B A B I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang Masalah
Adanya hak ulayat atau hak-hak serupa
itu ( hak menurut Undamg-umdang No.5 Tahun 1960) juncto Peraturan Menteri
Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, apabila ditelusuri sejarah keberadaan suku –
suku bangsa yang ada di Kalimanatan
Barat ini, tentunya tidak dapat dipisahakan
dengan adanya masyarakat itu sendiri khususnya yang diidentifikasikan sebagai,
suku bangsa Dayak ( penggunaan kata Dayak dengan “k” adalah hasil Seminar
Nasional Kebudayaan Dayak 1992 di Pontianak, sedangkan yang sebelumnya menurut F.C.
Palaoensoeka berdasarkan keputusan
Konggres Partai Persatuan Daya’ Tahun 1947 di Sanggau, sebagaimana diumumkan
dalam Surat Kabar Keadilan di KaliamnatanBarat, penulisan Daya’ tanpa
menggunakan “k” ).
Masyarakat suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat yang telah ada sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tinggal tersebar luas
keseluruh wilayah, dipastikan sudah tinggal disuatu tempat tertentu, sebelum
ditetapkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Dasar Agraria
yang selalu dijadikan sebagai dasar penilain bagi ada tidaknya hak-hak atas
tanah, termasuk hak ulayat (kata “ulayat” sama dengan kata “wilayat” yang
berarti “wilayah”: Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta: 1976).
Bahkan ada beberapa kelompok suku bangsa Dayak yang telah tinggal di
Kalimantan Barat sebelum penjajahan Belanda, atau bahkan sebelum pada jaman
Hindu, yang dapat dibuktikan dengan penemuan situs Hindu di Nanga Balang
Kecamatan Kedamin, Kapuas Hulu dan di Nanga Mahap Kabupaten Sekadau. Atau kalau
ditelususri kedatangan suku bangsa Dayak
ke Kalimantan dari Indocina, yaitu dari : Hindia Belakang (Mongolia ) dan secara besar-besaran dari Provinsi Yunan
( China Selatan ) dan juga dari kepulauan Formosa, Taiwan, yang datang kira –kira pada 3000 – 1500 tahun
SM ( H.J. Mallincrodt, W. Stohr. Tjilik Riwut, Raymond Kennedy, Bernard
Sellato), ( Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada masyarakat Adat Dayak
di Kalimantan, Tim Lapera: Reformasi Agraria: 2001: hal 394) dan
juga Mgr.Mikael Commans dalam bukunya ( “ Manusia Daya, Dahulu,
Sekarang dan Masa Depan, Gramedia Jakarta 1987”) mengemukan hal yang sama.
Sejak keberadaan mereka pada
wilayah (ulayat) masing-masing dimaksud mereka telah menemukan wilayah (
ulayat), yang menurut suku bangsa Dayak Embaloh ( Banuaka’) di Kapuas
Hulu, adalah atas karunia “Sampulo
Padari” ( sang Pencipta ), yang bermula dari “Kunyayi Tau Jolo” (nenek moyang
), yang dalam bahasa Iban
disebut Batara. Kananayat’n Jubata, atau yang lain menyebutnya
Allahtatalah, yang menjadikan mereka menguasai dan atau menduduki wilayah tertentu, baik karena penalukan, maupun karena pemberian suatu kawasan dan
atau wilayah ( ulayat ), oleh suatu kelompok kepada kelompk yang lain, sebagai “hak
banua (Banuaka’), menua (Iban), binua (Kanayat’n) atau hak benua (pada suku bangsa Dayak
lainnya)”. Yang maknanya sama
dengan hak- hak serupa itu, yaitu suatu konsep dimana satu kawasan hutan
adalah miliki bersama seluruh warga, tetapi dapat saja diusahakan oleh perorangan
untuk perladangan dan perkebunan dengan persetujuan seluruh warga masyarakat
persekutuan hukum adat yang bersangkutan, karena pada prisipnya bahawa dalam
suatu kehidupan yang bersahaja, tanah dan kawasan hutan adalah menyatu denga
warga masyarakatnya, sebagai suatu kesatuan lingkungan yang satu sama lain
sampai suatu kurun waktu yang tidak terbatas tidak terpisahkan, terutama dengan alam gaibnya (relegio magis).
Walaupun percisnya istilah
ulayat yang sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk tidak mengakui
keberadaan hak banua, hak benua, han binua, atau hak menua sebagai watas
komunal masyarakat persekutuan hukum adat yang nmerupakan “hak-hak
serupa itu dari masyarakat hukum adat”.
Sedangkan
jika ditelusuliri melalui peran sejarah dan politik hukum di
Indonesia: jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945 atau yang diakui secara konstitusional adalah
sebelum tanggal 18 Agustus 1945 sebagai saat ditetapkannya Undang-undang
Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, statemen
untuk mejadikan Hukum Adat sebagai dasar pemersatu bangsa, telah
lahir bersamaan dengan Statemen Satu
Nusa ( Tanah Air Indoensia ) , Satu Bangsa
( Bangsa Indonsia ) dan Satu Bahasa ( Bahasa Indoensia ), yaitu
sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober
1928.
Selanjutnya dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Negara, sebagai salah perwujudan tuntutan
kemerdekaan dan tanggung jawab pemerintah kepada warga bangsa Indonsia, secara
Nasional pada tanggal 24 Septermber 1960,
telah ditetapkan Undang -undang No. 5 Tahun 1960, tentang Pokok-pokok
Dasar Agraria, ini suatu langkah maju bahwa secara histories, politik hukum
Inonesia telah menembus tatanan hukum Agraria Kolonial ( Agrarischwet).
Salah satu ketentuan yang penting adalah masalah pengakuan Hak Milik Adat dan Hak
Ulayat sebagai Hak-hak
serupa itu tentang tanah sebagiamana bunyi pasal 2 ayat (5).
Demikian pula Tahun 1999 Menteri Negara
Kepada Badan Pertanahan Nasional, telah menetapkan Peraturan No. 5 Tahun 1999,
yang secara tegas mengatur keberadaan Tanah Milik Adat dan hak ulayat sebagai hak-hak serupa itu.
Namun sayang statemen atau
keputusan Politik Pengusa Negara yang telah mendapat mandat dari Rakyat, baik
sebagai unsur Legestatif maupun
Eksekutif, selalu diabaikan oleh para
penyelenggara Negara, tertutama pada
tingkat daerah, baik Provinsi maupun
Kabupaten/ Kota, sehingga masalah Hak Milik Adat/ Hak Ulayat atau
Hak-hak Serupa itu, menjadi permasalahan
yang tidak akan penah berakhir, atau “memang tidak perlu diakhiri baik
secara Nasioanal, maupun Regional/ Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota?”
Bahkan masih ada kecendruangan dari Pemerintah bahwa untuk penguasaan
tanah bagi perusahaan, permerintah masih mempertahankan kebijaksaan Pemerintah
Orde Baru yang menerbitkan:
….. “serangkai peraturan
perundang-undangan yang menyediakan berbagai fasilitas dan sarana, untuk
memudahkan dan memastikan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah-tanah yang
diperlukan.
Tanah-tanah tersebut umumnya
merupakan tanah-tanah milik rakyat kecil tani dan perkotaan serta tanah-tanah
hak ulayat masyarakat hukum adat yang berupa hutan.” ( Prof. Boedi Harsono, SH,
Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat,
Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah, Reformasi Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional , SekolahTinggi
Pertanahan Nasional : 2001: hal 44 ).
B. Rumusan Masalah
“Sebagaiamana diketahui biarpun
menurut kenyataanya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di
dalam keputusan-keputusan hakim, namun belum pernah ada hak ulayat
tersebut yang diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat
bahwa di dalam melaksanakan peratruan-peraturan agraria hak ulayat itu sejak
awal kemerdekaan, atau khusus untuk Kalimatan Barat sejak pengakuan intergrasi
tan9gal 24 Mei 1950, eksistensi hak masyaraat adat atas tanah dimaksud, sering kali diabaikan.
Oleh karena itu berhubung dengan
disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang Pokok Agraria yang pada hakekatnya
berarti pengakuan,,dimana pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan? Tetapi “sepanjang hak tersebut menurut
kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan”.
Misalnya di dalam pemberian suatu hak atas tanah (hak guna usaha) masyarakat
hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “ recognitie,” yang memang ia berhak
menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu” ( Penjelasan Umum II. Angka
3 UU No. 5 Tahun 1960 ), lalu :
- Apakah hak ulayat atau hak-hak serupa itu di Kalimantan Barat memang ada? Dan kalau memang ada Hak Ulyat atau Haka-hak serupa itu, apa nama yang dikenal umum, terutama pada masyarakat persekutuan hukum adat suku bangsa Dayak ?
- Apakah hak ulayat atau hak-hak serupa itu, sebagaimana yang di kehendaki dalam Peraturan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 199, telah ada peraturan Pemerintah Daerah yang mengatur ?
- Apakah DPRD sebagai Lembaga Legislasi Daerah, telah melakukan hak inisiatipnya dalam pembuatan Peraturan Daerah, tentang hak ulayat atau hak-hak serupa itu?
C. J u d u l
PENGAKUAN HAK ULAYAT OLEH PEMERINTAH HANYALAH WACANA MIMPI BURUK PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA DAYAK DI KALIMANTAN BARAT
D. Tujuan Penulisan
- Untuk mendalami materi kuliah Hukum Pertanahan, pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura.
- Untuk mengetahui sejauh mana Reformasi Hukum dibidang Pertanahan, khususnya terhadap sejarah dan politik hukum Pemerintahan Orede Baru yang untuk penguasaan tanah bagi perusahaan, Permerintah menerbitkan serangkai peraturan perudang-udangan yang menyediakan berbagai fasilitas dan sarana, untuk memudahkan dan memastikan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah-tanah yang diperlukan. Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan tanah-tanah milik rakyat kecil, tani dan perkotaan serta tanah-tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang berupa hutan.
- Untuk mengetahui dan atau mengenal apakah keberadaan hak ulayat atau hak-hak serupa itu, terutama pada masyarakat suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat, hak-haka dimaksud dikenal.
- Untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab Pemerintah khusunya Pemerinnta Daerah di Kabupaten-kabuapten terutama DPRD, dalam pelaksanaan Pasal 5 Peraturan Menteri Negara /Kepala Badan Pertananahan Nasional No. 5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat juncto Surat Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 24 Juni 1999 No. 400-2626, khususnya ketentuan angka 3 yang menyerahankan kewenangan dan /atau meminta kepada Pemerintah Daerah untuk meneliti dan menetukan keberadaan hak ulayat atau hak-hak serupa itu dengan Peraturan Daerah.
E. Metode Kajian Penulisan
Untuk mengumpulkan data guna
mendukung penulisan makalah ini digunakan metode kajian hukum normative, yaitu
studi kepustakaan.
F. Tinjauan Pustaka
- “Ketentuan- ketentuan hukum yang diadakan untuk melindungi hak dan kepentingan para pemilik tanah tidak jarang ditafsirkan menyimpang dari hakikat eksistensinya. Penguasa-penguasa Daerah ditafsirkan sebagai Pejabat yang berwenang secara sepihak menetapkan bentuk dan jumlah ganti kerugian”….”Dibiarkan para pemegang izin lokasi menggunakan berbagai cara fisik dan psikologis dalam menekan dan memaksa para pemelik tanah untuk merelakan tanahnya diambil penguasa pemegang izin lokasi. Salah satu produk hukum pertama Pengausa Orde Baru adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam prakteknya Undang-undang tersebut juga menimbulkan kenyataan perlakukan yang tidak adil pada masyarakat-masyarakat hukum adat dan warganya, yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Penguasaan Hutan kepada Pegusaha.” ( Prof. Boedi Hasonoo, SH, Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah, Reformasi Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Sekolah Tingggi Pertanahan Nasioanal: 2001: hal 46).
- Sejalan dengan politik hukum di Indonesia, penjajah sendiri mau mengakui keberadaan Hak Adat itu, seperti yang terjadi pada:
..…” tanggal 1 Mei 1848 jaman Hindia Belanda, telah
diberlakukan undang-undang baru (
nieuwe wetgeving) sebagai wujud awal
POLITIK HUKUM ( bewuste
rechtspolitiek)…..”….. “dapatlah dipandang sebagai permulaan hikmat (
politik) hukum pemerintah Belanda yang diinsafkan terhadap bangsa
Inodonesia”…..” Dengan uraian diatas, yang menunjukan bahwa adalah hal yang
beralasan, jika kita memandang tahun
1848 sebagai saat terlahirnya masa baru didalam sejarah hikmat hukum
pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia,….” …..” Sedang hikmat hukum didalam
arti yang terbaik bermaksud untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat Indonesia
dengan jalan mengadakan peraturan-peraturan yang dapat memenuhui kebutuhan
rakyat tadi…..”…..” Akan tetapi, berbahagia untuk hukum adat, nampaklah
kemudian perubahan didalam sikap pemerintah Belanda. Lambat laun dapatlah ilmu
hukum adat memperoleh kemenangan didalam
untuk terus menerus menganjurkan-anjurkan arti hukum adat terhadap serangan
dari luar.”…..” karena hukum adat adalah
hukum yang bertumbuh nyata dari masyarakat bangsa Indonesia….”…..” maka
teranglah, bahwa sekarang hukum adat menjadi pusat perhatian pemerintah Belanda
didalam usahanya untuk menjalankan politik hukum terhadap bangsa Indonesia.”
(Prof. DR. R. Supomo dan Prof. MR. R Djokosutono : Sejarah Politik Hukum Adat: 1954: Hal 3,5, 6 dan 7 ).
3.
Sumpah Pemuda tangal 28 Oktober 1928, selain membuat pengakuan bertanah air
satu, tanah air Indonesia, berbangsa satau, bangsa Indonesia, dan
berbahasa satu, bahasa Indonesia juga mengaku adanya Hukum Adat di
Indonesia.
- Undang-undang D 1945, Pembukaan alinea keempat yang menyatakan :….” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum…..” …..” …..serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…..”.
- Demikian pula dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen pernah mengisyaratakan bahwa salah satu norma yang hidup dan akan hidup dalam masyarakat adalah Hukum Adat atau Adat Istiadat.
- Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Pasal 3, menyatakan bahwa : Dengan mengingat ketentuan – ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat –masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyaatannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang- undang dan perturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sedangkan pada Penjelasan Pasal 3: Yang dimaksud “ hak ulayat dan hak-hak serupa itu, “ ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut “ beschikkingsrechts……” Demikian pula Penjelasan Umum II. Dasar –dasar dari hukum agraria nasional angka (3) Bertalaian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka di dalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan - kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukan hak itu didalam tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa: Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentinggan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
- Ketentuan lain dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 seperti pada Pasal 5, bahwa : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama. Serta ketentuan Penjelasan Umum III Dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum, berbunyi:
(1). …..” Undang-undang Pokok Agraria
bermaksud menghilangkan dualisme itu dan
secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum ,sesuai dengan keinginan rakyat
sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula
dengan kepentingan perekonomian. Dengan
sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh
karena rakyat Indoensia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum
agraria yang baru tersebut akan didasarkan
pula pada ketentuan- ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan
sesusai dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam
hubungannya dengan dunia internasional, serta sesuai dengan sosialisme
Indonesia.
7.TAP MPR No. XVII/MPR/ 1998, menyatakan
bahwa : Identitas budya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangna zaman.
8. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asas Manusia, Pasal 6, menyatakan bahwa: (1) Dalam rangka penegakan
hak asasi manusia perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum masyarakat, dan pemerintah. Demikian
pula (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan zaman.
9. Sedangkan Penjelasan pasal 6, (1) Hak
adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan
masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilingdunngi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak
asasi manuisia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum
dan peraturan perundang-undangan. Sementara (2)Dalam rangka penegakan hak asasi
menusia, identitas budaya masyrakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara
nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilingdungi sepanjang
tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
10. Undang-undang No. 41 Tahun1999
tentang Kehutanan, dalam pasal 4 ayat
(3) menyatakan bahwa: Penguasan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyatakat hukum adat, sepanjang kenyataannya
masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional. Sedangkan pasal 5 ayat (2) menyatakakan bahwa: hutan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
11. Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pada konsidean menimbang
menyatakan : a. bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak
ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada
kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang No.5 Tahun 1960…..”
Sedangan konsideran menimbang huruf: b.
bahwa dalam kenyaatannya pada waktu ini dibanyak daerah masih terdapat tanah- tanah dalam
lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan
pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum
adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayat. Sementarara Pasal 2 ayat (1)
dikatakan: Pelaksanaan hak ulayat sepenjang menurut kenyataannya maih
ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut hukum adat setempat. Pada ayat (2) berbunyi: Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap
masih ada apabila: a. terdapat sekelompok orang yang merasa masih terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan- ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan - nya sehari-hari.
Pada bagian lain berbunyi bahwa: b. Terdapat tanah ulayat teretentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tepatnya
mengambil keputusan hidupnya sehari- hari. Sedangkan dalam huruf c.Terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
12. Ketentuan lain dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999,
tersebut adalah Pasal 5 ayat
(1). Penelitian dan penetuan masih adanya hak ulayat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dengan mengikut sertakan pakar hukum adat,
masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang beresangkutan, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Sementara
dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa: Kententuan lebih lanjut mengenai pasal 5 diatur
dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.
13. Selanjutnya Peraturan Menteri
Negara/ Kepala Badan Pertanahan No. 5
Tahun 1999, tersebut dijelaskan pula
dalam Suratnya tanggal 24 Juni 1999,
Nomor 400-2626, kepada para
Gubernur, Bupati/ Walikotamadya dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan Kepala Kantor Pertanah Kabupaten/ Kota madya, seluruh Indonesia.
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3
Tahun 1997 tentang Pemberdayaan
dan Pelestarian serta Pegembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan
Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah, terlihat adanya pengakuan
akan eksistensi dan keberadaan Lembga
Adat dan adat istiadat yang ada dalam masyarakat, baik sebagai budaya maupun
sebagai hukum, sebagaimana dinyatakan dalam: Pasal 1 huruf c. Adat istiadat
adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh
dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkekembangan masyarakat desa
dan/atau satuan masyarakat lainnya serta nilai atau norma lain yang masih
dihayati dan dipelihara masyarakat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola
kelakuan yang merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat
setempat.
Pasal 1 huruf e. berbunyi bahwa
:Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja
dibentuk maupun yang secra wajar telah
tumbuh dan berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam
suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilyah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah
hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu
pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Sedangkan ketentuan Pasal 1
huruf k:
Hukum adat adalah hukum yang
benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat dan tercermin
dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola-pola
sosial budyanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sementara
ketentuan lain dalam Permendagri No. 3 Tahun 1997 tersebut pada Pasal 8 ayat (2) bahwa: Lembaga
adat mempunyai tugas sebagai berikut:
a.menampung dan menyalurkan pendapat
masyarakat kepada pemerintah serta, menyelesaikan perselisihan yang menyangkut
hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat;
14.
Kepustakaan lain yang akan penulis tinjau untuk mendukung teori dalam makalah
ini, terutama dlam pembuktian keberadaan masyarakat suku bangsa Dayak di
Kalimantan Barat, khususnya di Kapuas Hulu adalah:
14.1.
Kesepakatan “ Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak” tanggal 26 – 28 November 1992, yang dihadiri
300 peserta wakil-wakil dari seluruh Kalimantan Republik Indonesia dan juga
dari Sarawak serta Sabah Malaysia, dengan salah satu ketetapan tersebut
diantaranya:“Pemurnian hak ulayat atas tanah masyarakat”.
14.2.Khususnya
ketentuan peraturan perundang-udangan yang menjadi dasar kewenangan Pemerintah
Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, baik dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan
pemerintahan di daerah secara umum, maupun yang berkenaan dengan pembentukan
peraturan perundang-undangan, walaupun peraturan perundang-undangan tentang itu
sering kali mengalami perubahan, namun pada saat makalah ini disusun
ketetuan-ketetuan tersebut yang masih dapat dipedomani antara lain:
1.Undang-undang
No. 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II, dimana
didalamnya telah ditetapkan urusan-urusan yang menjadi kewenangan Daerah, baik
Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2.Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah memberikan kewenangan
secara otonom kepada daerah, secara nyata dan seluas-luasnya, termasuk kewenang
pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Kepala Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
3.Undang
- undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan,
adalah merupakan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku
secara Nasional, termasuk untuk
pembentukan Peraturan Daerah, oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar