mengembalikan seluruh barang-barang PANAJU ( penunang ) kepada pihak laki-laki TAJU ( tunangannya).
(2) Apabila
dalam suatu masa pertunangan terjadi
perampasan laki-laki yang telah bertunangan, oleh seorang perempuan
maka keduanya, baik perempuan maupun
laki-laki kenakan sangsi adat hukuman SIPOAN TAJU, masing-masing 2 (dua) kaletau, kepada pihak perempuan
TAJU ( tunangnya), sementara pihak
perempuan yang MAMO ( merebut tunang) dikenakan lagi sangsi adat dengan hukuman 2 (dua ) kaletau dan barang-barang PANAJU ( penunang), pihak
laki-laki
yang IPO tadi tidak dapat diambil atau
dituntut kembali dari perempuan yang telah ditunangnya tadi.
Pasal 49
(1) Apabila
seorang laki-laki atau seorang perempuan mengadakan perkawinan, dalam suatu
hubungan darah dengan status panggilan berbeda ( SILALOAN ), maka agar panggilannya SIAROAN, maka salah seorang dari mereka
yang menjadi penyebab atau bila
dikehendaki bagi yang berada pada garis
darah atau keturuan diatas, dikenakan sangasi adat dengan
kewajiban MANGGILINGANG.
(2) Adat MANGGILINGANG dimaksud pada ayat (1) pasal
ini apabila dalam hubugan darah pada tingkat ketiga kebawah (
AMPU ), maka yang ditingkat atas yang
berstatus panggilan BAKI/PIYANG (kakek
atau nenek) dikenakan sangsi adat
MANGGILINGANG 1 (satu) kaletau, ditambah dengan saut 1 (satu) ekor babi,
kepada pihak tingkat dibawanya yang
berstatus panggilan cucu (AMPU).
(3) Adat
MANGGILINGANG dimaksud apada ayat 1 (satu) pasal ini apabila dalam hubungan
darah pada tingkat kedua ( KAMANAKAN), maka yang ditingkat atas yang bestatus
panggilan AMPE/KAMO ( paman/bibi), dikenakan sangsi adat PANGGILINGANG 1 (satu)
kaletau dan 1(satu) garantung raa, ditambah dengan saut 1 (satu) ekor babi
kepada pihak tingkat dibawahnya yang berstatus
keponakan ( KAMANAKAN).
(4) Pertalian
darah yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) pasal ini dikecualikan atau
tidak dibenarkan atas hubugan darah dekat dengan kakek/nenek atau bapak/ibu
kandung , karena itu sudah masuk
Kategori KUDI atau ARABOR.
Pasal 50
Apabila mereka yang masih dalam status suami istri, pindah ketempat tinggal yang baru atau tempat tinggal yang lain
dengan membawa semua harta benda dan
atau barang-barang pusaka yang ada di bilik tempat tinggal mereka yang terakhir, sementara ada orang yang hamil,
dikenakan sangsi adat SAUT BUNTING
dengan hukuman saut, 1 (satu) ekor ayam
dan waja/ besi 1 (satu) potong.
Pasal 51
Apabila dalam BIRING API (rumah tangga), terjadi
perselisihan atau pertengkaran karena sesuatu hal karena kesalah fahaman, dari pasangan suami istri, tetapi tidak
sampai menyebabkan perceraian, namun salah satu pihak dari suami atau istri
tersebut, adalah yang melarikan diri dari rumah atau biliknya, untuk menginap atau bermalam ketempat lain,
makan kepada yang bersangkutan dikenakan sangsi adat MARAJUKANG TINDO atau
MALENGKAANG TINDO dengan hukuman, 1
(satu) garantung raa.
Pasal 52
Apabila ada
pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama sebagai suami istri, tanpa
sebelumnya mendapat pengesahan, baik menurut adat dan atau agama yang mereka
anut, maka mereka dikenakan sangsi adat dengan hukuman 2 (dua) kaletau.
BAB
XI
P E R C E R A I A N
Pasal 53
(1)
Perceraian atas pasangan suami istri yang telah diikat
dengan suatu perkawinan yang sah, baik berdasarkan adat dan atau agama, sama
sekali tidak dibenarkan hanya atas persetujuan kedua belah pihak, kecuali
dengan alasan-palasan yang kuat, sehingga dinilai dan diyakini bahwa perceraian
tidak dapat dihindarkan.
(2) Dalam hal terjadi perceraian
atas pasangan suami istri, sebagaimana dimaksud padal ayat (1) pasal ini, maka
kepada pihak yang menceraikan dikenakan sanksi adat UNJANGAN BAINYE atau UNJANGAN LAKI
dengan hukuman 8 (delapan) kaletau.
Pasal 54
(1)
Apabila kesalahan ada
pada pihak yang diceraikan, maka pihak yang menceraikan berhak
menuntut, sesuai dengan kesalahan yang
diyakini dan telah dibuktikan.
(2)
Apabila kesalahan itu ada pada pihak laki-laki dan
kemudian laki-laki tersebut menuntut
perceraian, maka kepada laki-laki itu
dikenakan sangsi adat dengan hukuman 8
(delapan)
kaletau, ditambah dengan kewajiban
memberikan nafkah atau biaya hidup kepada anak-
anaknya, sampai mereka menjadi dewasa,
dan bila tidak mempunyai anak, maka laki-laki
tersebut wajib memberikan nafkah kepada mantan istri
selama 1 (satu) tahun, serta
menghapuskan hak laki-laki
mantan suami atas harta benda yang mereka
peroleh bersama.
Pasal
55
Apabila
setelah perceraian dan adat perceraian telah dijatuhkan, maka kemudian mereka yang bercerai tadi rukun
kembali, maka kedua belah pihak dikenankan sangsi adat PAMALU TOA ADAT dengan hukuman 2 (dua) kaletau.
BAB XII
PEWARISAN
DAN PEMILIKAN
Pasal 56
(1) Harta
benda, baik yang bergerak seperti BAKAM, TAWAK, GARANTUNG dan lain-lain maupun yang tidak bergerak seperti TANAH
adalah diwarisi oleh generasi berikutnya seperti anak, cucu dan seterusnya.
(2) Harta
benda warisan ada yang dimiliki secara
pribadi ole yang memperolehnya atau yang bersangkutan dan ada pula harta benda yang diwarisi secara
turun-temurun.
(3) Harta
warisan dapat diperoleh dari orang tua oleh anak angkat atau cucu angkat,
asalkan sianak atau si cucu berjanji
PAKADENG atau MATIO BIRING API
atau MATIO TAMATOA.
Pasal 57
(1) Setiap
anak, baik anak kandung maupun anak angkat atau anak kandung yang diangkat oleh
orang tua lain, mempunyai hak untuk mendapatkan
harta warisan dari orang tuanya, walaupun seorang anak telah diangkat anak
oleh orang lain atau pergi merantau, maka sesuai dengan kewajiban orang tua
pada anak atau sesuai dengan hak yang dianggap pantas SIANAK terima
(2) Pada dasarnya harta warisan dibagi rata, namun
yang patut dipertimbangkan adalah bagi
anak yang MANDUDUKI BIRING API atau MATIO TAMATOA kiranya boleh mendapat lebih, sedangkan anak
yang diangkat oleh orang tua lain serta
anak angkat boleh mendapat kurang.
(3) Pembagian
harta warisan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pasal
ini haruslah pula didasarkan pada
kesefakatan yang rasional serta dengan disaksikan oleh para tetua atau Let Adat
setempat.
Pasal 58
(1) Apabila
diantara ahli waris atas harta benda yang dimaksud pada pasal 57 Bab ini ada
diantara mereka menikmati sendiri hasilnya, seperti memiliki sendiri, menjual
sendiri dikenakan sangsi adat dengan hukuman 3 (tiga) kaletau dengan kewajiban,
menarik kembali barang-barang yang telah dijual atau kalau sangat tidak
memungkinkan, maka hasil penjualan harta
warisan dimaksud harus dibagi rata dengan seluruh ahli waris.
(2) Apabila
ada perbuatan menikmati atau menjual sendiri harta warisan
sebagaimana diamksud pasal pasal 57 Bab ini, maka kepada yang berbuat tersebut, selanjutnya dalam pembagian harta
warisan, pembagiannya dikurangi.
BAB XIII
PERTANAHAN
DAN HUTAN
Pasal 59
(1)
Tanah atau Hutan milik bersama dengan milik perorangan adalah bebeda, yaitu dengan mengingat asal usul keberadaan masyarakat Banuaka’ pada
suatu tempat tertentu.
(2)
Tanah atau hutan
bersama yang disebut dengan tanah atau hutan Watas Banua, adalah suatu
kawasan atau wilayah bersama persekutuan masyarakat hukum adat Banuka di
seluruh Batang Labiyan yang diperoleh dengan cara, penemuan atau penalukan
atas Banua Labiyan, oleh nenek
moyang terdahulu, atas suatu Wilayah
atau Banua yang sebelumnya tidak ada
orang tertentu yang mendiami .
(3)
Atas wilayah yang ditemukan atau ditalukan dimaksud
pada ayat (1) terjadilah hak bersma yang
dikenalkan dengan Hak Banua ( sebagai Hak
Ulayat ) dalam atri luas, yang apabila terpecah menjadi wilayah kampung
,akan menjadi hak ulayat dalam arti sempit ( hak kampung ).
(4)
Atas hak milik Bersama
Kampung sebagai Hak Ulayat yang terbatas akan timbul hak perorangan yang
diperoleh dengan mengarap/membuka hutan,
pemberian ( panuangi) atau pembelian dan lain sebagainya.
(5)
Pemilikan tanah dapat pula karena LOLA KABE atas tanah asal yang karena perubahan alam pada
aliran sungai Labiyan dan atau anak sungainya, sehingga menyebabkan tanah
seseorang warga masyarakat Banuaka’ AKABE/longsor sebagian atau seluruhnya, sememtara
tanah pihak lain menjadi bertambah luasnya maka untuk itu demi keadilan, agar
seseorang tidak kehilangan tanah secara total, berdasarkan pertimbangan kemanusiaan,
tanah pihak warga mmasyarakat yang longsor tadi dapat dimiliki kembali dengan LOLA KABE, dengan
cara menarik garis lurus berseberangan dari tanah asal yang longsor keara tanah
warga yang bertambah luasnya tadi, sampai kebatas TIGA/TILING TANA yang
diyakini sebagai penambahan baru.
(6)
Selain ketentuan yang telah diatur dalam Buku ini, maka
dengan mengingat begitu rumitnya,
masalah TANAH pada masayarakat Banuaka’, dapat diatur tersendiri
Pasal
60
Ketentuan atas Tanah dan Hutan
Barang siapa
dengan sengaja menancapkan, mematok ( maundam ) tanah orang lain yang
bertujuan menghina atau mengancam
sehingga perbuatan tersebut dapat
dinilai melawan hak, maka atas perbuatannya orang tersebut dikenakan
sangsi adat MANIKOM dengan hukuman 1 (satu) kaletau dan saut 1(satu) ekor ayam serta waja atau besi 1 potong.
Pasal
61
Barang
siapa tanpa pengetahuan menggarap dan menikmati tanah milik orang
lain, yang dapat dinilai dengan sengaja melawan hak, dikenakan sangsi adat MANGALIT
dengan hukuman 4 ( ampat ) kaletau dan saut 1 (satu) ekor ayam dan waja atau
besi 1 potong, serta diwajibkan,
mengembalikan hasil yang didapat kepada pemilik tanah.
Pasal
62
Barang siapa
dengan sengaja memindahkan, menghilangkan dan atau memusnahkan INTARA sebagai
tanda batas atas tanah dari sesorang atau orang lain, baik batas dengan tanah
miliknya atau batas tanah orang yang satu dengan yang lainnya, dengan cara
melawan adat, baik karena ingin memiliki maupun karena ingin mengacaukan orang
lain, dikenakan sangsi adat 4 (ampat ) kaletau serta kewajiban untuk mengembalikan
INTARA ( batas ) dimaksud pada tempat semula secara tepat dan benar.
Pasal
63
Barang siapa
dengn sengaja membakar tanah milik orang lain, dikenakan sangsi adat dengan
hukuman 4 (ampat) kaletau, ditambah saut
1 ekor ayam dan waja atau besi 1 potong, serta mengganti rugi atas benda yang
terdapat diatas anah terebut.
Pasal 64
Terhadap
penggunaan Tanah untuk bangunan pemerintah, jalan, sarana sosial untuk
kepentingan umum, dan atau bersama, maka yang bersangkutan berhak mendapat
ganti rugi yang wajar, namun tetap
dibedakan dengan penggunaan tanah untuk keperluan swasta atau
perusahaan dimana pemilik berhak
mendapat ganti rugi, berdasarkan situasi dan kondisi setempat yang didasarkan
atas kesefakatan bersama yang saling menguntungkan.
Pasal
65
Barang siapa
dengan sengaja membuat suatu kegiatan yang bersifat mengganggu dan atau membuat
suatu kegiatan, dengan maksud melawan adat diatas tanah milik orang yang MAULIT ( berkabung),
sehingga orang yang MAULIT merasa terganggu atau terusik dan atau
dirugikan, dikenakan sangsi adat dengan
hukuman 4 (empat) kaletau dan MALEMBAK ULITAN 2 (dua) kaletau.
Pasal 66
Tanah dan Hutan Milik Bersama
(1)
Tanah dan hutan milik bersama seluruh masyarakat dalam
suatu kawasan pemukiman baik dalam SAO
LANGKE / rumah betang panjang maupun masyarakat dalam suatu kampung, dusun atau
desa
atau suatu
BANUA, adalah merupakan HAK BANUA atau hak bersama, yang sama artinya dengan
HAK ULAYAT atau HAK-HAK SERUPA ITU, yang meliputi suatu kawasan hutan, tanah, air dan ruang angkasa tertentu
dari masyarakat BANUAKA.
(2)
Berkenaan dengan status TANAH, HUTAN dan atau AIR serta
RUANG ANGKASA maupun ISINYA adalah milik
BANUA atau milik bersama, maka barang
siapa yang akan menggarap atau memanfaatkannya, harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan, dari seluruh persekutuan masyarakat adat BANUAKA yang berhak
atas BANUA atau wilayah dimaksud.
Pasal
67
Danau dan Sungai
Barang siapa yang secara melawan
hukum melakukan kegiatan meracun atau
menuba dan menyetrum ikan dan binatang lain
didalam air danau atau air sungai
, dikenakan sangsi adat dengan hukuman 8 ( delapan) kaletau , disamping
mengganti seluruh kerugian yang ada akbibat perbuatan dimaksud.
BAB XIV
ADAT
KEMATIAN
Pasal
68
Membuat
Peti Mati
(1)
Apabila sesorang meninggal maka pembuatan LUNGUN atau peti mati dikerjakan secara
bersama-sama atau gotong royang, dimana
pihak yang kematian tidak diwajibkan menjamu para pekerja atau pelayat.
(2)
Dalam hal menangani pekerjaan yang berkenaan dengan
adat, maka tidak harus semua pekerja
yang MANGGULUNGI KARAJA yang
IADATI, tetapi cukuplah untuk mereka atau orang yang MARATASANG atau MAULUANG KARAJA
yang IJARATI dengan JARAT TANGAN
TALI TANANG dan atau TOLANG MANIK, serta
IDAUNI DAUN SAKALA.
(3)
Ketentuan DAUAN
SAKALA cukuplah hanya 1 (satu),
dilengkapi dengan pulut suman
yang panjang 8 batang, yang pendek 8 batang, kalame bulat 8 butir, yang bulat panjang
1 batang serta dilengkapi
dengan jajar bawi.
(4)
Ketentuan dimaksud ayat (1), (2) dan (3) pasal ini dapat dikecualikan bagi yang tidak
mampu dan sekali-kali tidak boleh dipaksakan.
(5)
Penyampaian berita
duka atas kematian sesorang untuk
kaum kerabat ditempat tinggal atau kampung lain, seharusnya membawa “DARA SURI” yaitu daun suri yang dilumiri darah ayam, kalau
keadaan menungkinkan.
Pasal 69
Upacara pemakaman
(1)
Jika sesorang, meninggal dunia dapat dilakukan
upacara MANABA sebagai tanda atau
pemberitahuan bahawa ada orang yang meninggal dan jenazah, segera untuk dimakamkan
pada kuburan umum yang telah ditentukan atau
KULAMBU BANUA BAYU.
(2)
Tahapan
adat pengurusan jenazah setelah
orang meninggal ( AKATU BATAKNYAWANA ),
antara lain sebagai berikut :
a.
Jenazah dibersihkan, diganti pakaiannya/ iparayui,
b.
Idunjur, disertai dengan taba tau mate dan
didoakan sesuai dengan agamanya,
c.
Pemberi tahuan kepada sanak saudara dan atau kaum
kerabat
d.
Pembuatan lungun
e.
Mandaas
f.
Maulit
g.
Marak Tata
Pasal
70
M a n d a a s
(1)
Mandaas adalah suatu aktifitas
MAMPITI atau melayat orang yang kematian
dengan maksud
memberikan penghiburan dan berdoa,
bagi yang meninggal atau keluarga
yang ditinggalkan.
(3)
Kegiatan MANDAAS
dilakukan pada waktu jenazah belum dikuburkan, karena upacara itu
adalah MANDAAS LOA
TAU MATEEN, jadi bukan suatu pesta, sehingga oleh karena itu jangan terkesan dipaksakan atau memaksakan diri,
sehingga harus ditunda menunggu
kemampuan ekonomi keluarga orang yang meninggal. Pemikiran seperti ini keliru, jadi harus diubah.
(4)
Kegiatan dan
upacara MANDAAS harus dibedakan dengan kegitan MARARAK
TATA, atau
acara kematian lainnya.
Pasal 71
Maulit atau Berkabung
(1)
Masa MAULIT atau berkabung ditetapkan paling lama 1
(satu) bulan dan atas pertimbangan tertentu
dapat dipersingkat menjadi 2 ( dua) minggu atau kurang .
(2)
Ketentuan masa MAULIT atau berkabung dimaksud ayat (1)
diatas berlaku bagi semua golongan masyarakat dengan tidak membedakan
derajatnya.
(3)
Untuk menghormati dan sebagai pernyataan bela sungkawa,
maka selama masa maulit seluruh warga dalam kampung, suatu pemukiman
persekutuan masyarakat adat tertentu dilarang mengadakan acara keramaian atau
pesta, dilarang MANABA atau membunyikan bunyi-bunyian seperti garantung,tawak,
bobondi, tatabao/ kakalentang, gendang,
tumba, kakangkuang. Sedangkan pakaian
dan dan alat elektronik seperti radio, tiperikorder dan televisi, tidak
dilarang sepanjang tidak melewati batas keluarga yang MAULIT atau berkabung.
72
Manyurambi
Adat MANYURAMBI atau MAULAMBU adalah merupakan suatu upacara adat yang tertinggi dalam masyarakat
Banuaka’, yaitu suatu upacara yang
berkenaan dengan kegiatan untuk
menghormati orang yang sudah meninggal dengan
memperbaiki dan atau membuat kuburan, namun demikian dalam
pelaksanaannya supaya diupayakan sesederhana mungkin, jangan sampai meberatkan atau terkesan pemborosan, yang penting tidak
meninggalkan nilai-nilai adat dan budaya yang seharusnya ada.
73
Mararak
Tata
Upacara adat MARAK TATA atau mengakhiri masa berkabung yang
dahulu ditandai dengan MARARAM ULU atau merendam tengkorak manusia, sekarang
tidak perlu lagi, tetapi cukup dengan memancangkan BULO SAANG dan DAUN TANDUK TUAK di DAMPEAN SUNGE, dan
menghantarkan karangan bunga kemakam
serta berdoa bagi orang yang sudah
meninggal dan keluarga yang ditingalkan.
BAB
XV
ADAT PATAUNAN
Pasal 74
(1)
Adat PATAUNAN
yang berkenaan dengan masa waktu
ALAO ARUMA atau masa
mulai kegiatan
berladang atau bersawah maupun MALAO
BANYIA diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat itu
masing-masing baik dibawah bimbigan dan atau
tidak TOA-TOA Adat atau para akhli pertanian.
(2)
Untuk menghindarkan kegagalan panen karena
serangan hama dan atau penyakit,
sebainyak kegitan perlu diulai serentak, terutama masa tanam.
Pasal 75
Pamole Beo
(1)
PAMOLE BEO adalah suatu tradisi dimana selama 1 (satu )
tahun berkerja di ladang atau disawah
masyarakat Banuaka’ MAUMPAN KARUE, memanggil arwah leluhur atau nenek moyang
untuk menjaga, untuk menolong bekerja, yang baik disadari atau tidak kadang kala
selama satu tahun berkerja ada
hal-hal yang kurang enak didengar atau dialami seperti mendengar suatu
pertanda alam, binatang dan lain
sebagainya yang diyakini sebagai suatu alamat, baik atau buruk, umpamanya kalau
mendengar binatang KIJANG, suatu pertanda tidak baik, sebaliknya mendengarkan burung ANDAK
disebelah kiri dan kemudian disebelah
kanan secara bersaut-sautan, sebagai
suatu pertanda yang baik, atau mendengar bunyi BURUNG ANTIS SAKAKAR
berturut-turut, sebagi pertanda tidak baik, dan lain sebagainya. Jadi dengan
adanya kedaan yang demikian secara physikologis berpengaruh pada masyarakat
Banuaka’ dan diyakini bahwa keseimbangan
alam gaib ( relegio magis ) telah
terganggu.
(2)
Untuk mengatasi atau mewujudkan kebiasaan tersebut pada
ayat (1) pasal ini dan sebagai upaya
mengembalikan keseimbangan alam gaib ( relegio magis), diyakini caranya ialah
melalui suatu upacara ADAT yang disebut PAMOLE BEO dan sekaligus, sebagai upacara ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, sebagai Sampulo Padari dan Kunyanyi.
(3)
Bagi masyarakat Banuaka’ yang beragama Kristen/
Katholik dilaksansankan setahun sekali,
sesudah panen ( TADANG MATAAM ) secara sederhana sebgai
PAMOLE BEO SARANI yaitu bertepatan dengan Hari Raya Pentekosta.
(4)
Untuk PAMOLE BEO ADAT
yang bernilai budaya dan seni
sebagai ucapan syukur kepada Sampulo Padari, Kunyanyi sang leluhur, yang
dihubungkan dengan keadaan alam gaib atau relio magis, pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing
kampung dan atau para toa-toa atau- let-let adat, namun disarankan sebaiknya
semua kampung seretentak melaksanakan
pada tanggal 20 Mei
sampai dengan tanggal 5 Juni,
setiap tahunnya.
(5)
Pengaturan serentak dimaksudkan agar tidak mengganggu PATAUNAN yaitu masa
atau kalender kerja pertanian berikutnya.
BAB XVI
PENUTUP
Pasal 76
Semua
ketentuan yang ada terdahulu dan
mengatur hal atau materi yang sama
serta bertentangan dengan yang ada didalam Buku ini ,
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
77
Hal-hal yang
belum dan atau belum cukup diatur dalam
Buku ini, menjadi kewenangan masyarakat adat
Banuaka’ terutama para Let Adat
untuk mengaturnya secara musyawrah dan mufakat,
sesuai dengan keyakinan dan hati
nuraninya masing-masing.
Pasal
78
Semua
ketentuan dalam Buku ini mulai berlaku sejak dan atau pada tanggal ditetapkan
oleh Tamanggung dan para Let Adat
dalam Wilayah Ketamanggungan Labiyan.
Ditetapkan
di Ukit-ukit
Pada
tanggal 4 Agutus 2002
LET ADAT BANUAKA DI LABIYAN
KECAMATAN BATANG LUPAR
KABUPATEN KAPUAS HULU
PROPINSI KALIMANTAN
BARAT- INDONESIA
TAMANGGUNG
SAMAGAT JACOBUS F. LAYANG, BA.,SH
WAKIL TAMANGGUNG SEKRETARIS TAMANGGUNG
SAGAAN
DONITIUS JOHN
KETUA LET ADAT BAKUL KETUA LET ADAT UKIT-UKIT
LEO PAMEANG STEFANUS
TAUWE
KETUA LET ADAT TUMBALI
KETUA LET ADAT NGAUNG
MUNSANG PAULUS
KETUA LET ADAT GANTI KETUA LET ADAT KAPAR TAKALONG
YOSEP PAIMBA
JOHN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar