Pengkuan Hak ulayat sebagai upaya menghidarkan konflik demi kesejahteraan masyarakat
bangsa dan negara
Oleh :Jacobus F.Layang,BA.,SH.,MH
Pontianak, 30 November 2012
Sampai saat ini dimana-mana masih
saja terdengar konflik masalah tanah khusus di Kalimatan Barat, baik antara pemerintah
dengan masyarakat maupun antara pengusaha dengan masyarakat persekutuan Hukum Adat pemilik dan atau penguasa
hak atas tanah milik adat perorangan atau hak komunal yaitu hak ulayat.
Hak Ulayat atau Hak-hak yang Serupa itu, yaitu hak atas tanah
banua/menua sebagai watas komunal masyarakat persekutuan hukum adat memang ada seiring
dengan keberadaan masyarakat adat sebagai kelompok suku
bangsa penguasa dan pemilih hak ulayat, bahkan sebagian besar hak dan masyarakat adat sebagai kelompok suku
bangsa dimaksud sudah ada bahkan lebih dahulu adanya dari pada Proklamasi Kemerdekaan NKRI atau Undang-undang Dasar 1945.
Dengan landasan utamanya adalah Hukum adat yang merupakan norma atau kaidah
yang dijadikan pedoman dalam setiap penyelesaian semua masalah yang timbul dalam masyarakat secara adil, damai
dengan dinilai yang selalu memberikan manfaat, terutama dalam mengatur peruntukan dan atau pemilikan tanah milik adat perorangan maupun hak milik adat komunal serta
dalam hal meneyelesaikan sengketa adat oleh Lembaga Adat dalam pemakaian tanah dan atau pengambilan hasil
hutan yang ada dalam hak ulayat, dan lain sebagainya.
Lemabaga adat dan Pemangku/fungsionaris adat yang sangat berperan memelihara, dan mempertahankan serta menerapkan hukum adat, secara demokratris, dalam wilayah-wilayah atau kawasan pemukiman sebagai bagian dari hak ulayat.
Sementara itu pihak lain yang seharusnya ikut bertanggung jawab adalah Pemerintah sebagai lembaga legeslasi yang menjalankan politik hukum, seperti Bupati maupun DPRD yang mempunyai hak legislasi, sebagai Kepala Pemerintahan dan atau sebagai penyelenggara urusan Otonom. Dimana menurut Peraturan Menteri Negara/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 yang memberikan kewengan kepada Bupati untuk membentuk PERDA penegasan Hak Ulayat jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 yang memberikan pengakuan akan keberadaan Hukum adat dan Pemangku/ Fungsionaris Adat sebagai Good will Pemerintah, karena bila di lihat dari kewenagan, baik kewenangan pangkal maupun kewenangan tambahan, maka kewenang tersebut memang ada pada pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kabupaten.
Dimana seyogianya sejak tahun 1999 Pemerintah Daerah, khusunya DPRD dengan hak inisiatipnya telah membuat Perda tentang penegasan hak ulayat atau hak-hak serupa itu sebagai hak banua/manua menjadi watas komunal masyarakat persekutuan hukum adat. Namun demikian walaupun telah 9 atau 10 kali mengikuti Pemilu dan telah ada 10 periode DPRD belum pernah ada upaya dari DPRD untuk membuat Peraturan Daerah tentang Pengakuan hak ulayat.
Lemabaga adat dan Pemangku/fungsionaris adat yang sangat berperan memelihara, dan mempertahankan serta menerapkan hukum adat, secara demokratris, dalam wilayah-wilayah atau kawasan pemukiman sebagai bagian dari hak ulayat.
Sementara itu pihak lain yang seharusnya ikut bertanggung jawab adalah Pemerintah sebagai lembaga legeslasi yang menjalankan politik hukum, seperti Bupati maupun DPRD yang mempunyai hak legislasi, sebagai Kepala Pemerintahan dan atau sebagai penyelenggara urusan Otonom. Dimana menurut Peraturan Menteri Negara/ Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 yang memberikan kewengan kepada Bupati untuk membentuk PERDA penegasan Hak Ulayat jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 yang memberikan pengakuan akan keberadaan Hukum adat dan Pemangku/ Fungsionaris Adat sebagai Good will Pemerintah, karena bila di lihat dari kewenagan, baik kewenangan pangkal maupun kewenangan tambahan, maka kewenang tersebut memang ada pada pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Kabupaten.
Dimana seyogianya sejak tahun 1999 Pemerintah Daerah, khusunya DPRD dengan hak inisiatipnya telah membuat Perda tentang penegasan hak ulayat atau hak-hak serupa itu sebagai hak banua/manua menjadi watas komunal masyarakat persekutuan hukum adat. Namun demikian walaupun telah 9 atau 10 kali mengikuti Pemilu dan telah ada 10 periode DPRD belum pernah ada upaya dari DPRD untuk membuat Peraturan Daerah tentang Pengakuan hak ulayat.
Kesimpulan:
1. Bahwa hak ulayat atau
hak-hak serupa itu, sebagai hak banua/watas komunal
masyarakat presekutan hukum adat di Kalimanan
Barat memang ada. Numun sampai saat ini di Kalimantan Barat terutama di
Kabupaten-kabupaten belum ada Perda yang mengatur penegasan Hak Ulayat atau
hak-hak serupa itu, sebagai hak banua/watas komunal masyarakat persekutuan
hukum adat.
2. Bahwa DPRD yg mewakili
rakyat belum dapat membuktikan keberpihakanya pada masyarakat kecil penguasa
dan pemilih hak ulayat atau hak-hak serupa itu
sebagai hak banua/menua menjadi watas komunal masyakat persekutuan hukum
adat.
3. Bahwa konflik itu dapat saja
dihindarkan apabila ada goodwill pemeriatah yaitu dengan memberikan penegasan
pengakuan akan hak masyarakat Hukum Adat atas tanah milik adat, baik perorangan
maupun komunal.
Saran
1. Untuk kesejahteran
masyarakat, yang terikat pada satu negara yaitu NKRI
Pemerintah perlu segera
menegasakan pengakuan keberadaan hak ulayat atau hak-ak serupa itu sebgai hak
banua/ menua menjasi watas komunal masyarakat persekutuan hukum adat.
2. Untuk mewujudkan arti
sebagai wakili Rakyat DPR disatu pihak harus mampu mendorong daerah mengambil insistif dan dilain pihak DPRD perlu membentukan Perda yang
berpihak pada masyarakat penguasa atau pemilik hak ulayat atau hak-hak serupa
itu menjadi hak banua/watas komunal masyarakat persekutaun hukum adat setempat
3 Potensi hak ulayat atau
hak-hak serupa itu sebagai hak banua/menua menjadi watas komunal masyarakat
persekutuan hukum adat, perlu diupayakan sebagai upaya menumbuhkan, “sence of
capability, sence of responsibility dan sence of belonging” (kemampuan,
tanggung jawab dan rasa memiliki) pada
daerah.
4. Jangan pernah ada upaya
untuk menggugurkan hak milik adat ke HGU (Hak Guna Usaha), karena itu akan menjadi salah satu sumber konflik yang sangat berbahaya, sebab itu akan menghapuskan
hak masyarakat adat atas tanah-tanah mereka.
5. Setelah kepemilikan tanah
dikukuhkan dengan Peraturan Daerh maka harus di ciptakan suasana saling
menguntungkan antara masyarakat pemilik tanah adat dengan pengusaha yaitu wind-wind solution
atau dengan pembagian saham 60 %
pengusaha, 5 % pemerintah, dan 35 % masyarakat pemilik tanah adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar