Minggu, 02 Desember 2012

EKSISTENSI HK ADAT




   
                “EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT DAYAK DI KALIMANTAN BARAT”


Masalah :

Bahwa  masyarakat luar khususnya masyarakat pendatang sering beranggapan bahwa berlakunya hukum adat menimbulkan dualisme hukum.

Hipotesis:

Kalau ditinjau dari sudut pandang Sosiologi Hukum, maka apabila masyarakat luar mau memahami ekseistensi hukum adat itu, yang merupakan  asset yang sangat berharga bagi pembentukan dan pemberlakuan hukum Nasional terutama  dalam menciptakan  rasa “keadilan, kepastian hukum dan nilai-nilai kemanfaatan” tentunya  anggapan dualisme hukum itu  tidak perlu ada.

Pembahasan : 

Masyarakat Dayak terdiri lebih dari 200 sub suku bangsa  dengan bahasa/ dialegnya masing-masing, mulanya hanya hidup dipedalaman, namun sekarang telah tersebar disepuluh  wilayah Kabupaten dan satu wilyah Kota di Kalimantan Barat ini.

Baik dipedalaman maupun diperkotaan baik  sebelum kemedekaan, sesudah kemedekaan, baik zaman orde lama,  di zaman orde baru maupun di zaman orde reformasi ini,  bahwa masyarakat Dayak itu telah hidup berbaur dengan masyarakat dari suku bangsa lainnya.

Maka tidak heran kalau dalam pergaulan hidup akan terjadi perselisihan atau pertikaian yang menimbulkan akibat hukum, yang perlu diselesaakan dengan segera dengan biaya yang semurah, apa lagi atas perbuatan hukum yang telah mengganggu keseimbangan alam magis, umpamanya perkelahian tau penganiayaan  yang mengeleuarkan darah, atau perzinahan ( inset ), penangan perkatanya tidak boleh ditudah tudah.

Karena dengan tertundanya peyelesaian perkara dimaksud tentukan akan menibulkan amarah masyarakat adat pada pelaku, dan bahkan kadang kala akan menimbulkan akibat patal bagi pelakunya (contoh : kasus-kasus  konflik etnis di Kalimatan Barat )
Namun sayang eksistensi hukum adat seperti itu bagi sementara orang yang datang ke Kalbar ini akan menimbulkan pertanyaan:  “Kenapa selain Hukum Nasional, di Kalabar ini, terutama pada masyarakat Dayak juga berlaku Hukum adat ?”

Sebenarnya kalau saja orang orang itu berkenan mendalami atau memahami dan mau mengerti  eksistensi Hukum adat, yang adalah lahir dari prilaku, kebiasaan,  norma-norma atau kadaidah adat istiadat maupun budaya (budi dan daya) dari lingkungan masyarakat adat Dayak itu sendiri, yang telah diyakini secara turun temurun  hidup ditengah tengah masyarakat adat, pada suatu tempat dan waktu tertentu itu, dan pasti pula telah diuji dan diakui kebenarannya oleh masyarakat, bahwa perannya dalam menciptakan keadilan, kepastian dan  nilai nilai kemanfaatan adalah cukup berarti..

Maka kalau kita kembali kepada Ilmu  Sosialogi Hukum, bahwa hukum yang baik itu haruslah terbentuk dari perilaku dan kehidupan masyarakat disekitar tempat dan waktu akan berlakunya suatu hukum dimaksud.
.
Apalagi bila keberadaan hukum adat itu dilihat  dari sudut padangan teori ilmu hukum dan sosiologi hukum maka kurang bijaklah bila ada yang menganggap bahawa hukum adat itu telah menimbulkan duaslisme hukum dan bertentangan dengan hukum Nasional, baik perdata maupun pidana.

Karena hukum yang lebih mudah diterima oleh  masyarkat dalam aplikasinya adalah hukum yang lahir dan terbentuk dari hal hal dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Apalagi kalau kita kembali pada pahaman hukum “moral order,”  dimana penegak atau pembuat hukum jika ingin produk hukum yang dibuatnya, diterima dimasyarakat dan putusan memberikan rasa keadilan, kepastian hukum dan nilai-nilai kemanfaatan; maka  seyogianya tidak hanya menerapkan hukum dengan faham positivisme tetapi juga harus berdasarkan paham moral order..

Sebagai contoh kasus kasus  konplik antar etnis  di Kalimantan Barat yang awal-awalnya akan diselesaikan dengan hukum positive yang menganut paham potivisme, bahkan dengan tekanan dan metode manajemen konflik atau yang di back up dengan kekuatan militer, pun juga tidak akan pernah terselesaiakan dengan rasa keadilan, kepastian hukum, apalagi nilai nilai manfaat,  khususnya pada masyarakat Dayak.

Namun manakala penyelesai konplik tersebut terutama terhadap orang-orang Dayak, walaupaun putusannya bukan hukuman pidana penjara seumur hidup atau hukuman mati, penyelasaian dengan cara hukum adat  ternyata lebih dapat diterima dengan rasa puas, dan keseimbangan magis dirasakan telah pulih.

Jadi adalah sikap yang sangat arogan positivisme ke Barat Baratan apabila ada orang yang  menganggap, karena dengan berlakunya hukum adat telah terjadi dualime hukum.

Apalagi kalau ada upaya –upaya untuk menghilangkan Hukum Ada, kiranya upaya seperti itu tentunya kurang mendasar atau sikap yang kurang bijaksana, karena hukum adat itu adalah hukum yang dinamis dan telah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat adat di Kalimanat Barat, dan  kalau dia lapuk dikajangi, dan usang dibaharui ( Prof.Muhammad Koesno, SH).

Pemberlakuan hukum adat  dalam masyarakat Adat di Kalimanatan Barat selain diyakini dan dirasakan mampu memberikan rasa keadilan, kepastian dan nilai manfaat juga pada umumnya hakim adat dalam masyarakat adat dalam putusannya,  tidak pernah meniadakan hukum Nasional, sepanjang itu pantas dalam padangan masyarakat adat yang sangat terikat pada alam atau pada paham “moral order” yang relegio magis.

Pontianak, 19 September 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar