“EKSISTENSI
HUKUM ADAT DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT DAYAK DI
KALIMANTAN BARAT”
Masalah :
Bahwa
masyarakat luar khususnya masyarakat pendatang sering beranggapan bahwa
berlakunya hukum adat menimbulkan dualisme hukum.
Hipotesis:
Kalau ditinjau dari sudut pandang Sosiologi Hukum,
maka apabila masyarakat luar mau memahami ekseistensi hukum adat itu, yang
merupakan asset yang sangat berharga
bagi pembentukan dan pemberlakuan hukum Nasional terutama dalam menciptakan rasa “keadilan, kepastian hukum dan
nilai-nilai kemanfaatan” tentunya anggapan dualisme hukum itu tidak perlu ada.
Pembahasan :
Masyarakat Dayak terdiri lebih dari 200 sub suku
bangsa dengan bahasa/ dialegnya
masing-masing, mulanya hanya hidup dipedalaman, namun sekarang telah tersebar
disepuluh wilayah Kabupaten dan satu
wilyah Kota di Kalimantan Barat ini.
Baik dipedalaman maupun diperkotaan baik sebelum kemedekaan, sesudah kemedekaan, baik
zaman orde lama, di zaman orde baru
maupun di zaman orde reformasi ini,
bahwa masyarakat Dayak itu telah hidup berbaur dengan masyarakat dari
suku bangsa lainnya.
Maka tidak heran kalau dalam pergaulan hidup akan
terjadi perselisihan atau pertikaian yang menimbulkan akibat hukum, yang
perlu diselesaakan dengan segera dengan biaya yang semurah, apa lagi atas
perbuatan hukum yang telah mengganggu keseimbangan alam magis, umpamanya
perkelahian tau penganiayaan yang
mengeleuarkan darah, atau perzinahan ( inset ), penangan perkatanya tidak boleh
ditudah tudah.
Karena dengan tertundanya peyelesaian perkara
dimaksud tentukan akan menibulkan amarah masyarakat adat pada pelaku, dan
bahkan kadang kala akan menimbulkan akibat patal bagi pelakunya (contoh :
kasus-kasus konflik etnis di Kalimatan
Barat )
Namun sayang eksistensi hukum adat seperti itu bagi
sementara orang yang datang ke Kalbar ini akan menimbulkan pertanyaan: “Kenapa selain Hukum Nasional, di Kalabar
ini, terutama pada masyarakat Dayak juga berlaku Hukum adat ?”
Sebenarnya kalau saja orang orang itu berkenan
mendalami atau memahami dan mau mengerti
eksistensi Hukum adat, yang adalah lahir dari prilaku, kebiasaan, norma-norma atau kadaidah adat istiadat
maupun budaya (budi dan daya) dari lingkungan masyarakat adat Dayak itu
sendiri, yang telah diyakini secara turun temurun hidup ditengah tengah masyarakat adat, pada
suatu tempat dan waktu tertentu itu, dan pasti pula telah diuji dan diakui kebenarannya
oleh masyarakat, bahwa perannya dalam menciptakan keadilan, kepastian dan nilai nilai kemanfaatan adalah cukup
berarti..
Maka kalau kita kembali kepada Ilmu Sosialogi Hukum, bahwa hukum yang baik
itu haruslah terbentuk dari perilaku dan kehidupan masyarakat disekitar tempat
dan waktu akan berlakunya suatu hukum dimaksud.
.
Apalagi bila keberadaan hukum adat itu dilihat dari sudut padangan teori ilmu hukum dan
sosiologi hukum maka kurang bijaklah bila ada yang menganggap bahawa hukum
adat itu telah menimbulkan duaslisme hukum dan bertentangan dengan hukum
Nasional, baik perdata maupun pidana.
Karena hukum yang lebih mudah diterima oleh masyarkat dalam aplikasinya adalah hukum yang
lahir dan terbentuk dari hal hal dan kepentingan masyarakat itu sendiri.
Apalagi kalau kita kembali pada pahaman hukum “moral order,” dimana penegak atau pembuat hukum jika ingin
produk hukum yang dibuatnya, diterima dimasyarakat dan putusan memberikan rasa
keadilan, kepastian hukum dan nilai-nilai kemanfaatan; maka seyogianya tidak hanya menerapkan hukum dengan
faham positivisme tetapi juga harus berdasarkan paham moral order..
Sebagai contoh kasus kasus konplik antar etnis di Kalimantan Barat yang awal-awalnya akan
diselesaikan dengan hukum positive yang menganut paham potivisme, bahkan dengan
tekanan dan metode manajemen konflik atau yang di back up dengan kekuatan
militer, pun juga tidak akan pernah terselesaiakan dengan rasa keadilan,
kepastian hukum, apalagi nilai nilai manfaat,
khususnya pada masyarakat Dayak.
Namun manakala penyelesai konplik tersebut terutama
terhadap orang-orang Dayak, walaupaun putusannya bukan hukuman pidana penjara
seumur hidup atau hukuman mati, penyelasaian dengan cara hukum adat ternyata lebih dapat diterima dengan rasa
puas, dan keseimbangan magis dirasakan telah pulih.
Jadi adalah sikap yang sangat arogan positivisme
ke Barat Baratan apabila ada orang yang
menganggap, karena dengan berlakunya hukum adat telah terjadi dualime
hukum.
Apalagi kalau ada upaya –upaya untuk menghilangkan
Hukum Ada, kiranya upaya seperti itu tentunya kurang mendasar atau sikap yang
kurang bijaksana, karena hukum adat itu adalah hukum yang dinamis dan telah
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat adat di Kalimanat Barat, dan kalau dia lapuk dikajangi, dan usang
dibaharui ( Prof.Muhammad Koesno, SH).
Pemberlakuan hukum adat dalam masyarakat Adat di Kalimanatan Barat
selain diyakini dan dirasakan mampu memberikan rasa keadilan, kepastian dan
nilai manfaat juga pada umumnya hakim adat dalam masyarakat adat dalam
putusannya, tidak pernah meniadakan
hukum Nasional, sepanjang itu pantas dalam padangan masyarakat adat yang
sangat terikat pada alam atau pada paham “moral order” yang relegio
magis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar