Minggu, 02 Desember 2012

HAK ULAYAT MASYARAKAT DAYAK BAB I , salah satu pembuktiannya adalah dengan penelusuran sejarah, terhadap keberadaan suku – suku bangsa di Kalimanatan Barat ini, baik yang ada dipedalaman maupun yang ada di pesisir pulau dari bagian barat Kalimantan, yang sampai dengan tahun 2005 ini, secara administratif dibagi menjadi 10 Kabupaten dan 2 Kota, dengan garis perbatasan ( Kalimatan Barat -Indonesia dengan Sarawak – Malaysia), membentang dari barat ke timur mulai dari Tanjung Dato Kabupaten Sambas sampai ke gugusan Taman Nasional Betung – Kerihun ( Keriho ) Kabupaten Kapuas Hulu, sudah pasti lebih dulu dari pada penetapan Undang – undang No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA, khususnya suku bangsa Dayak, yang oleh para antropologi diyakini datang ke Kalimantan ( Borneo ) dari Hindia Belakang, baik Mongolia maupun Cina Selatan, yaitu: “Hindia Belakang (Mongolia ) dan secara besar-besaran dari Provinsi Yunan ( China Selatan ) dan juga dari kepulauan Formosa, Taiwan, yang datang kira –kira pada 3000 – 1500 tahun SM” ( H.J. Mallincrodt, W. Stohr. Tjilik Riwut, Raymond Kennedy, Bernard Sellato), ( Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada masyarakat Adat Dayak di Kalimantan, Tim Lapera: Reformasi Agraria: 2001: hal 394) dan juga Mgr.Mikael Commans dalam bukunya “ Manusia Daya, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Gramedia Jakarta 1987,” mengemukan hal yang sama, seperti adanya: 1. Suku Bangsa Dayak Kabupaten Kapuas Hulu 1.1. Rumpun suku bangsa Dayak Banuaka’: 1.1.1.Suku bangsa Dayak Taman di : Sungai Kapuas, Sungai Mandalam ( Mendalam) dan Banua Sio ( Sungai Sibau ) di Kecamatan Kedamin dan Kecamatan Putussibau. 1.1.2. Suku bangsa Dayak Tamambaloh di: Sungai ( Batang) Tamambaloh ( Embaloh), Sunagi Tamao, Kecamatan Embaloh Hulu, Sungai Labiyan ( Leboyan) Kecamatan Batang Lupar / Lanjak, Sungai Nyabo (Nyabau), Sungai Apalin ( Palin), Sungulo ( Sungai Ulok), Sungai Alau ( Lauk) Kecamatan Embaloh Hilir dan Alau di Panyungan ( Sungai Paniung ) serta Sebintang, Kecamatan Kalis. 1.1.3. Suku bangsa Dayak Kalis ( internal ada yang menyebut dengan “Ruu” ) di : Sungai Kalis, Kecamatan Manday. 1.1.4. Suku bangsa Dayak Urun Daan/Uud Danum/Mande (Manday ) di Sungai Manday, Kecamatan Kalis. 1.2. Rumpun suku bangsa Dayak Iban: 1.2.1.Suku bangsa Dayak Iban di : Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Empanang, Kecamatan Badau, Kecamatan Batang Lupar/Lanjak, Kecamatan Embaloh Hulu, Kecamatan Putusibau, Kecamatan Embau Hilir (Jongkong), Kecamtan Bunut Hilir dan Kecamatan Bunut Hulu. 1.2.2. Suku bangsa Dayak Kantuk di : Kecamatan Puring Kencana, Kecamatan Empanang, Kecamatan Silat Hilir, Kecamatan Semitau, Kecamatan Seberuang, Kecamatan Bunut Hilir, Kecamatan Embaloh Hilir, Kecamatan Embaloh Hulu, Kecamatan Mandai, Kecamatan Kalis, Kecamatan Kedamin, dan Kecamatan Putussibau. 1.2.3. Suku bangsa Dayak Suhaid di: Kecamatan Silat Hilir, Kecamatan Semitau, Kecamatan Seberuang, Kecamatan Suhaid. 1.2.4. Suku bangsa Dayak Seberuang di: Kecamatan Seberuang, Kecamatan Semitau, dan Kecamatan Silat Hilir. 1.2.5. Suku bangsa Dayak Manyan atau Mensusai di : Kecamatan Suhaid dan Selimbau. 1.3. Rumpun suku bangsa Dayak Kayan ( orang Hulu di Sarawak Malaysia): 1.3.1. Suku bangsa Dayak Kayan di : Sungai Mandalam ( Mendalam ) Kecamatan Putussibau. 1.3.2. Suku bangsa Dayak Bukat/Bokot di : Banua Sio (Sungai Sibau), Sungai Mandalam Kecamatan Putussibau dan Matalunai Sungai Kapuas Kecamatan Kedamin. 1.3.3. Suku bangsa Dayak Pu’un/ Pu’unan (Punan) di: Sungai Kapuas, Sungai Bungan, Kecamatan Kedamin 1.3.4. Suku bangsa Dayak Oheng/Peneheng ( ada juga yang menyebutnya Punan) : di Sungai Kereho/ Keriau, Kecamatan Kedamin. 1.4. Rumpun suku bangsa Dayak Gilang dan Sansilat di: Sungai Silat Kecamatan Silat Hulu. 1.5. Rumpun suku bangsa Dayak Suruk di Kecamatan Mentebah dan Kecamatan Bunut Hulu. 1.6. Rumpun Suku bangsa Dayak Sebelit /Mentebah yang sebagian menjadi “Singanan/ Senganan” ( menyebut dirinya Melayu) di: Mentebah dan Kecamatan Boyan Tanjung. 1.7. Rumpun Suku bangsa Dayak Embau yang menjadi “Singanan/ Senganan” (menyebut dirina Melayu) di: sepanjang Sungai Embau di Kecamatan Embau Hilir, Kecamatan Embau Hulu dan, Kecamatan Batu Datu. 2. Suku Bangsa Dayak Kabupten Sintang dan Melawi Sebelum pemekaran, secara bersama dikenal adanya suku bangsa Dayak: 1.Suku bangsa Dayak Iban di Merakai, 2.Bugao di Senaning, 3.Tabun di Ketungau,4.Desa di Lebang, Kayan Hilir dan di Sepauk, 5.Melaban di Ketungau, 6.Tanjung di Ketungau, 7. Bantuk di Ketungau, Ramba/ Raba, di Ketungau Seberuang di Sepauk, 8. Kubin di Melawi, 9.Randu di Melawai, 10.Limbai di Melawi, 11.Malahui di Melawi, 12.Sehiai di Melawi, 13. Serawai di Melawi, 14.Dohoi di Melawi, 15. Kenijal di Melawi, 16.Linoh di Melawi, 17.Baya di Melawi, 18. Engkelino di Melawi, 19. Kudao di Melawi, 20. Dakan di Melawi, 21. Gandis di Melawi, 22.Sekubang, di Melawi, 23. Sandai di Melawi, 24.Pangin di Melawi, 25.Batu di Melawi, 26.Keluas di Melawi, 27.Meligai di Melawi, 28. Uud Danum di Melawi, 29..Barai di Melawi/ Belimbing dan Kayan, 30.Sekujam di Sepauk, 31. Mualang di Sepauk, 32.Undau di Kayan Hilir, 33. Kebahan di Kayan Hilir, 34. Tebidah di Kayan Hulu 35. Paya di Kayan Hulu, 36. Papa di Kayan Hulu, 37. Lebang Nado di Kayan Hilir, 38. Inggar Silat di Kayan Hilir. 3. Suku Bangsa Dayak Kabupaten Sanggau dan Sekadau Sebelum pemekaran, secara bersama dikenal adanya suku bangsa Dayak: 1. Mualang di Belitang, 2. Mahab di Nanga Mahab, 3.Tembaga di Hulu Sekadau/ Nanga Mahab, 4. Koman di Nanga Mahab/ Nanga Taman,5.Menterap di Nanga Mahab, 6.Mentuka di Nanga Mahab/Nanga Taman,7.Taman di Nanga Taman/Rawak, 8. Mongko di Nanga Taman, 9. Ungkulun di Nanga Taman,10 Kerabat di Nanga Taman/Rawak, 11. Semerawai di Nanga Taman, 12. Jawan di Rawak, 13. Sawai di Rawak, 14. Pengkodan di Pusat Damai/Sangau Kapuas, 15. Pandu di Bodok/Pusat Damai/Sosok, 16.`Pompakng di Sanggau Kapuas/ Meliau, 17. Mangkit/ Berua di Balai Batang Tarang/Tayan Hilir, 18. Tebang di Tayan Hilir,19. Himbun di Tayan Hulu, 20.Desa di Meliau/Terjau. 21.Ketungau Tabae di Sekadau, 22. Ketungau di Rawak/ Sekadau, 23. Ketungau Desa di Sekadau, 24..Benawas di Sekadau, 25.Sungkong di Emtikong, 26. Sontas di Entkong, 27. Segumum di Entikong, 28. Bugao di Entikong, 29.Bldayu di Sekayam, 30. Jangkang di Jangkang/Balai Sebut, 31.Ribun di Kembayan/ Bonti/Sanggau Kapuas, 32. Dosan di Bonti, 33. Tingin di Bonti. 4. Suku Bangsa Dayak Kaupaten Pontianak dan Landak Sebelum pemekaran, secara bersama dikenal adanya suku bangsa Dayak: 1. Sungkong di Air Besar, 2. Manyuke di Air Besar/ Darit,3.Sangku di Sambe/Ngabang, 4.Kanayat’n di Sengah Temila/ Mandor/ Karangan/ Manjalin/ Toho/ Anjungan dan Sungai Ambawang. 5. Suku Bangsa Dayak Kabupaten Sambas dan Bengkayang Sebelum pemerkaran, secara bersama dikenal adanya suku bangsa Dayak: 1. Lara ( Dameo) di Singkawang/ Bengkayang/ Bantanan, 2. Bakati di Bengkayang/ Sanggau Ledo dan Ledo, 3.Sungkong Jogoi di Jogoi, 4. Sungkong Siding di Siding dan Seluas, 6.Iban di Pare/Seluas 6. Suku Bangsa Dayak Kabupaten Ketapang Ada suku bangsa Dayak: 1.Jelai Hilir dan Jelai Hulu di Sandai, 2.Kendawangan di Kendawangan/ Manismata/ Marau, 3. Pesaguan Hilir dan Pesaguan Hulu di Pesaguan, 4. Kayong di Tayap,5. Tayap di Tayap, 6. Gerunggang di Tayap, 7. Cali di Tayap, 8.Keriau di Sandai, 9.Biak di Sandai, 10. Laur di Lur, 11. Siring di Simpang/Balai Berkuak, 12.Gerai di Balai Semandang /Balai Berkuak, 13. Beginci di Sandai, 14. Sengkuang ( Keturunan Ulu Ae Keriau ) di Sandai B. Keberadaan Hak Ulayat secara de facto Sebagaimana dikemukan pada latar belakang dan tinjauan pustaka, maka dihubungkan dengan keberadaan suku bangsa Dayak pada masing-masing wilayah (ulayat) benua, banua, binua, atau menua, dimaksud, secara nyata mereka telah menemukan wilayah ( ulayat), yang menurut suku bangsa Dayak Embaloh ( Banuaka’) adalah atas karunia “Sampulo Padari” ( sang Pencipta ), yang bermula dari “Kunyayi Tau Jolo” (nenek moyang ), atau pada suku bangsa Dayak lain, sebagai anuhgerah kemurahan Batara atau Jubata, sehingga mereka menguasai / menduduki wilayah tertentu, baik karena penalukan, maupun karena pemberian suatu kawasan/ wilayah ( ulayat ), oleh suku bangsa lain, yang juga dikenal dikalangan mereka dengan sebutan “hak benua/hak banua/hak binua /hak menua/watas”, yaitu hak yang sama dengan hak- hak serupa itu, adalah satu kawasan termasuk hutan yang tidak dimiliki oleh warga secara perorangan, tetapi dapat diusahakan untuk perladangan dan berkebun oleh setiap warga masyarakat adat yang bersangkutan, dalam suatu kehidupan yang bersahaja, menyatu dengan alam dan lingkungan sampai suatu kurun waktu yang tidak terepisahkan, bahkan dengan alam gaibnya ( relegio magis). Walaupun percisnya istilah ulayat yang sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk tidak mengakui keberadaan hak benua/hak banua/ hak menua/watas, sebagai hak komunal yang dalam peraturan perundang-undangan tentang pertanahan, merupakan “hak-hak serupa itu”, kiranya cukup kuat kepemilikan dan penguasaan hak ulyat dimaksud pada masyarakat suku bangsa Dayak di Kaliamantan Barat. C. Keberadaan Hak Ulayat secara de jure 1. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan dan menurut sejarah ketatanegaran, dari pandangan politik hukum di Indonesia: jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 atau yang diakui secara konstitusional adalah tanggal 18 Agustus 1945 sebagai saat ditetapakannya UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia ada statemen untuk mejadikan Hukum Adat sebagai dasar pemersatu bangsa, yang memang telah lahir bersamaan dengan Statemen Satu Nusa ( Tanah Air Indoensia ) , Satu Bangsa ( Bangsa Indonsia ) dan Satu Bahasa ( Bahasa Indoensia ), yaitu sejak Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. 2. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara, sebagai salah perwujudan tuntutan kemerdekaan dan tanggung jawab pemerintah kepada bangsa Indonsia, secara Nasional pada tanggal 24 Septermber 1960, telah ditetapkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960, tentang Pokok-pokok Dasar Agraria, sebagai suatu langkah maju bahwa politik hukum Inonesia telah menembus tatanan hukum Agraria Kolonial ( Agrariswet). Salah satu ketentuan yang penting adalah masalah pengakuan Hak Milik Adat dan Hak Ulayat/ Hak-hak serupa itu tentang tanah sebagiamana bunyi pasal 2 ayat (5). 3. Tahun 1999 Menteri Negara Kepada Badan Pertanahan Nasional, telah menetapkan Peraturan No. 5 Tahun 1999, yang secara tegas mengatur keberadaan Tanah Milik Adat Dan hak ulayat atau hak-hak serupa itu. 4. Undang-undang Dasar 1945, Pembukaan alinea keempat yang menyatakan :….” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajaukan kesejahteraan umum…..” …..” …..serta dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia…..”. 5. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum amandemen pernah mengisyaratakan bahwa salah satu norma yang hidup dan akan hidup dalam masyarakat adalah Hukum Adat atau Adat Istiadat. 6. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria: 6.1. Pasal 3 . Dengan mengingat ketentuan – ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyaatannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan perturan-peraturan lain yang lebih tinggi. 6.2. Penjelasan Pasal 3: Yang dimaksud “ hak ulayat dan hak-hak serupa itu, “ ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut “ beschikkingsrechts……” 6.3. Penjelasan Umum II. Dasar –dasar dari hukum agraria nasional. (3). Bertalaian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam Pasal 1 dan 2 maka di dalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukan hak itu didalam tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa: Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentinggan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. a. Pasal 5 menyatakan: Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama. b. Penjelasan Umum III. Dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum. (1). …..” Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indoensia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan- ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan sesusai dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta sesuai dengan sosialisme Indonesia. c. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menyatakan d. Konsisedaran: Menimbang: a. bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam keketentuan Pasal 3 Undang-undang No.5 Tahun 1960…..” b. bahwa dalam kenyaatannya pada waktu ini dibanyak daerah masih terdapat tanah- tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayat. 6.8. Pasal 2 (1) Pelaksanaan hak ulayat sepenjang menurut kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut hukum adat setempat, dalam ayat (2) Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila: a. Terdapat sekelompok orang yang merasa masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tepatnya mengambil keputusan hidupnya sehari- hari. c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. 6.9 Pasal 5 ayat (1). Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dengan mengikut sertakan pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang beresangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. 6.10 .Pasal 6 Kententuan lebih lanjut mengenai Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan. 6.11 Selanjutnya Peraturan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan No. 5 Tahun 1999, tersebut dijelaskan pula dalam Suratnya tanggal 24 Juni 1999, Nomor 400-2626, kepada para Gubernur, Bupati/ Walikotamadya dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanah Kabupaten/ Kota madya, seluruh Indonesia. 6.12 Kepustakaan lain yang mendukung teori dalam makalah ini, terutama dalam pembuktian keberadaan masyarakat suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat, adalah: 1). Kesepakatan “ Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak” tanggal 26 – 28 November 1992, yang dihadiri 300 peserta wakil-wakil dari seluruh Kalimantan Republik Indonesia dan juga dari Sarawak serta Sabah Malaysia, dengan salah satu ketetapan tersebut diantaranya:“Pemurnian hak ulayat atas tanah masyarakat”. 2). Khususnya ketentuan peraturan perundang-udangan yang menjadi dasar kewenangan Pemerintah Daerah di Kalimantan Barat, baik dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara umum, maupun yang berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,walaupun peraturan perundang-undangan tentang itu sering kali mengalami perubahan, namun pada saat makalah ini disusun ketetuan-ketetuan tersebut yang masih dapat dipedomani antara lain: a. Undang-undang No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Ontom Kalimantan, Kalimantan Timu dan Kalimantan Selatan dan Undang-undang No. 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan Barat dan peraturan perundang-undangan pemekaran 4 Kabupaten 1 Kota ( Kalbar sekarang 10 Kabupaten dan 2 Kota), dimana di dalamnya telah ditetapkan urusan-urusan yang menjadi kewenangan Daerah, baik Kepala Daerah termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. b. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah memberikan kewenangan secara otonom kepada daerah, secara nyata dan seluas-luasnya, termasuk kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c. Undang - undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan, adalah merupakan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara Nasional, termasuk untuk pembentukan Peraturan Daerah, oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakian Rakyat Daerah. Namun sayang statemen atau keputusan Politik Penguasa Negara yang telah mendapat mandat dari Rakyat, baik sebagai unsur Legestatif maupun Eksekutif, tidak pernah dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena “penyerahan urusan dibidang pertanahan” kecuali ketetuan Hak Ulayat sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertananhan Nasional No. 5 Tahun 1999, lain-lainnya tidak jelas, atau bahkan tidak diatur, sehingga masalah Hak Milik Adat/ Hak Ulayat atau Hak-hak Serupa itu, sebagai hak banua, hak binua, hak menua, menjadi permasalahan yang tidak akan penah berakhir, baik secara Nasional, maupun Regional/ Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, khususnya di Provinsi Kaimantan Barat yang masyarakat persekutuan hukum adatnya majemuk atau heterogen. Dari fakta de facto maupun de jure, sesungguhnya adalah sudah lebih dari cukup kuat alas atau dasar untuk tidak meragukan keradaan hak ulay itu di Kalimanan Barat, kecuali yang patut diragukan adalah good will pemerintah, sebgaimana keraguan-keraguan berikut ini. D. Beberapa fakta dan teori yang menyangsikan pengakuan Hak Ulayat atu hak-hak serupa itu sebagai hak banua, hak binua atau hak menua, seprti pendapat: 1. Prof. Boedi Hasono, SH: “Ketentuan- ketentuan hukum yang diadakan untuk melindungi hak dan kepentingan para pemilik tanah tidak jarang ditafsirkan menyimpang dari hakikat eksistensinya. Penguasa-penguasa Daerah ditafsirkan sebagai Pejabat yang berwenang secara sepihak menetapkan bentuk dan jumlah ganti kerugian”….”Dibiarkan para pemegang izin lokasi menggunakan berbagai cara fisik dan psikologis dalam menekan dan memaksa para pemilik tanah untuk merelakan tanahnya diambil penguasa pemegang izin lokasi. Salah satu produk hukum pertama Penguasa Orde Baru adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam prakteknya Undang-undang tersebut juga menimbulkan kenyataan perlakukan yang tidak adil pada masyarakat-masyarakat hukum adat dan warganya, yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Penguasaan Hutan kepada Pegusaha.” (Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah, Reformasi Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional,Sekolah Tingggi Pertanahan Nasioanal: 2001: hal 46). 2. Dr. R. Supomo dan Prof. Mr. R. Djokosutono, sebagai perwujudan politik hukum di Indonesia, penjajah sendiri mau mengakui keberadaan Hak Adat itu seperti yang terjadi pada: “…….tanggal 1 Mei 1848


 

B A B    I
 P E N D A H U L U A N

A.   Latar Belakang Masalah


       Adanya hak ulayat atau hak-hak serupa itu ( hak menurut Undamg-umdang No.5 Tahun 1960) juncto Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999,  apabila ditelusuri sejarah keberadaan suku – suku  bangsa yang ada di Kalimanatan Barat ini, tentunya tidak dapat      dipisahakan dengan adanya masyarakat itu sendiri khususnya yang diidentifikasikan sebagai, suku bangsa Dayak ( penggunaan kata Dayak dengan “k” adalah hasil Seminar Nasional Kebudayaan Dayak 1992 di Pontianak, sedangkan  yang sebelumnya menurut F.C. Palaoensoeka berdasarkan  keputusan Konggres Partai Persatuan Daya’ Tahun 1947 di Sanggau, sebagaimana diumumkan dalam Surat Kabar Keadilan di KaliamnatanBarat, penulisan Daya’ tanpa menggunakan  “k” ).
      Masyarakat suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat yang telah ada sebelum Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tinggal tersebar luas keseluruh wilayah, dipastikan  sudah  tinggal disuatu tempat tertentu, sebelum ditetapkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Dasar Agraria yang selalu dijadikan sebagai dasar penilain bagi ada tidaknya hak-hak atas tanah, termasuk hak ulayat (kata “ulayat” sama dengan kata “wilayat” yang berarti “wilayah”: Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta: 1976).
      Bahkan ada beberapa kelompok suku bangsa Dayak yang telah tinggal di Kalimantan Barat sebelum penjajahan Belanda, atau bahkan sebelum pada jaman Hindu, yang dapat dibuktikan dengan penemuan situs Hindu di Nanga Balang Kecamatan Kedamin, Kapuas Hulu dan di Nanga Mahap Kabupaten Sekadau. Atau kalau ditelususri kedatangan suku bangsa Dayak  ke Kalimantan  dari Indocina,  yaitu dari : Hindia Belakang (Mongolia )  dan secara besar-besaran dari Provinsi Yunan ( China Selatan ) dan juga dari kepulauan Formosa, Taiwan,  yang datang kira –kira pada 3000 – 1500 tahun SM ( H.J. Mallincrodt, W. Stohr. Tjilik Riwut, Raymond Kennedy, Bernard Sellato), ( Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah pada masyarakat Adat Dayak di Kalimantan, Tim Lapera: Reformasi Agraria:  2001: hal 394)  dan  juga Mgr.Mikael Commans dalam bukunya ( “ Manusia Daya, Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Gramedia Jakarta 1987”)  mengemukan hal yang sama.
               Sejak keberadaan mereka pada wilayah (ulayat) masing-masing dimaksud mereka telah menemukan wilayah ( ulayat), yang menurut suku bangsa Dayak Embaloh ( Banuaka’) di Kapuas Hulu,  adalah atas karunia “Sampulo Padari” ( sang Pencipta ), yang bermula dari “Kunyayi Tau Jolo” (nenek moyang ),  yang dalam bahasa Iban disebut Batara. Kananayat’n Jubata, atau yang lain menyebutnya Allahtatalah, yang menjadikan mereka menguasai dan atau  menduduki wilayah tertentu,  baik karena penalukan,  maupun karena pemberian suatu kawasan dan atau wilayah ( ulayat ), oleh suatu kelompok kepada kelompk yang lain, sebagai “hak banua (Banuaka’), menua (Iban), binua (Kanayat’n)    atau hak benua (pada suku bangsa Dayak lainnya)”.  Yang maknanya sama dengan hak- hak serupa itu, yaitu suatu konsep dimana satu kawasan hutan adalah miliki bersama seluruh warga,  tetapi dapat saja diusahakan oleh perorangan untuk perladangan dan perkebunan dengan persetujuan seluruh warga masyarakat persekutuan hukum adat yang bersangkutan, karena pada prisipnya bahawa dalam suatu kehidupan yang bersahaja, tanah dan kawasan hutan adalah menyatu denga warga masyarakatnya, sebagai suatu kesatuan lingkungan yang satu sama lain sampai suatu kurun waktu yang tidak terbatas tidak terpisahkan, terutama  dengan alam gaibnya (relegio magis).
                Walaupun percisnya istilah ulayat yang sering dimanipulasi oleh kelompok tertentu untuk tidak mengakui keberadaan hak banua, hak benua, han binua, atau hak menua sebagai watas komunal masyarakat persekutuan hukum adat yang nmerupakan “hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat”.
                Sedangkan jika ditelusuliri melalui peran sejarah dan politik hukum di Indonesia: jauh sebelum Proklamasi kemerdekaan   tanggal 17 Agustus 1945  atau  yang diakui secara konstitusional adalah sebelum  tanggal 18 Agustus  1945 sebagai saat ditetapkannya Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, statemen untuk mejadikan Hukum Adat sebagai dasar pemersatu bangsa, telah lahir bersamaan  dengan Statemen Satu Nusa ( Tanah Air Indoensia ) , Satu Bangsa  ( Bangsa Indonsia ) dan Satu Bahasa ( Bahasa Indoensia ), yaitu sejak   Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
                Selanjutnya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara, sebagai salah perwujudan tuntutan kemerdekaan dan tanggung jawab pemerintah kepada warga bangsa Indonsia, secara Nasional pada tanggal 24 Septermber 1960,  telah ditetapkan Undang -undang No. 5 Tahun 1960, tentang Pokok-pokok Dasar Agraria, ini suatu langkah maju bahwa secara histories, politik hukum Inonesia telah menembus tatanan hukum Agraria Kolonial ( Agrarischwet).
       Salah satu ketentuan yang penting  adalah masalah pengakuan  Hak Milik Adat dan  Hak  Ulayat sebagai  Hak-hak serupa itu tentang tanah sebagiamana bunyi pasal 2 ayat (5).
       Demikian pula Tahun 1999 Menteri Negara Kepada Badan Pertanahan Nasional, telah menetapkan Peraturan No. 5 Tahun 1999, yang secara tegas mengatur keberadaan Tanah Milik Adat dan  hak ulayat sebagai hak-hak serupa itu.
      Namun sayang statemen  atau keputusan Politik Pengusa Negara yang telah mendapat mandat dari Rakyat, baik sebagai unsur  Legestatif maupun Eksekutif, selalu  diabaikan oleh para penyelenggara Negara, tertutama  pada tingkat daerah, baik Provinsi maupun  Kabupaten/ Kota, sehingga masalah Hak Milik Adat/ Hak Ulayat atau Hak-hak Serupa itu, menjadi permasalahan  yang tidak akan penah berakhir, atau “memang tidak perlu diakhiri baik secara Nasioanal, maupun Regional/ Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota?”
      Bahkan masih ada kecendruangan dari Pemerintah bahwa untuk penguasaan tanah bagi perusahaan, permerintah masih mempertahankan kebijaksaan Pemerintah Orde Baru yang menerbitkan:
….. “serangkai peraturan perundang-undangan yang menyediakan berbagai fasilitas dan sarana, untuk memudahkan dan memastikan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah-tanah yang diperlukan.
Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan tanah-tanah milik rakyat kecil tani dan perkotaan serta tanah-tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang berupa hutan.” ( Prof. Boedi Harsono, SH, Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah,   Reformasi Pertanahan,  Badan Pertanahan Nasional , SekolahTinggi Pertanahan Nasional : 2001: hal  44 ).


B.   Rumusan Masalah
      “Sebagaiamana diketahui  biarpun menurut kenyataanya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, namun belum pernah ada hak ulayat tersebut yang diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peratruan-peraturan agraria hak ulayat itu sejak awal kemerdekaan, atau khusus untuk Kalimatan Barat sejak pengakuan intergrasi tan9gal 24 Mei 1950, eksistensi hak masyaraat adat atas tanah dimaksud,  sering kali diabaikan.
       Oleh karena itu berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang Pokok Agraria yang pada hakekatnya berarti pengakuan,,dimana pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan?  Tetapi “sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan”. Misalnya di dalam pemberian suatu hak atas tanah (hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya  dan akan diberi  “ recognitie,” yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu” ( Penjelasan Umum II.  Angka  3  UU No. 5 Tahun 1960 ), lalu :

    1. Apakah hak ulayat atau hak-hak serupa itu  di Kalimantan Barat memang ada?  Dan kalau memang ada Hak Ulyat atau Haka-hak serupa itu, apa nama yang dikenal umum, terutama pada masyarakat persekutuan hukum adat suku bangsa Dayak ?
    2. Apakah hak ulayat atau hak-hak serupa itu, sebagaimana yang di kehendaki dalam Peraturan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 199, telah ada peraturan  Pemerintah Daerah yang mengatur ?
    3. Apakah DPRD sebagai Lembaga Legislasi Daerah, telah melakukan hak inisiatipnya dalam pembuatan Peraturan Daerah, tentang hak ulayat atau hak-hak serupa itu?

C.   J u d u l

PENGAKUAN HAK ULAYAT OLEH PEMERINTAH HANYALAH WACANA MIMPI BURUK PADA MASYARAKAT SUKU BANGSA DAYAK DI KALIMANTAN BARAT


D.  Tujuan Penulisan

    1. Untuk mendalami materi kuliah Hukum Pertanahan, pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura.
    2. Untuk mengetahui sejauh mana Reformasi Hukum dibidang Pertanahan, khususnya terhadap sejarah dan politik hukum Pemerintahan Orede Baru yang untuk penguasaan tanah bagi perusahaan, Permerintah menerbitkan serangkai peraturan perudang-udangan yang menyediakan berbagai fasilitas dan sarana, untuk memudahkan dan memastikan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah-tanah yang diperlukan. Tanah-tanah tersebut umumnya merupakan tanah-tanah milik rakyat kecil, tani dan perkotaan serta tanah-tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang berupa hutan.
    3. Untuk mengetahui dan atau mengenal apakah keberadaan hak ulayat atau  hak-hak serupa  itu, terutama pada masyarakat suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat, hak-haka dimaksud dikenal.
    4. Untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab Pemerintah khusunya Pemerinnta Daerah di Kabupaten-kabuapten terutama DPRD, dalam pelaksanaan Pasal 5  Peraturan Menteri Negara /Kepala Badan Pertananahan Nasional No. 5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian  masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat juncto Surat Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal   24 Juni 1999 No. 400-2626, khususnya ketentuan angka 3 yang menyerahankan kewenangan dan /atau meminta kepada Pemerintah Daerah untuk meneliti dan menetukan keberadaan hak ulayat  atau hak-hak serupa itu dengan Peraturan Daerah.

E.   Metode Kajian Penulisan
Untuk mengumpulkan data guna mendukung penulisan makalah ini digunakan metode kajian hukum normative, yaitu studi kepustakaan.

F.    Tinjauan Pustaka

    1. “Ketentuan- ketentuan hukum yang diadakan untuk melindungi hak dan kepentingan para pemilik tanah tidak jarang ditafsirkan menyimpang dari hakikat eksistensinya. Penguasa-penguasa Daerah ditafsirkan sebagai Pejabat yang berwenang secara sepihak menetapkan bentuk dan jumlah ganti kerugian”….”Dibiarkan para pemegang izin lokasi menggunakan berbagai cara fisik dan psikologis dalam menekan dan memaksa para pemelik tanah untuk merelakan tanahnya diambil penguasa pemegang izin lokasi. Salah satu produk hukum pertama Pengausa Orde Baru adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan. Dalam prakteknya Undang-undang tersebut juga menimbulkan kenyataan perlakukan yang tidak adil pada masyarakat-masyarakat hukum adat dan warganya, yang tanah ulayatnya diberikan dengan Hak Penguasaan Hutan kepada Pegusaha.” ( Prof. Boedi Hasonoo, SH, Implementasi Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dan Perlindungan Hak-hak Rakyat, Upaya Penataan dan Pengaturan Kembali Pemilikan dan Pengusaan Tanah,  Reformasi Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional, Sekolah Tingggi Pertanahan Nasioanal:    2001: hal 46).
    2. Sejalan dengan politik hukum di Indonesia, penjajah sendiri mau mengakui keberadaan Hak Adat itu, seperti yang     terjadi pada:

             ..…” tanggal 1 Mei 1848 jaman  Hindia Belanda,  telah  diberlakukan  undang-undang baru ( nieuwe wetgeving) sebagai wujud  awal POLITIK HUKUM  ( bewuste rechtspolitiek)…..”….. “dapatlah dipandang sebagai permulaan hikmat ( politik) hukum pemerintah Belanda yang diinsafkan terhadap bangsa Inodonesia”…..” Dengan uraian diatas, yang menunjukan bahwa adalah hal yang beralasan,  jika kita memandang tahun 1848 sebagai saat terlahirnya masa baru didalam sejarah hikmat hukum pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia,….” …..” Sedang hikmat hukum didalam arti yang terbaik bermaksud untuk menyelenggarakan kepentingan rakyat Indonesia dengan jalan mengadakan peraturan-peraturan yang dapat memenuhui kebutuhan rakyat tadi…..”…..” Akan tetapi, berbahagia untuk hukum adat, nampaklah kemudian perubahan didalam sikap pemerintah Belanda. Lambat laun dapatlah ilmu hukum adat memperoleh kemenangan  didalam untuk terus menerus menganjurkan-anjurkan arti hukum adat terhadap serangan dari luar.”…..”  karena hukum adat adalah hukum yang bertumbuh nyata dari masyarakat bangsa Indonesia….”…..” maka teranglah, bahwa sekarang hukum adat menjadi pusat perhatian pemerintah Belanda didalam usahanya untuk menjalankan politik hukum terhadap bangsa Indonesia.” (Prof. DR. R. Supomo dan Prof. MR. R Djokosutono : Sejarah  Politik Hukum Adat:  1954: Hal 3,5, 6 dan 7 ).
3. Sumpah Pemuda tangal 28 Oktober 1928, selain membuat pengakuan bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satau, bangsa Indonesia, dan berbahasa satu, bahasa Indonesia juga mengaku adanya Hukum Adat di Indonesia.
    1. Undang-undang D 1945, Pembukaan alinea keempat yang menyatakan :….” Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara  Indonesia  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan  umum…..” …..” …..serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…..”.
    2. Demikian pula dalam  Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 sebelum amandemen  pernah mengisyaratakan bahwa salah satu norma yang hidup dan akan hidup dalam masyarakat adalah Hukum Adat atau Adat Istiadat.
    3. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Pasal  3, menyatakan bahwa :                 Dengan mengingat ketentuan –  ketentuan pasal 1 dan 2  pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu  dari masyarakat –masyarakat hukum adat,  sepanjang menurut kenyaatannya masih ada, harus sedemikian rupa      sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar   atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-    undang dan perturan-peraturan lain yang   lebih tinggi. Sedangkan pada Penjelasan Pasal 3:  Yang dimaksud “ hak ulayat  dan hak-hak serupa  itu, “ ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut “         beschikkingsrechts……”  Demikian pula Penjelasan Umum II. Dasar –dasar dari hukum agraria nasional angka (3) Bertalaian dengan  hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan  kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka  di dalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari  kesatuan - kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukan hak itu didalam tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa:  Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentinggan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
    4. Ketentuan lain dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 seperti pada    Pasal 5, bahwa : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan        ruang angkasa  ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama. Serta ketentuan Penjelasan Umum III Dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan   kesederhanaan hukum, berbunyi:
        (1). …..” Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme  itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum ,sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan  sesuai pula dengan kepentingan perekonomian.  Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan  kesadaran hukum dari pada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indoensia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan  pula pada ketentuan- ketentuan hukum adat itu,  sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan sesusai dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta sesuai dengan sosialisme Indonesia.
    7.TAP MPR No. XVII/MPR/ 1998, menyatakan bahwa : Identitas budya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangna zaman.
   8. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asas Manusia, Pasal  6,  menyatakan bahwa: (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum masyarakat, dan pemerintah. Demikian pula (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah   ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
   9. Sedangkan Penjelasan pasal 6, (1) Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilingdunngi  dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manuisia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Sementara (2)Dalam rangka penegakan hak asasi menusia, identitas budaya masyrakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat,  tetap dihormati dan dilingdungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan  dan kesejahteraan rakyat.
10.    Undang-undang No. 41 Tahun1999 tentang Kehutanan,  dalam pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa: Penguasan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak  masyatakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sedangkan pasal 5 ayat (2) menyatakakan bahwa: hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
11.    Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No  5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat  Hukum Adat, pada konsidean menimbang menyatakan : a. bahwa hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat    dan yang serupa itu dari   masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan  Pasal 3 Undang-undang No.5 Tahun 1960…..” Sedangan konsideran menimbang  huruf: b. bahwa dalam kenyaatannya pada waktu ini dibanyak  daerah masih terdapat tanah- tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayat. Sementarara Pasal 2 ayat (1) dikatakan: Pelaksanaan hak ulayat sepenjang menurut kenyataannya  maih   ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan  menurut hukum adat setempat. Pada ayat      (2) berbunyi:  Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila: a. terdapat sekelompok orang yang merasa masih terikat oleh          tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu  persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan  menerapkan ketentuan- ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan - nya sehari-hari. Pada bagian lain berbunyi bahwa: b. Terdapat tanah ulayat teretentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tepatnya mengambil keputusan hidupnya sehari- hari. Sedangkan dalam huruf c.Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
12.    Ketentuan lain dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999, tersebut  adalah  Pasal 5 ayat   (1). Penelitian dan penetuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah, dengan  mengikut sertakan pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang beresangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam. Sementara dalam Pasal 6 ditegaskan bahwa: Kententuan lebih lanjut mengenai pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.
13.    Selanjutnya Peraturan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan  No. 5 Tahun 1999, tersebut dijelaskan pula  dalam Suratnya tanggal 24 Juni 1999,  Nomor 400-2626,  kepada para Gubernur, Bupati/ Walikotamadya dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kepala Kantor Pertanah Kabupaten/ Kota madya, seluruh Indonesia.
14.    Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan  dan Pelestarian  serta Pegembangan  Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah, terlihat adanya pengakuan akan    eksistensi dan keberadaan Lembga Adat dan adat istiadat yang ada dalam masyarakat, baik sebagai budaya maupun sebagai hukum, sebagaimana dinyatakan dalam: Pasal 1 huruf c. Adat istiadat adalah seperangkat nilai atau norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkekembangan masyarakat desa dan/atau satuan masyarakat lainnya serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagaimana terwujud dalam berbagai pola kelakuan yang merupakan kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat setempat.
Pasal 1 huruf e. berbunyi bahwa :Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun  yang secra wajar telah tumbuh dan berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilyah hukum dan  hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Sedangkan ketentuan Pasal 1 huruf  k:
Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat-istiadatnya dan pola-pola sosial budyanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sementara ketentuan lain dalam Permendagri No. 3 Tahun 1997  tersebut pada Pasal 8 ayat (2) bahwa: Lembaga adat mempunyai tugas sebagai berikut:
a.menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta, menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat;
14. Kepustakaan lain yang akan penulis tinjau untuk mendukung teori dalam makalah ini, terutama dlam pembuktian keberadaan masyarakat suku bangsa Dayak di Kalimantan Barat, khususnya di Kapuas Hulu adalah:
14.1. Kesepakatan “ Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak”  tanggal 26 – 28 November 1992, yang dihadiri 300 peserta wakil-wakil dari seluruh Kalimantan Republik Indonesia dan juga dari Sarawak serta Sabah Malaysia, dengan salah satu ketetapan tersebut diantaranya:“Pemurnian hak ulayat atas tanah masyarakat”.

14.2.Khususnya ketentuan peraturan perundang-udangan yang menjadi dasar kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu, baik dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan pemerintahan di daerah secara umum, maupun yang berkenaan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, walaupun peraturan perundang-undangan tentang itu sering kali mengalami perubahan, namun pada saat makalah ini disusun ketetuan-ketetuan tersebut yang masih dapat dipedomani antara lain:
1.Undang-undang No. 27 Tahun 1959 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II, dimana didalamnya telah ditetapkan urusan-urusan yang menjadi kewenangan Daerah, baik Kepala Daerah maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2.Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah memberikan kewenangan secara otonom kepada daerah, secara nyata dan seluas-luasnya, termasuk kewenang pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3.Undang - undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan, adalah merupakan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara Nasional,  termasuk untuk pembentukan Peraturan Daerah, oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar